, ,

Dayak Wehea: Kisah Keharmonisan Alam dan Manusia

Rumah Panggung di Kampung Nehas Liah Bing, Muara Wahau, Kalimantan Timur. Foto: Aji Wihardandi

Matahari sudah menghembuskan sinarnya lewat sela jendela. Saya masih mencoba membuka mata dan melirik waktu di telepon selular. Aaah sudah jam 7 pagi lagi. Hari ini, di pertengahan April 2011, di tengah semarak perayaan panen padi suku Dayak Wehea, di desa Nehas Liah Bing, Muara Wahau, Kalimantan Timur. Meski rasa lelah masih tersisa di sekujur tubuh setelah menempuh 18 jam perjalanan darat dari Balikpapan, namun rasa penasaran dan keingintahuan saya mengalahkan keengganan pagi ini. Secangkir kopi dan sekerat roti, sempat saya nikmati dari meja dapur di sekretariat The Nature Conservancy tempat saya menginap, yang terletak di tengah-tengah desa ini. Tanpa menunggu lebih lama, saya pun langsung menyambar kamera dan pergi keluar rumah untuk mencari tahu, apa yang akan terjadi hari ini.

Bulan April, adalah bulan perayaan bagi orang Dayak Wehea. Mereka menyebutnya dengan upacara Lomplai. Upacara ini adalah sebuah ungkapan rasa syukur atas nikmat panen padi yang melimpah tahun ini. Sebagai rasa terimakasih kepada Putri Long Diang Yung, yang telah mengorbankan diri, saat kampung Dayak Wehea dilanda kekeringan ribuan tahun silam. Upacara ini, tidak pernah dilakukan di tanggal yang sama. Menurut penuturan Ledjie Taq, kepala adat Dayak Wehea, sistem penanggalan yang digunakan adalah sistem penanggalan tradisonal Dayak berdasar perhitungan pergeseran bulan.

Itulah kira-kira kisah yang beredar di kalangan orang Dayak Wehea. Kisah penghormatan ini, kini bahkan menjadi sesuatu yang sangat menarik untuk dinikmati oleh orang-orang non-Wehea. Putri Long Diang Yung mungkin tak pernah mengira, bahwa pengorbanan dirinya tidak hanya memberikan padi yang melimpah bagi orang Dayak Wehea, namun juga objek wisata yang kini semakin mengembangkan potensi kampung yang terletak kira-kira 140 kilometer dari ibukota Kabupaten Kutai Timur, Sangatta.

Kepala adat Dayak Wehea, Ledjie Taq. Foto: Aji Wihardandi

Saya sendiri, sangat menikmati rangkaian pesta yang digelar selama sebulan ini. Mulai dari acara pembukaan, tari-tarian, ritual peperangan, hingga acara puncaknya saling berkejaran mencorengkan muka dengan arang dan menyiram air satu sama lainnya. Ada kegairahan dan kegembiraan yang selalu tertangkap dalam keseharian mereka di bulan April ini. Sejak gong dipukul dalam upacara Ngesea Egung, hingga rangkaian upacara Embob Jengea (memasak lemang dan Beangbit atau kue khas Wehea), serta upacara Seksiang (tiruan perang-perangan di masa lalu), semua warga sangat menikmati, dari bocah batita hingga yang sudah sangat uzur.  Semua menari, semua bergembira. Tak ada rasa sungkan dan malu, menggunakan pakaian adat kemana-mana setiap hari. Satu hal yang kini sudah semakin jarang kita lihat, di tengah derasnya arus konsumerisme dan modernisme yang melanda hingga titik terdalam budaya lokal.

Saya sangat mengagumi kemampuan para tetua adat Dayak Wehea mewariskan adat dan budaya secara reguler kepada para generasi di bawah mereka. Dalam berbagai kesempatan di pesta adat Lomplai ini, kita akan seringkali berpapasan dengan orang-orang tua yang menggandeng cucu mereka untuk ikut serta dalam upacara. Termasuk ikut menari di balai desa membawakan tarian Tumbambataq, Jiak Keleng, Ngewai dan seni suara yang disebut Nluei.

Seperti pernah dikatakan oleh sang kepala adat, Ledjie Taq,”Budaya dan alam adalah kekayaan utama yang dimiliki oleh orang Dayak Wehea. Jika kami tidak menjaganya dan mewariskannya kepada anak cucu kami sejak dini, maka kami tidak akan bisa mewariskan apa pun.”

Sadar akan potensi budaya dan alam ini, kini warga Dayak Wehea mulai secara reguler melestarikan upacara adat Lomplai ini sebagai bagian dari daya tarik wisata lokal di Muara Wahau, Kalimantan Timur. Sejak lima tahun silam, puluhan stasiun televisi asing dan nasional, silih berganti menyajikan Lomplai sebagai salah satu program siaran dokumentasi mereka. Hal yang sama berlaku pula untuk media cetak, dan internet.

Upaya ini mereka galang, sebagai salah satu promosi berkelanjutan untuk memperkenalkan budaya Dayak Wehea kepada dunia. Memperkenalkan keunikan budaya lokal, yang selama ini tersembunyi di sela gegap gempitanya promosi wisata andalan di tanah air.

Asal Usul Dayak Wehea

Masyarakat Nehas Liah Bing yang menyebut dirinya sebagai suku Dayak Wehea, menurut penuturan Kepala Adat Desa Nehes Liah Bing Bapak Ledjie Taq berasal dari Cina Daratan. Dalam perjalanannya menuju ke Malaysia, sebagian rombongan tersebut singgah dan menetap ke Apau Kayan. Kemudian mereka beranak cucu dan membentuk satu komunitas tersendiri.  Dalam perkembangan komunitas tersebut,  terjadilah  perang saudara untuk berebut kekuasaan sehingga pecah menjadi 2 kelompok.  Salah satu dari kelompok tersebut melarikan diri dan berusaha mencari tempat tinggal sendiri. Dan sampailah anggota rombongan tersebut ke kawasan Gunung Kombeng dan mulai menetap disana. Kemudian secara bertahap mereka pindah ke hulu “Long Mesaq Teng” (Sungai Wahau), namun beberapa anggota kembali turun ke arah hilir untuk menetap disana, selanjutnya tempat tersebut berkembang dan diberi nama kampung Nehas Liah Bing. Nehas tersebut berarti pasir, sedangkan Liah Bing diambil dari nama belakang orang yang pertama membuka kampung tersebut yaitu Boq Liah Bing.

Hutan Lindung: Kebangkitan Dayak Wehea

Gegap gempita upacara Lomplai, memang selalu menarik. Namun bagi saya, itu hanyalah satu elemen dari keunikan budaya Dayak Wehea. Hal utama yang selalu saya ingat dan kagumi saat perkenalan saya dengan budaya Wehea adalah kearifan mereka terhadap lingkungan dan hutan mereka. Jauh sebelum pemerintah di wilayah ini menggembar-gemborkan soal program lingkungan.

Memberikan darah anak ayam bagi penari Hudoq. Foto: Aji Wihardandi

Kembali ke sepertiga terakhir tahun 2008, saat pertamakali menginjakkan kaki di kampung Nehas Liah Bing. Sepintas, tak ada bedanya dengan kampung Dayak lain bagi saya. Namun, saya mencari tahu lewat beberapa rekan yang bekerja lebih lama di kampung ini. Saya pun mulai berkenalan dengan beberapa tokoh desa, salah satunya adalah sang kepala adatnya, Ledjie Taq. Lagi-lagi, sekilas saya tak melihat sesuatu yang istimewa di sosok pria yang terhitung kecil untuk orang Indonesia ini. Namun, lewat beberapa obrolan pembuka, impresi awal saya mengatakan: pria ini sangat ramah.

Ternyata benar, pertamakali mampir ke rumahnya, obrolan dan kopi mengalir tanpa henti. Tak terasa, 3 jam berlalu. Tapi tentu saja, ini bukan karena saya betah di rumahnya lantaran anak gadisnya yang cantik. Namun dongeng-dongeng beliau yang membuat saya enggan bangkit dari tempat duduk saya dan memutus cerita.  

Kisah tentang hutan lindung Wehea menurut penuturan Pak Ledjie, adalah sebuah bagian yang lekat dengan tata hidup mereka. Kesadaran mengelola lingkungan, bahkan sudah mereka lakoni jauh sebelum pemerintah setempat mengeluarkan peraturan tentang lingkungan di hutan lindung mereka.

Masyarakat Dayak pada dasarnya tidak pernah berani merusak tanah dan hutan beserta isinya secara intensional. Hutan, bumi, seluruh lingku­ngan, serta semua makhluk hidup diatasnya adalah bagian yang tidak terpisahkan dari hidup itu sendiri. Sebe­lum mengambil sesuatu dari alam, manusia Dayak selalu memberi terlebih dahulu kepada penunggu hutan. Sebagai contoh jika ingin membuka lahan baru untuk ladang, terutama menggarap hutan perawan, harus dipenuhi syarat-syarat tertentu. Yakni: (1) Memberitahukan maksudnya kepada kepala suku atau kepala adat, (2) Seorang/beberapa orang ditugasi mencari hutan yang cocok dengan membaca tanda-tanda alam. (3) Jika sudah ditemu­kan kawasan hutan yang cocok, diadakan upacara adat pembukaan seba­gai tanda pengakuan bahwa hutan atau bumi itulah yang memberi mereka hidup, dan berharap agar hutan yang dibuka berkenan memberi hasil dan melindungi mereka. (4) Untuk membuktikan bahwa mereka mengembalikan apa yang diambil ada ketentuan atau kebiasaan bahwa hutan yang diolah itu hanya digunakan selama 2-3 kali masa panen, kemudian hutan itu harus dibiarkan agar tumbuh lagi setelah 10-15 tahun.

Sungai di Hutan Lindung Wehea. Foto: Aji Wihardandi

Memang, mata penca­harian orang Dayak selalu berhubungan dengan dengan hutan. Mereka memu­ngut damar dari kayu meranti, mengambil getah merah dari pohon getah merah, mengambil madu dari lebah yang bersarang di pohon. Kalau berburu mereka pergi ke hutan; kalau bertani, mereka terle­bih dahulu menebang pohon-pohon besar dan kecil di hutan; kalau mereka mengusahakan tanaman perkebunan, mereka cende­rung memilih tanaman yang menye­rupai tanaman hutan, seperti karet, rotan, tengkawang.

Mata pencaharian orang Dayak yang berorientasi pada hutan ternyata berpengaruh pula pada kultur material Dayak. Rumah panjang atau rumah penduduk yang masih asli (kini atapnya banyak dari seng) dibuat seluruhnya dari kayu. Tiang, lantai, dinding, atap, pasak, pengikat (sebelum ada paku, rumah diikat dengan rotan atau akar dan dipasak dengan kayu), semuanya diambil di hutan. Alat angkut berupa sampan dibuat dengan mengeruk batang pohon. Peralatan kerja dan senjata, seperti kapak, beliung, parang, bakul, tikar, mandau, perisai, sumpitan, senjata lantak dan lain-lain. semuanya dibuat dari kayu (paling tidak sebagian) dari bahan-bahan yang diambil di hutan.

Kebudayaan non material Dayak juga banyak berhubungan dengan hutan. Cerita rakyat yang hidup di kalangan etnik Dayak bertutur tentang kehidupan di hutan atau sekitar hutan, bahkan pohon-pohon besar, atau spesies tertentu dipandang sebagai perlam­bang kekuatan mistik. Banyak jenis pohon yang tidak boleh ditebang karena diyakini tempat bersemayam Tuhan mereka. Seni tari, nyanyi, ukir, pahat, dan lain-lain. semua­nya berhu­bungan dengan burung-burung dan makhluk kasar dan halus yang berdiam di hutan.
Hubungan antara orang Dayak dan hutan dengan segala isinya menurut teori ekologi modern merupa­kan hubungan timbal balik. Di satu sisi alam membe­rikan kemungkinan-kemungkinan bagi perkem­bangan budaya orang Dayak, di lain pihak orang senantiasa mengubah wajah hutan itu sesuai dengan pola budaya yang dianutnya.

Ksatria Wehea. Foto: Aji Wihardandi

Proses pengelolaan hutan lindung Wehea sendiri, secara serius dimulai sejak 6 tahun silam. Tahun 2004, di desa Nehas Liah Bing, mulai ditetapkan bahwa desa ini dan hutan lindung Wehea sebagai desa konservasi oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Timur.

Kini hutan lindung Wehea, secara resmi dilindungi oleh hukum adat Wehea. Setiap pelanggaran, baik itu membunuh binatang atau mengambil kayu tanpa izin di dalamnya, akan dikenakan sanksi yang tegas. Bahkan, kini warga dayak Wehea memiliki pasukan tersendiri untuk menjaga hutan lindung ini. Mereka disebut Petkuey Mehuey (PM) atau pasukan penjaga hutan.

Pasukan ini terdiri dari anak-anak muda Wehea, yang secara bergantian dalam setiap shiftnya menjaga dan berpatroli keliling hutan lindung Wehea untuk melakukan monitoring dan membuat serta memperbaiki jalur-jalur wisata yang ada di dalam hutan ini. Tugas lain yang tak kalah penting, tentu saja memandu setiap peneliti atau wisatawan yang datang di hutan lindung Wehea dan menjelaskan setiap keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya.

Setiap shiftnya, berlaku selama dua bulan. Setelah waktu yang ditentukan berakhir, mereka akan digantikan dengan tim lain yang sudah disiapkan. Proses ini sudah terjadi sejak pertamakali hutan lindung Wehea ditetapkan sebagai area yang harus dijaga oleh mereka. Secara resmi, PM ini sudah bertugas sejak tahun 2004 silam, dan terus berjalan hingga saat ini.

Komitmen dan kerja keras warga Dayak Wehea, telah mendapat penghargaan dari Pemerintah Republik Indonesia tahun 2010 silam. Ledjie Taq, sebagai Kepala Adat Dayak Wehea mendapat anugerah Kalpataru sebagai salah satu penggerak dan pelindung lingkungan di Muara Wahau. Penghargaan internasional bahkan telah diraih oleh Hutan Lindung Wehea, yaitu Schooner Prize Award dari Kanada, sebagai salah satu wilayah konservasi terbaik ketiga di dunia.

Jadi, jika anda hendak menikmati hutan lindung Wehea secara utuh, jangan khawatir. Luas hutan sebesar 38.000 hektar ini tidak akan menjadi halangan bagi anda, karena pasukan yang berpengalaman siap menemani anda mengeksplorasi tempat ini. Dan bersiap siaplah dengan berbagai kejutan yang akan anda temui selama perjalanan anda.

Menikmati Keanekaragaman Hayati Hutan Lindung Wehea

Hutan lindung Wehea terletak sekitar 90 kilometer dari desa Nehas Liah Bing di Kecamatan Muara Wahau. Jarak ini bisa ditempuh dengan kendaraan berpenggerak empat roda selama dua setengah jam atau maksimal tiga jam. Hal ini disebabkan karena kondisi jalan aspal yang rusak selepas dari Muara Wahau menuju pintu masuk hutan Wehea.

Lepas dari jalan utama, kita akan menyusuri jalan yang digunakan oleh perusahaan HPH yang ada di sepanjang pintu masuk menuju kawasan ini. Jarak antara pintu gerbang utama di tepi jalan poros trans Kalimantan menuju ke pintu gerbang hutan lindung Wehea, kurang lebih 70 kilometer.  Kerimbunan pohon-pohon berukuran raksasa, dan jurang silih berganti menemani perjalanan menuju kawasan ini. Beberapa hewan, seperti babi hutan, musang, berbagai jenis burung, dan terkadang orangutan melintas di jalan tanah menuju kawasan hutan Wehea. Semilir angin, dan bau hutan menebarkan aroma khas di sepanjang perjalanan.  Pohon-pohon yang kini semakin sulit ditemui di wilayah Kalimantan, masih tumbuh dengan subur disini. Diantaranya adalah Meranti, Bangkirai, dan lain sebagainya.

Jika anda sangat ingin mengabadikan kehadiran berbagai jenis binatang di kawasan ini, saat musim buah, adalah saat terbaik untuk menyusuri hutan Wehea. Mulai bulan Mei hingga Agustus,  biasanya berbagai jenis buah akan matang. Menyediakan sumber pangan bagi seisi hutan, dan sekaligus menjaga kelangsungan siklus di dalam ekosistem lewat penyebaran biji yang dilakukan oleh berbagai spesies-spesies tersebut.

Memasuki hutan lindung ini, kita harus melapor kepada pos jaga, dan mengisi daftar tamu, terkait maksud dan tujuan kedatangan kita di wilayah ini. Hal ini untuk menjamin, bahwa setiap kehadiran wisatawan dan peneliti tercatat dengan baik. Tentu juga untuk meminimalisir resiko bagi setiap pendatang, terutama jika menyusuri area hutan ini di jalur wisata dan penelitian.

Hutan lindung Wehea, masih memiliki kekayaan hayati yang sangat baik hingga kini. Ribuan jenis tanaman dan hewan, mulai dari burung, reptil, hingga serangga, masih bernanung di balik lebatnya hutan lindung Wehea. Hasil monitoring wilayah hutan tahun 2007-2008 mengidentifikasi tak kurang dari 132 jenis burung, 49 jenis mamalia, 47 jenis reptilia, 20 jenis ikan dan 168 jenis serangga.

Bagi peneliti, tempat ini adalah surga keanekaragaman hayati. Bagi para fotografer satwa, tempat ini sangat menjanjikan untuk disambangi dan mendapatkan koleksi foto hewan khas Kalimantan dan Indonesia bagian Barat.

Untuk memudahkan para peneliti dan wisatawan, di hutan lindung Wehea kini sudah tersedia jalur untuk melewati hutan. Jalur ini terbagi dalam beberapa bagian, yaitu jalur ekowisata lintas pendek dan panjang, serta jalur penelitian.  Semuanya lengkap dengan petunjuk jalan dan tanda nama jenis-jenis pohon yang ada di sepanjang jalur lintasan.

Do’s and Donts di Kampung Dayak Wehea

Orang Dayak Wehea sangat menghargai kampung dan lingkungannya, termasuk di dalamnya adalah mahluk hidup. Sebenarnya tidak ada yang secara khusus dilarang di kampung ini, seperti kebanyakan kampung lain di Indonesia, mereka sangat menghargai sopan santun. Dan tentu saja, hal ini berlaku umum bukan?

Hal hal khusus yang harus diperhatikan adalah, bagi kaum pria hanya bisa meminjam pakaian adat, terutama topi untuk kaum pria. Mereka melarang keras topinya dipakai oleh kaum perempuan, dan sebaliknya. Hal ini saya alami, saat saya meminjam topi yang digunakan seorang gadis Wehea. Karena penasaran, saya mencoba mengamati topi ini dari dekat. Dan si gadis pun tak keberatan meminjamkannya, namun ia mengawasi dengan sangat lekat, agar topi itu tidak mampir di kepala saya. Katanya, bisa membawa sial dan jauh jodoh bagi yang masih bujang. Namun ketika saya jelaskan bahwa saya sudah menikah, ia tetap tak mengizinkan saya memakainya, tetap saja, itu terlarang.

Larangan lain adalah tidak melintas di depan rombongan upacara yang sedang melakukan ritual melintasi kampung pada saat upacara Lomplai berlangsung. Selain mengganggu konsentrasi, hal ini bisa merusak ritme upacara yang sedang dilangsungkan.

Hal lain yang harus diingat adalah, jangan kabur saat seseorang mendatangi anda untuk mencoreng wajah anda dengan arang dan menyiram anda dengan air, di penutup acara Lomplai, karena semua orang wajib terkena coretan arang, baik banyak maupun sedikit. Selain tidak sopan, upacara ini dianggap sebagai upacara untuk saling membersihkan diri antara orang-orang yang ada di desa tersebut.

Jika anda membawa kamera, tidak usah khawatir basah terkena siraman air di upacara penutup Lomplai. Seluruh warga desa, sudah memahami peraturan ini, dan mereka sangat berhati-hati memperlakukan pendatang yang membawa kamera. Biasanya mereka akan meminta izin anda, untuk menyiram, baru kemudian mereka melakukannya. Jadi, semua sudah diatur sedemikian rupa agar setiap orang di desa ini bisa menikmati setiap upacara di Lomplai secara maksimal.

Hal yang terpenting adalah, warga Dayak Wehea akan sangat menghargai anda jika anda tidak memberikan uang tips usai memotret mereka. Para tetua adat sudah mengajarkan untuk tidak menerima uang tips jika mereka difoto oleh para wisatawan. Hal ini akan merusak mental, dan membuat orientasi warga hanya akan mengejar uang, dan menganggap diri mereka sebagai objek yang unik dari kacamata fotografi belaka, tanpa memahami makna dari budaya Wehea itu sendiri.

Warga Wehea biasanya menjual cinderamata berupa kaos atau makanan dan minuman, saat hari-hari besar dirayakan di kampung mereka. Mereka juga mendapatkan penghasilan dari wisatawan yang tinggal di rumah mereka. Jadi jika anda adalah fotografer, dan memberikan uang kepada mereka usai memotret, berarti anda sudah berkontribusi merusak mental orang Wehea. Jadi, jangan lakukan hal itu…

Bagaimana Menuju Wehea?

Desa Nehas Liah Bing, terletak di Kecamatan Muara Wahau. Terletak di sisi utara dari kota Balikpapan dan Samarinda. Dari Balikpapan, kita harus melewati Samarinda, kota Bontang, Sangatta, dan terus menuju Muara Wahau.

Menuju hutan Wehea, melintasi medan berat Kalimantan Timur. Foto: Aji Wihardandi

Beberapa moda transportasi bisa menjadi pilihan untuk menuju desa Nehas Liah Bing.

a.      Balikpapan – Nehas Liah Bing dengan mobil sewa

Dari Balikpapan, banyak sekali yang menyewakan kendaraan untuk langsung menuju desa Nehas Liah Bing di Muara Wahau. Lama perjalanan saat ini untuk menuju desa ini adalah sekitar 17-18 jam dari Balikpapan melewati daerah pertambangan di Rantau Pulung, Kutai Timur.

Hal ini menjadi pilihan utama saat ini, karena jalan utama menuju Muara Wahau masih mengalami kerusakan parah. Kendaraan besar maupun kecil, tidak bisa melewati area ini, kecuali sabar menanti bergantian mengantri. Kendaraan seringkali bahkan harus menginap di hutan jika memaksa menggunakan jalur utama ini.

Sementara, melewati jalur tambang dan HPH, kini menjadi pilihan terbaik. Anda tidak perlu khawatir, semua supir mobil sewa antara Balikpapan menuju Muara Wahau hingga Kabupaten Berau kini telah melengkapi roda mereka dengan roda lapangan untuk menembus jalan tanah.

Disarankan untuk membawa perbekalan lebih, saat melintasi jalur ini. Jika hujan sangat deras terjadi di tengah jalur tanah ini, selalu ada kemungkinan menginap di dalam mobil menunggu hujan berhenti.  Harga sewa kendaraan dari Balikpapan ke Muara Wahau adalah Rp. 1.500.000 menggunakan mobil Kijang Innova, sudah termasuk bensin/solar dan supirnya.

b.      Balikpapan – Sangatta dengan Pesawat udara, Lanjut mobil sewa ke Muara Wahau

Alternatif lainnya, adalah anda bisa menuju Muara Wahau melewati Sangatta di Kutai Timur menggunakan pesawat terbang. Penerbangan Balikpapan-Sangatta ada setiap hari melayani jalur ini. Namun, karena ini adalah jalur yang dimiliki oleh perusahaan tambang KPC, maka anda harus membeli tiketnya lewat perusahaan ini, yang tidak dibuka untuk umum.

Dari Sangatta, anda bisa melanjutkan ke Muara Wahau selama 7 jam, hingga di kamoung Nehas Liah Bing. Harga tiket pesawat dari Balikpapan-Sangatta Rp 800.000, sementara harga mobil sewa dari Sangatta menuju Muara Wahau adalah Rp 1.000.000

c.       Balikpapan – Berau dengan Pesawat Udara, Lanjut sewa mobil menuju Muara Wahau

Alternatif ketiga menuju Muara Wahau adalah lewat sisi utara Kalimantan, yaitu Kabupaten Berau. Penerbangan dari Balikpapan menuju Berau kini semakin banyak. Sejumlah maskapai, seperti Batavia Air, Sriwijaya Air, Kalstar dan Trigana melayani penerbangan ke wilayah ini setiap hari. Mencari tiketnya lebih mudah, karena ini adalah penerbangan komersil. Harga tiket Balikpapan – Berau mulai Rp 450.000 sekali jalan, hingga Rp 850.000.

Dari Bandara Kalimarau di Berau, perjalanan menuju Muara Wahau bisa dilanjutkan menuju ke desa Nehas Liah Bing sekitar 8 jam. Harga sewa kendaraan dari Berau menuju Muara Wahau adalah Rp 1.500.000. 

Menuju Hutan Lindung Wehea

Hutan Lindung Wehea terletak 3 jam dari kampung Nehas Liah Bing. Wilayah hutan adat milik orang Dayak Wehea ini hanya bisa dicapai dengan kendaraan berpenggerak empat roda. Untuk mencapainya, sangat mudah jika kita sudah tiba di desa Nehas Liah Bing.

Banyak sekali mobil berpenggerak empat roda yang disewakan di desa Nehas Liah Bing. Untuk menuju hutan lindung Wehea, harga yang ditawarkan adalah Rp 1.500.000 untuk sekali mengantar ke hutan lindung Wehea. Satu mobil bisa diisi dengan 4 tamu.

Menginap Dimana?

A.      Desa Nehas Liah Bing

Di desa ini, anda tidak perlu khawatir. Semua orang di desa ini membuka pintu rumahnya untuk anda, para wisatawan. Tentu saja, ada sedikit biaya yang dikeluarkan, namun itu untuk membeli keperluan anda makan sehari-hari. Rata-rata, biaya menginap sehari semalam untuk satu orang aalah Rp 100.000 dengan makan tiga kali sehari, plus sesekali disediakan kopi oleh tuan rumah saat anda berbincang dengan mereka.

Orang Dayak Wehea adalah orang yang sangat ramah. Jika kebetulan saat Lomplai, dan kebetulan anda lewat depan rumah mereka, anda pasti akan dipanggil dan diajak makan bersama. Gratis tentunya, on the house lah…

B.      Hutan Lindung Wehea

Di hutan lindung Wehea, anda bisa menginap di stasiun riset yang terletak diantara dua sungai. Pemandangan indah, itu pasti. Poin plus lainnya, anda bisa mandi di air terjun yang amat segar, tak jauh dari stasiun riset ini. Dijamin, anda tidak ingin mandi di kamar mandi sekali terjun di tempat ini.

Bagi wisatawan asing, tentu saja harus mengurus Surat Keterangan Jalan di Kantor Polda kaltim di Balikpapan. Biasanya bisa ditunggu, dan sehari selesai. Untuk wisatawan lokal, sebaiknya anda mengurus surat izin kepada Badan Lingkungan Hidup Kutai Timur dan Badan Pengelola Hutan Lindung Wehea di Sangatta, Kutai Timur.

Biaya yang dibutuhkan adalah, donasi untuk Hutan Lindung Wehea Rp 250.000 untuk setiap kedatangan. Biaya ini hanya dibayar sekali saja untuk setiap kedatangan. Biaya lain yang penting adalah penginapan di stasiun riset. Per malam menginap di stasiun riset yang amat lengkap hanya Rp 75.000.

Jika anda ingin jalan dengan aman, seorang pemandu lokal, yang terdiri dari Petkuey Mehuey (PM) alias jagawana yang terdiri dari anak-anak Dayak Wehea siap menemani anda. Biaya untuk setiap pemandu antara Rp 75.000 hingga 100.000 rupiah per hari. Lalu biaya makan, adalah Rp 25.000 rupiah untuk setiap kali makan.

Akses Internet

Bagi wisatawan yang hobi berseluncur di dunia maya, anda tidak akan mengalami kesulitan untuk mengakses internet di desa Nehas Liah Bing. Berbagai provider telepon selular bahkan sudah memiliki menara pemancar yang berdiri tak jauh dari desa. Soal sinyal, anda tidak perlu khawatir. Sekedar update status, atau membuka email, tetap bisa anda lakukan di sela-sela aktivitas wisata dan memotret.

Masalah baru muncul bagi anda, saat memasuki hutan Lindung Wehea. Tidak ada akses internet dan sinyal telepon selular. Jangankan update status, sekedar bertanya kabar kepada orang di rumah rasanya harus menanti dengan sabar. Namun tentu saja, bukan hutan namanya jika masih bisa dirambah sinyal selular. Acara liburan anda, akan sangat terganggu dengan bunyi-bunyian yang mengusik acara trekking anda. Jadi, nikmati saja kesunyian dan nyanyian alam di sekitar anda dengan leluasa.

Listrik

Bagi pelancong, sumber listrik adalah salah satu hal yang penting. Terutama untuk mengisi ulang alat komunikasi dan baterai kamera. Dalam perjalanan ke desa Nehas Liah Bing, anda harus mengisi penuh-penuh seluruh baterai kamera anda saat malam hari. Karena di desa ini, listrik hanya menyala mulai pukul 6 sore hingga 6 pagi keesokan harinya. Jadi sebisa mungkin, saat istirahat malam, jangan lupa mengisi baterai kamera anda.

Saat di hutan lindung Wehea, listrik hanya dinyalakan dengan menggunakan genset. Biasanya genset akan dinyalakan mulai pukul 6 sore, hingga jelang tengah malam. Saat itulah waktu yang anda miliki untuk mengisi ulang baterai anda. Semakin banyak, justru semakin merepotkan. Usahakan membawa peralatan fotografi yang hemat energi, atau menyiapkan baterai cadangan untuk pemotretan lapangan.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,