Permasalahan Tenurial dan Konflik Hutan dan Lahan

Ketidakpastian areal kawasan hutan merupakan salah satu yang menghambat efektifitas tata kelola hutan di Indonesia. Dari seluruh kawasan hutan seluas 130 juta hektar maka areal yang telah selesai ditatabatas (istilahnya “temu gelang”) baru sekitar 12 persen (14,2 juta hektar).  Ketidakpastian ini memicu munculnya konflik tenurial (lahan) dengan berbagai pihak yang berkepentingan dengan kawasan hutan.  Padahal setidak-tidaknya terdapat 50 juta orang yang bermukim disekitar kawasan hutan dengan lebih dari 33 ribu desa yang berbatasan dengan kawasan hutan.

Persoalan ketidakpastian tata batas hutan ini tidak hanya menimpa masyarakat adat ataupun masyarakat lokal yang berdiam dan memanfaatkan lahan dan sumber daya di dalam kawasan hutan, tetapi juga institusi yang memiliki izin usaha kehutanan dan pemerintah. Di tingkat lapangan batas yang berupa patok batas hutan juga seringkali tidak jelas sehingga sulit diverifikasi dalam pembuatan berita acara.

Untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan, maka diperlukan proses pengukuhan kawasan hutan, dimana seluruh proses yang harus dilakukan adalah penunjukan, penetapan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan. Proses ini semua adalah untuk menuju suatu kawasan hutan yang “legal dan legitimate”.

Pemerintah lewat Kemenhut telah mengatur proses pengkukuhan kawasan hutan lewat berbagai aturan, diantaranya Peraturan Pemerintah nomor 44/2004 tentang Perencanaan Hutan, Permenhut nomor P.47/2010 tentang Panitia Tata Batas dan Permenhut P.50/Menhut‐II/2011 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan. Namun ketiga peraturan ini dinilai masih memiliki kelemahan.

Terkadang suatu kawasan hutan negara baru merupakan penunjukkan tetapi telah diterbitkan izin bagi konsesi, padahal seharusnya baru pada tahap penetapan hutan itu memiliki kekuatan hukum dan baru dikatakan sebagai hutan negara.

Dalam rekomendasi yang dikeluarkan oleh Konferensi Internasional tentang Tenurial dan Tata Kelola Hutan dan Kewirausahaan di Lombok pada tahun 2011, direkomendasikan hal-hal sebagai berikut:

  1. Memperkuat legalitas kawasan hutan.
  2. Memperkuat kepastian hak semua pihak atas kawasan hutan.
  3. Menciptakan sistem yang efektif untuk percepatan pengukuhan kawasan hutan.
  4. Mendorong pembentukan kebijakan terpadu dalam penguasaan tanah dan kawasan hutan dan koordinasi kewenangan antara sektor yang terkait dengan urusan penguasaan tanah dan kawasan hutan.

Beberapa hal yang membuat konflik tenurial masih terjadi membentang dari sisi paradigma, kebijakan, aturan hukum hingga masalah teknis di lapangan. Berikut adalah beberapa penjelasannya.

Paradigma: Hutan Adalah Unit Produksi bukan Bagian dari Proses Pengaturan Tata Ruang

Pengurusan hutan dilakukan lewat sistem pengelolaan hutan dengan prinsip ilmiah modern (scientific forestry, kehutanan ilmiah). Hutan dilihat sebagai sebuah unit kesatuan, keteraturan produksi dalam rangka untuk menghasilkan efisiensi pengelolaan untuk memperoleh keuntungan bagi negara dan pelaku bisnis atau untuk mengakumulasi modal (Peluso 1992).

Dengan demikian langkah yang diambil sesuai dengan tujuan tersebut adalah membatasi akses masyarakat terhadap kayu dan hasil hutan termasuk membuat aturan yang membatasi kegiatan di hutan yang telah dikuasai, melakukan penentuan jenis-jenis kayu bernilai ekonomi tinggi melalui inventarisasi tegakan, membagi hutan menjadi blok-blok (petak) hutan yang memungkinkan eksploitasi hutan sistematik, serta merekrut pekerja upahan untuk melakukan penjagaan dan eksploitasi hutan.

Dengan kenyataan bahwa hutan tidak lepas dari unsur adanya manusia seperti keberadaan masyarakat lokal atau masyarakat adat yang telah bermukim bergenerasi di wilayah tersebut, -bahkan sebelum adanya aturan negara, maka konteks kawasan hutan harus ditempatkan dalam pola pikir tata ruang dan interaksi antar unsur.

Secara teknis penataan batas hutan menjadi elemen penting pengelolaan hutan yang optimal. Penatabatasan kawasan hutan harus melibatkan seluruh unsur pemerintah pusat dan daerah, serta masyarakat lokal dengan pengesahan dan berita acara yang jelas agar tidak lagi terjadi konflik.

Perkembangan paradigma pengelolaan hutan harus ditempatkan dalam pola antropologis dan tidak hanya melulu praktik pengelolaan teknis kehutanan (silvikultur).

Pengusahaan Kawasan Hutan adalah Penguasaan atas Tanah

Sudah sejak lama permasalahan kawasan hutan bukan terletak kepada sumberdaya yang ada di dalam hutan, tetapi lebih kepada masalah tenurial, tempat dimana hutan itu tumbuh dan berada. Pada kenyataannya yang disebut dengan kawasan hutan adalah wilayah tertentu (termasuk tanah) beserta dengan sumberdaya yang ada didalamnya.

Tanah menjadi subyek penting yang sering menjadi sumber dasar konflik diantara para pemangku kepentingan, diantaranya antar departemen dan instansi pemerintah, antar pemerintah pusat dan daerah, antar masyarakat lokal dengan pemerintah dan antar masyarakat lokal dengan perusahaan pemegang konsesi/ lisensi yang diberikan oleh pemerintah.

Lebih jauh, tipologi konflik tenurial kehutanan (Safitri et al, 2011) dapat dijabarkan sebagai berikut:

  1. Konflik antara masyarakat adat dengan Kemenhut. Ini terjadi akibat ditunjuk dan/atau ditetapkannya sebuah wilayah adat sebagai kawasan hutan negara,
  2. Konflik antara masyarakat vs Kemenhut vs BPN. Misalnya konflik penerbitan bukti hak atas tanah pada wilayah yang diklasifikasikan sebagai kawasan hutan
  3. Konflik antara masyarakat transmigran vs masyarakat (adat/lokal) vs Kemenhut vs pemerintah daerah vs BPN. Misalnya konflik karena program transmigrasi yang dilakukan di kawasan hutan.
  4. Konflik antara masyarakat petani pendatang vs Kemenhut vs pemerintah daerah. Misalnya konflik karena adanya gelombang petani pendatang yang memasuki kawasan hutan dan melakukan aktivitas pertanian di dalam kawasan tersebut.
  5. Konflik antara masyarakat desa vs Kemenhut. Misalnya konflik karena kawasan hutan memasuki wilayah desa.
  6. Konflik antara calo tanah vs elit politik vs masyarakat petani vs Kemenhut vs BPN. Misalnya konflik karena adanya makelar/calo tanah yang umumnya didukung oleh ormas/parpol yang memperjualbelikan tanah kawasan hutan dan membantu penerbitan sertifikat pada tanah tersebut.
  7. Konflik antara masyarakat lokal (adat) vs pemegang izin. Meskipun ini terjadi akibat Kemenhut melakukan klaim secara sepihak atas kawasan hutan dan memberikan hak memanfaatkannya kepada pemegang izin, seringkali tipologi ini juga dipicu karena pembatasan akses masyarakat terhadap hutan oleh pemegang izin.
  8. Konflik antar pemegang izin kehutanan dan izin-izin lain seperti pertambangan dan perkebunan.
  9. Konflik karena gabungan berbagai aktor 1-8.

Dualisme Praktek Administrasi Pertanahan

Dalam prakteknya terdapat dualisme kebijakan pertanahan di Indonesia, di dalam kawasan hutan legalitas pemanfaatan tanah adalah melalui izin dari Kementerian Kehutanan, sedangkan diluar kawasan kehutanan, -atau yang disebut dengan Area Peruntukan Lain (APL) administrasi dan penguasaan tanah merupakan kewenangan Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Fakta ini berimplikasi pada munculnya berbagai aturan dan regulasi bidang pertanian di dalam dan luar kawasan hutan, termasuk munculnya permasalahan kepastian hukum pengakuan penguasaan tanah oleh masyarakat (misalnya masyarakat adat yang telah lama bermukim di wilayah tersebut).

Di luar kawasan dimungkinkan pemberian sertifikat tanah (penguasan privat/ individual) sedangkan di dalam kawasan tidak dimungkinkan karena asumsi bahwa tanah kawasan hutan dikuasai oleh negara (dalam hal ini Kemenhut).

Izin yang dikeluarkan didalam kawasan hutan acap disebut bukan sebagai izin untuk memanfaatkan tanah, melainkan izin untuk memanfaatkan sumber daya hutan di atasnya, meski dalam beberapa hal ini tidak dapat disangkal adalah sebagai salah satu bentuk izin pemanfaatan tanah. Sebagai contoh, Izin pemanfaatan hutan tanaman dimana pemegang izin dapat menanami kawasan hutan adalah pula izin untuk memanfaatkan tanah tersebut.

Di dalam Undang-Undang nomor 41/1999 tentang Kehutanan, pada Pasal 5 ayat 3 UU No. 41 tahun 1999 dinyatakan bahwa penetapan status hutan dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah yang dimaksud di sini adalah pemerintah pusat (Pasal 1 angka 14 UU No. 41 tahun 1999). Dalam Peraturan Pemerintah nomor 44/2004 tentang Perencanan Kehutanan pada Pasal 15 dinyatakan bahwa pengukuhan kawasan hutan diselenggarakan oleh Menteri (dalam hal ini Menteri Kehutanan).

Dengan ketentuan ini maka kewenangan penetapan kawasan hutan hanya berada di tangan Menteri Kehutanan, bukan di tangan pemerintah (pusat). Jika dibandingkan dengan Undang-Undang nomor 5/1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) maka akan bertentangan dengan Pasal 19 UUPA mengenai pendaftaran tanah dimana Penyelenggaraan pendaftaran tanah dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Selesainya pengukuhan kawasan hutan tidak berarti persoalan hukum tuntas. Dasar hukum bagi Kemenhut untuk menguasai tanah di dalam kawasan hutan negara perlu diberikan. Dalam hal ini Pasal 2 ayat 4 UUPA memberikan dasar hukum pemberian hak pengelolaan kepada instansi pemerintah untuk menguasai tanah.

Praktek dualisme administrasi pertanahan selama ini telah menambah beban Kemenhut dan memperumit administrasi pertanahan di Indonesia. Kemenhut harus mengurusi tanah di kawasan hutan, sebaliknya kondisi ini membatasi kewenangan Kemenhut untuk mengurus pengelolaan hutan yang berada di atas tanah-tanah di luar kawasan hutan. Pengelolaan hutan di atas Areal Penggunaan Lain (APL) tidak ada pada Kemenhut tetapi pada Pemerintah Daerah.

Konsep Penguasaan Hutan

Undang-undang nomor 41/1999 tentang Kehutanan menyebutkan bahwa terdapat dua status hutan yaitu terbagi menjadi hutan negara dan hutan hak. Hutan Negara sendiri diartikan sebagai hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah (Pasal 1 Angka 4). Sebaliknya, hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani dengan hak atas tanah.

Hutan negara merupakan hutan yang di atas tanahnya sudah tidak ada lagi hak atas tanah, yang berarti tidak ada konflik dengan masyarakat. Dalam hutan negara, dalam hal ini oleh Kementerian Kehutanan, memiliki kewenangan untuk mengurus, memanfaatkan, termasuk dengan memberikan ijin pada pihak ketiga.

Masalah utamanya adalah suatu kawasan hutan negara bisa jadi diakui oleh negara terlebih dahulu, tanpa melibatkan pihak lain terutama masyarakat lokal yang telah ada terlebih dahulu disana. Hal ini menjadikan posisi kawasan hutan yang telah ditetapkan tidak bisa terlepas dari bayang-bayang konflik di kemudian hari. Apa yang dinyatakan dalam Undang-Undang ini kemudian menuai ketidakpuasan atas tidak dijelaskannya secara gamblang tentang status hutan adat. Argumentasi yang disampaikan adalah terdapat masyarakat hukum adat yang telah bergenerasi berdiam di kawasan hutan, -bahkan sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri.

Undang-Undang Kehutanan menjelaskan bahwa hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan yang pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat hukum adat (Pasal 5, ayat 1). Dalam lanjutannya (Pasal 5, ayat 2), pengakuan terhadap hutan adat dalam lingkup hutan negara diakui keberadaannya selama masyarakat hukum adat masih ada dan diakui keberadaanya oleh pemerintah.

Dengan kata lain, pemerintah masih memegang peran penting dalam penentuan status hutan adat. Di sisi lain, masyarakat hukum adat dipersaingkan secara bebas dengan para pemegang izin konsesi dan berbagai status kawasan hutan yang ditetapkan oleh negara.

Status Definitif Kawasan Hutan Pasca Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/2011

Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 45/PUU-IX/2011 tentang uji Pasal 1 angka 3 UU kehutanan diterbitkan pada tanggal 21 Februari 2012. Dalam Putusan tersebut, MK mengabulkan permohonan para pemohon diantaranya beberapa Bupati dari Kalimantan Tengah untuk menghapus frasa frasa “ditunjuk dan atau” dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan, sehingga redaksi baru dari pasal ini adalah “Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau [hapus] ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”.

Implikasi dari revisi ini adalah penentuan kawasan hutan tidak hanya selesai pada tahap penunjukan kawasan hutan saja, tetapi juga harus diikuti sampai kepada proses penetapan kawasan hutan.  Mahkamah Konstitusi juga memberikan pertimbangan  mengenai ketentuan peralihan tentang kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan sebelum terbitnya putusan MK ini dinyatakan tetap diakui keabsahannya.

Status penunjukan kawasan hutan masih tetap berlaku, tetapi penunjukan ini belum bisa dimaknai sebagai keputusan yang memiliki kekuatan hukum.  Karena kawasan hutan tersebut masih harus ditata-batas, dipetakan dan ditetapkan sehingga dapat dikukuhkan sebagai kawasan hutan definitif. Sebelumnya izin pengelolaan hutan diberikan kepada pihak ketiga, walaupun status kawasan hutan tersebut belum definitif.

Status Hutan Adat Pasca keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/2012

Hasil pengujian materi (judicial review) yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang nomor 41/1999 oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Masyarakat Adat Kenegerian Kuntu di Kabupaten Kampar Riau, dan Masyarakat Adat Kesepuhan Cisitu di Kabupaten Lebak Banten telah mengabulkan sebagian butir-butir pemohon terhadap pengakuan keberadaan hutan adat lewat Putusan MK nomor 35/2012.

Dalam putusannya MK mengabulkan perubahan Pasal 1 angka 6 UU nomor 41/1999 yang menyatakan bahwa “hutan adat adalah hutan negara [hapus] yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.” Dengan kata lain, konsekuensi dari keputusan ini maka terdapat tiga nomenklatur status hutan di Indonesia yaitu hutan negara, hutan hak dan hutan adat.

Setelah pasca keputusan MK nomor 35/2012 beberapa peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang merespon keluarnya keputusan MK maupun yang berhubungan dengan keberadaan masyaraka adat, yaitu:

  • Surat Edaran Menhut no. SE 1/2013 yang menyebutkan “pelepasan hutan adat dari kawasan hutan negara hanya dapat dilakukan oleh Kementerian Kehutanan apabila ada persetujuan dari pemerintah daerah” yang berarti hutan adat baru akan dikeluarkan jika masyarakat adat telah diakui melalui Perda.
  • Permenhut nomor 62/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menhut nomor 44/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan, yang intinya menyebutkan: 1) untuk pihak ketiga yang mengklaim hak harus menunjukkan bukti keberadaan berupa pemukiman, fasilitas umum, dan fasilitas sosial yang sudah ada sebelum penunjukan kawasan hutan maupun sesudah penunjukan kawasan hutan. 2) Pengakuan terhadap keberadaan Hutan Adat harus berdasarkan pengukuhan Perda. Dengan adanya Perda tersebut hutan adat bisa dilepas dari kawasan hutan, padahal yang dimaksud MK adalah hutan adat dilepaskan dari hutan Negara di dalam kawasan hutan.
  • Permendagri nomor 52/2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat hukum Adat. Dalam Permendagri ini mengatur bahwa Gubenur dan Bupati/Walikota melakukan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat lewat pembentukan sebuah panitia yang melakukan identifikasi, verifikasi dan validasi masyarakat hukum adat.
  • Undang-Undang No.6 tahun 2014 tentang Desa. Lewat undang-undang ini memungkinkan pembentukan Desa Adat atas persetujuan Pemerintah kabupaten/kota, dan perubahan juga bisa sebaliknya. Desa Adat dibentuk atas dasar Kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak tradisionalnya secara nyata masih hidup, baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional yang memiliki perassaan bersama dalam kelompok, pranata pemerintahan adat, harta kekayaan dan.atau benda adat, dan/atau perangkat norma hukum adat.

Hingga akhir tahun 2013, luas wilayah adat yang sudah dipetakan melalui pemetaan partisipatif telah mencapai 2,4 juta hektar. Wilayah adat dengan luasan tersebut telah diserahkan oleh AMAN kepada Badan Informasi Geospasial (BIG) dan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) pada tanggal 14 November 2013. AMAN memperkirakan luas hutan adat yang telah dijadikan sebagai bagian dari hutan negara mencapai 40 juta hektar.

Indeks Laman

Kembali ke awal 

Tata Kelola yang Baik dan Keterlibatan Partisipasi Publik

Kelemahan Implementasi

Prinsip Tata Kelola yang Baik

Hukum dan Perundangan yang Berhubungan dengan Tata Kelola Hutan dan Lahan

Permasalahan Tenurial dan Konflik di Hutan dan Lahan

Bagaimana Tata Kelola Hutan Harusnya Dilakukan?

Sistem Perencanaan Tata Ruang di Indonesia

Pengelolaan Hutan dan Lahan di Tingkat Pemerintah Daerah

Pemantauan Hutan dan Lahan di Indonesia

Sistem Penganggaran Keuangan dalam Bidang Ekstraktif di Indonesia

Pentingnya Peta untuk Perencanaan Tata Ruang dan Tata Kelola Hutan 

Model Pengelolaan Hutan Lewat Konsep Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH)

Moratorium dan Tata Kelola Hutan dan Lahan

Lisensi dan Perizinan

Penegakan Hukum Bidang Kehutanan

Dorongan Pasar Terhadap Produk Bersertifikat

Referensi:

Hariadi Kartodihardjo. 2012. Hutan Negara di Dalam Wilayah Masyarakat Hukum Adat: Doktrin, Fakta dan Implikasinya bagi Kelestarian Hutan. Dokumen Forest Watch Indonesia.

M.A. Safitri, M.A. Muhshi, M. Muhajir, M. Shohibuddin, Y. Arizona, M. Sirait, G. Nagara, Andiko, S. Moniaga, H. Berliani, E. Widawati, S.R. Mary, G. Galudra, Suwito, A. Santosa, H. Santoso. 2011. Menuju Kepastian dan Keadilan Tenurial (edisi revisi 7 November 2011). Kelompok Masyarakat Sipil untuk Reformasi Tenurial.

 

R. Simarmata, Andiko, A.Y. Firdaus, R. Chandradewi, D. Suryadin. 2007. Mengapa Undang-Undang Kehutanan Perlu Direvisi? Koalisi untuk Perubahan Kebijakan Kehutanan