Prinsip Tata Kelola yang Baik

Tata kelola (governance) tidak dapat dilepaskan dari prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan pemerintahan yang baik, yaitu transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas sebagai unsur utama. Terminologi good governance memang belum baku, tetapi sudah banyak definisi yang coba membedah makna dari good governance.  Namun demikian, tidak dapat disangkal lagi bahwa good governance telah dianggap sebagai elemen penting untuk menjamin kesejahteraan nasional (national prosperity).

Dengan cara meningkatkan akuntabilitas, reliabilitas (kehandalan), dan pengambilan kebijakan, yang diperkirakan di dalam organisasi pemerintah, korporasi (sektor swasta), bahkan dalam organisasi masyarakat sipil. [1]

Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN Commission on Human Rights) mengidentifikasi beberapa prinsip yakni transparansi, pertanggungjawaban (responsibility), akuntabilitas, partisipasi, dan ketanggapan (responsiveness) sebagai prinsip kunci good governance.

Sementara The Canadian International Development Agency mendefinisikan bahwa good governance dicerminkan bila kekuasaan organisasi (atau pemerintah) dijalankan dengan efektif, adil (equitable), jujur, transparan, dan akuntabel. Sementara itu The UN Development Program (UNDP) pada tahun 1997 mengemukakan 8 (delapan) prinsip good governance yakni :

  1. Kesetaraan untuk  berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan
  2. Ketanggapan atas kebutuhan stakeholder (responsiveness)
  3. Kemampuan untuk memediasi perbedaan diantara stakeholder untuk mencapai consensus bersama.
  4. Akuntabilitas kepada stakeholder yang dilayani.
  5. Transparansi dalam proses pengambilan kebijakan
  6. Aktivitas didasarkan pada aturan/kerangka hukum.
  7. Memiliki visi yang luas dan jangka panjang untuk memperbaiki proses tata kelola yang menjamin keberlanjutan pembangunan sosial dan ekonomi.
  8. Jaminan atas hak semua orang untuk meningkatkan taraf hidup melalui cara-cara yang adil dan inklusif.

Konsep serupa juga terdapat dalam UU No. 28 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme mengenai asas-asas umum pemerintahan negara yang baik, yakni:

  1. Asas kepastian hukum
  2. Asas tertib penyelenggaraan negara
  3. Asas kepentingan umum
  4. Asas keterbukaan
  5. Asas proporsionalitas
  6. Asas profesionalitas
  7. Asas akuntabilitas

Dari berbagai definisi dan prinisp-prinsip good governance tersebut, indikator penilaian di dalam dokumen ini mengambil prinsip Transparansi, Partisipasi, Akuntabilitas dan Koordinasi sebagai faktor kunci penilaian.  Keempat prinsip kunci inilah kemudian digunakan  sebagai dasar penilaian yang dilihat dari sisi landasan hukum, actor dan implementasinya. Pemilihan keempat prinsip good governance dalam indikator bukan untuk tujuan simplifikasi, melainkan untuk memudahkan identifikasi persoalan melalui pengelompokan indikator-indikator berdasarkan prinsip minimum tercapainya tata kelola yang baik di sektor kehutanan.

1. Transparansi, adalah proses keterbukaan untuk menyampaikan aktivitas yang dilakukan sehingga pihak luar (termasuk masyarakat lokal/adat, pelaku usaha, maupun instansi pemerintah lain) dapat mengawasi dan memperhatikan aktivitas tersebut.  Memfasilitasi akses informasi merupakan hal yang terpenting untuk menginformasikan dan mendorong partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya hutan. Komponen transparansi mencakup komprehensifnya informasi, ketepatan waktu dalam pelayanan informasi, ketersediaan informasi bagi publik, dan adanya upaya untuk memastikan sampainya informasi kepada kelompok rentan.

2. Partisipasi (inklusifitas), adalah proses pelibatan pemangku kepentingan (stakeholder) seluas mungkin dalam pembuatan kebijakan. Masukan yang beragam dari berbagai pihak dalam proses pembuatan kebijakan dapat membantu pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan berbagai persoalan, perspektif, dan opsi-opsi alternatif dalam menyelesaikan suatu persoalan.  Proses partisipasi membuka peluang bagi pembuat kebijakan untuk mendapatkan pengetahuan baru, mengintegrasikan harapan publik kedalam proses pengambilan kebijakan, sekaligus mengantisipasi terjadinya konflik sosial yang mungkin muncul.  Komponen yang menjamin akses partisipasi mencakup, tersedianya ruang formal melalui forum-forum yang relevan, adanya mekanisme untuk memastikan partisipasi publik, proses yang inklusif dan terbuka, dan adanya kepastian masukan dari publik akan diakomodir di dalam penyusunan kebijakan.

3. Akuntabilitas,  adalah mekanisme tanggung-gugat antara pembuat kebijakan dengan stakeholder yang dilayani.  Adanya mekanisme akuntabilitas  memberikan  kesempatan kepada stakeholder untuk meminta penjelasan dan pertanggungjawaban apabila terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan konsesus dalam pelaksanaan tata kelola di sektor kehutanan.  Di dalam dokumen indikator tata kelola, akses kepada keadilan (access to justice) dikategorikan sebagai bagian dari mekanisme akuntabilitas.

4. Koordinasi, adalah mekanisme yang memastikan sejauhmana pihak-pihak lain (khususnya institusi pemerintah) yang memiliki kepentingan terhadap sektor kehutanan, memiliki kesamaan tujuan yang tercermin di dalam program kerjanya. Terdapat berberapa instansi pemerintah yang memiliki kewenangan yang bersinggungan langsung dengan pengelolaan kawasan hutan, dan umumnya persoalan minimnya koordinasi menjadi faktor utama yang menyebabkan tidak efisiensi dan efektifnya tata kelola di sektor kehutanan.

Menurut UNDP [2] sejumlah prasyarat lainnya yang perlu dipertimbangkan secara serius dalam mewujudkan pengelolaan hutan berkelanjutan, yaitu:

  • Kelembagaan pengelolaan hutan yang efektif dengan peran dan tanggungjawab didefinisikan secara jelas
  • Kebijakan dan aturan yang memadai, termasuk aturan dan mekanisme pengaturan lahan yang jelas.
  • Perencanaan pengunaan lahan yang transparan
  • Pengelolaan dan distribusi pendapatan hutan yang berkeadilan
  • Insentif ekonomi untuk masyarakat lokal dan adat
  • Mekanisme dan otoritas untuk melaksanakan dan menegakan hukum dan kebijakan
  • Kemampuan pengawasan
  • Akses dan kemampuan mempengaruhi proses pembuatan keputusan.

Indeks Laman

Kembali ke awal 

Tata Kelola yang Baik dan Keterlibatan Partisipasi Publik

Kelemahan Implementasi

Prinsip Tata Kelola yang Baik

Hukum dan Perundangan yang Berhubungan dengan Tata Kelola Hutan dan Lahan

Permasalahan Tenurial dan Konflik di Hutan dan Lahan

Bagaimana Tata Kelola Hutan Harusnya Dilakukan?

Sistem Perencanaan Tata Ruang di Indonesia

Pengelolaan Hutan dan Lahan di Tingkat Pemerintah Daerah

Pemantauan Hutan dan Lahan di Indonesia

Sistem Penganggaran Keuangan dalam Bidang Ekstraktif di Indonesia

Pentingnya Peta untuk Perencanaan Tata Ruang dan Tata Kelola Hutan 

Model Pengelolaan Hutan Lewat Konsep Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH)

Moratorium dan Tata Kelola Hutan dan Lahan

Lisensi dan Perizinan

Penegakan Hukum Bidang Kehutanan

Dorongan Pasar Terhadap Produk Bersertifikat

  

 


[1] Michael D Mehta, “Good Governance”, dalam Mark Bevir, Encyclopedia of Governance, hal. 359-262

[2] UNDP, 2012. Indeks Tata Kelola Hutan, Lahan dan REDD+ di Indonesia