Hukum dan Perundangan yang Berhubungan dengan Tata Kelola Hutan dan Lahan

Tata kelola hutan dan lahan di Indonesia terkait dengan beberapa keberadaan hukum yang memberikan jaminan legal sebagai landasan bagi pemerintah dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya.

Sebaliknya tata kelola hutan yang baik tidak dapat dihilangkan dari prinsip transparansi, partisipasi, akuntabilitas dan koordinasi yang berarti pengelolaan hutan dan lahan ditujukan dan harus dimanfaatkan oleh publik. Beberapa aturan yang berhubungan dengan tatakelola hutan dan lahan baik di tingkat internasional maupun nasional disajikan sebagai berikut:

1. Prinsip Internasional

Pentingnya kesadaran tata kelola kehutanan yang baik dimulai sejak pertemuan pembangunan berkelanjutan yang merupakan hasil dari KTT Bumi di Rio de Jainero pada tahun 1992, yang tercantum dalam “Forest Principle 19” yang memberikan arahan pembangunan sumberdaya hutan secara holistik bagi seluruh elemen ekosistem demi keberlanjutan, yang relevan diantaranya adalah:

States have the sovereign and inalienable right to utilize, manage and develop their forests in accordance with their development needs and level of socio-economic development and on the basis of national policies consistent with sustainable development and legislation, including the conversion of such areas for other uses within the overall socioeconomic development plan and based on rational land-use policies (principe 2a)

Governments should promote and provide opportunities for the participation of interested parties, including local communities and indigenous people, industries, labour, nongovernmental organisations and individuals, forest dwellers and women, in the development, implementation and planning of national forest policies (principe 2d)

Meskipun “Forest Principle” tidak bersifat mengikat secara hukum (non legally binding), tetapi prinsip ini merupakan norma dasar bagi tata kelola yang harus dilaksanakan oleh negara-negara yang menandatanganinya.

  

2. Peraturan Perundangan di Indonesia

Undang-Undang Nomor 41/1999 tentang Kehutanan

Undang-Undang ini merupakan pengganti dari Undang-Undang nomor 5/1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan.  Undang-undang nomor 41/1999 membawa nuansa pengaturan yang memiliki perbedaan mendasar dengan masukkan peran serta masyarakat, hak masyarakat atas informasi kehutanan dan keterlibatan dalam pengelolaan hutan secara umum. Dalam undang-undang ini terdapat dua status hutan yaitu hutan negara dan hutan hak.

Meskipun demikian, undang-undang ini belum secara jelas memberikan pengakuan kepada masyarakat adat yang berdiam di kawasan hutan. Hutan adat dianggap sebagai masih bagian dari hutan negara yang berada di wilayah masyarakat adat. Dalam undang-undang ini meski terdapat pengakuan terhadap masyarakat adat, namun dalam praktik pengelolaan dan pemanfaatan hutan tetap dilakukan di atas hutan negara.


Undang-Undang Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang

Undang-Undang Penataan Ruang nomor 26 tahun 2007 yang menggantikan Undang-Undang nomor 24 tahun 1992. Dalam UU 26/2007 penataan ruang ditujukan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Dengan tujuan tersebut, penataan ruang pada akhirnya diharapkan menjadi sebuah titik temu yang harmonis antara penggunaan sumber daya alam dan dan pemanfaatan ruang sekaligus mencegah terjadinya dampak negatif akibat pemanfaatan ruang.

Sifat mendasar dari penataan ruang adalah mewujudkan sebuah keterpaduan dan keserasian pemanfaatan ruang pada berbagai sektor sehingga pelaksanaan penataan ruang yang konsisten akan meminimalisasi konflik dan meningkatkan keterpaduan antar sektor serta wilayah.

Pemerintah pusat dan daerah diamanatkan untuk menyebarluaskan informasi rencana umum dan rincian tataruang, pengaturan zonasi dan petunjuk pelaksanaan penataan ruang.  Penataan ruang diselenggarakan oleh pemerintah dengan melibatkan masyarakat, dimana pelibatan tersebut mencakup perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian.

Undang-Undang Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan

Informasi Publik

Ketentuan dalam peraturan ini secara garis besar memberikan landasan bagi publik untuk dapat memperoleh informasi, dan memperkuat badan publik untuk menyiapkan infrastruktur maupun sumber daya manusia. Dalam hubungannya tata kelola hutan, informasi kehutanan dapat diperoleh dan merupakan hak masyarakat yang diatur lewat badan publik yang mengurusi pengelolaan hutan.

Kementerian Kehutanan menindaklanjuti undang-undang ini dengan  menerbitkan Permenhut No. 2 tahun 2010 tentang Sistem Informasi Kehutanan dan Permenhut No. 7 tahun 2011 tentang Pelayanan Informasi Publik dilingkup Kementerian Kehutanan.

Undang-Undang Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang-undang ini merupakan revisi dari Undang-Undang nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam hubungannya dengan tata kelola hutan dan lahan, undang-undang ini menyinggung perihal kebakaran hutan, dimana lewat perundangan ini memberikan kewenangan bagi Kementerian Lingkungan hidup untuk menentukan kriteria baku kerusakan lingkungannya.

Terkait dengan hak atas informasi, peraturan ini memberikan jaminan bagi masyarakat untuk memperoleh informasi dalam proses penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Undang-undang Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara

Undang-undang ini merupakan bentuk respon dari tuntutan peningkatan kinerja pemerintah dalam melayani masyarakat dan efisiensi anggaran. Tata kelola kehutanan yang baik amat dipengaruhi oleh kemampuan lembaga kehutanan dalam menyusun Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) yang menjadi acuan dalam penyusunan APBN dan APBD.

Undang-Undang Nomor 4/2011 tentang Informasi Geospasial

Informasi geospasial yang tidak terintegrasi merupakan salah satu masalah utama dalam pengelolaan hutan. Informasi geospasial yang berbeda-beda antar instansi pemerintahan, baik antar sektor atau pun antar pusat dengan daerah, mengakibatkan adanya ketidaksinkronan antar kebijakan terkait penggunaan kawasan hutan dan lahan. Undang-undang ini melahirkan kebijakan One Map Policy sebagai alat koordinasi antar instansi dalam penyediaan informasi, termasuk antara instansi di pusat dan daerah.

Disisi lain lewat informasi geospasial menjamin hak-hak warga negara secara ekonomi dalam hubungannya dengan keruangan, sebaliknya menjadi alat bantu pemerintah dalam perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, dan pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan keruangan.

Undang-Undang Nomor 18/2004 tentang Perkebunan

Salah satu yang diatur didalam undang-undang ini adalah keharusan bagi pihak yang mengajukan izin perkebunan untuk bermusyawarah terlebih dahulu (apabila sudah terdapat hak di atas tanah tersebut) dengan masyarakat atau masyarakat hukum adat (apabila tanah tersebut adalah tanah ulayat) sehingga sesuai dengan pengaturan tersebut, masyarakat memiliki sebuah landasan hukum untuk dapat berpartisipasi dalam proses pemberian izin perkebunan.

Undang-undang ini ditindaklanjuti dengan Permentan nomor 98/2013 tentang pedoman perizinan usaha perkebunan yang berhubungan dengan pemberian izin bagi para pelaku usaha budidaya perkebunan. Dalam kaitannya dengan tata kelola hutan, meskipun tidak terlalu tegas, peraturan ini memperhatikan Inpres nomor 16/2011 tentang pengendalian kebakaran hutan dan lahan serta Inpres nomor 6/2013 tentang penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut.

Undang–Undang Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba)

Undang-Undang ini merupakan pengganti dari Undang-Undang nomor 11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Dalam hubungannya dengan tata kelola hutan dan lahan undang-undang ini mengatur kegiatan pertambangan dinyatakan tidak dapat dilaksanakan di tempat yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan sebelum memperoleh izin dari instansi pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan (pasal 134, ayat 2).

Dalam hubungannya dengan nilai tambah di dalam negeri, undang-undang ini mewajibkan komoditas pertambangan untuk diolah di dalam negeri sebelum diekspor. Meskipun tidak berhubungan langsung dengan tata kelola hutan dan lahan, larangan ini berpengaruh terhadap pemberian izin terhadap usaha pertambangan dan eksploitasi minerba yang dilakukan serta cukup berpengaruh terhadap para pelaku usaha dalam menanamkan investasi dalam bidang pertambangan.

Undang–Undang Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-undang ini adalah pengganti dari Undang-Undang nomor 32/2004 tentang Pemerintah Daerah yang dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaran pemerintahan daerah.

Dalam undang-undang ini sektor kehutanan dikategorikan dalam urusan pemerintahan daerah pilihan konkuren (pasal 12) , meskipun urusan penataan ruang dan lingkungan hidup dikategorikan dalam urusan pemerintahan wajib. Dalam pasal 14, diatur tentang penyelenggaraan urusan pemerintah dalam bidang kehutanan dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dengan perkecualian pengelolaan taman hutan raya di kabupaten/kota menjadi kewenangan dari daerah kabupaten dan kota.

Undang-Undang Nomor 6/2014 tentang Desa

Terdapat lebih 33 ribu desa yang berbatasan dengan kawasan hutan, jika hal ini tidak menjadi perhatian maka masalah tenurial, status desa maupun kekayaan budaya yang selama ini dikenal memelihara dan melindungi akan bergeser dan punah.

Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (UUD 1945, pasal 18B: 2). Salah satu poin penting Undang-Undang Desa ini adalah adanya regulasi yang memberi kepastian hukum bagi keberadaan masyarakat adat melalui pembentukan Desa Adat.

Desa Adat akan diakui apabila memiliki kesatuan masyarakat adat. Kesatuan masyarakat adat harus memiliki unsur; mempunyai wilayah adat, pemerintahan adat, benda/harta adat, hukum adat, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1 ayat 1 UU Desa. UU desa juga mengakui hak-hak kesatuan masyarakat adat.  Desa Adat bukan hanya bertujuan untuk mengakui hak-hak ulayat masyarakat adat, tetapi juga undang-undang ini mengatur agar masyarakata adat bisa mengurus dirinya sendiri.

Pembentukan Desa ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan prakarsa masyarakat desa, asal usul, adat istiadat, kondisi sosial budaya masyarakat desa, serta kemampuan dan potensi desa. Pemerintah pusat dan daerah akan melakukan penataan kesatuan masyarakat hukum adat untuk kemudian ditetapkan menjadi Desa Adat.

Indeks Laman

Kembali ke awal 

Tata Kelola yang Baik dan Keterlibatan Partisipasi Publik

Kelemahan Implementasi

Prinsip Tata Kelola yang Baik

Hukum dan Perundangan yang Berhubungan dengan Tata Kelola Hutan dan Lahan

Permasalahan Tenurial dan Konflik di Hutan dan Lahan

Bagaimana Tata Kelola Hutan Harusnya Dilakukan?

Sistem Perencanaan Tata Ruang di Indonesia

Pengelolaan Hutan dan Lahan di Tingkat Pemerintah Daerah

Pemantauan Hutan dan Lahan di Indonesia

Sistem Penganggaran Keuangan dalam Bidang Ekstraktif di Indonesia

Pentingnya Peta untuk Perencanaan Tata Ruang dan Tata Kelola Hutan 

Model Pengelolaan Hutan Lewat Konsep Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH)

Moratorium dan Tata Kelola Hutan dan Lahan

Lisensi dan Perizinan

Penegakan Hukum Bidang Kehutanan

Dorongan Pasar Terhadap Produk Bersertifikat

Referensi:

G.B. Indrarto, C. Purba, B. Steni, D. Tresya, M. Dewantama, C. Hartati, I. Apriani, A. Putri. 2013. Potret Pelaksanaan Tata Kelola Hutan. ICEL-FWI-Huma-Sekata-Telapak.