Penerapan Ekonomi Hijau RI Masih Banyak Kendala

PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kerap menyampaikan, bahwa pemerintah Indonesia memiliki komitmen kuat  mewujudkan pembangunan ekonomi hijau (green economy). Ini diungkapkan dalam berbagai pertemuan nasional dan internasional. SBY bahkan menargetkan ekonomi hijau harus mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi minimal tujuh persen. Sekaligus, menargetkan  mengurangi emisi karbon pada 2020 sebesar 26 persen tanpa bantuan dana luar, 40 persen jika ada bantuan. Niat dan keinginan mulia namun bagaimana implementasi di lapangan?

Basah Hernowo, Direktur Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air Kemenneg PPN/ Bappenas mengatakan, masih banyak hambatan menuju ekonomi hijau, seperti fiskal, akses modal, akses teknologi hijau sampai sumber daya manusia yang memiliki kepekaan terhadap lingkungan.

Masalah diperparah dengan lemahnya koordinasi antarlembaga di pemerintahan. Masing-masing instansi memiliki program sendiri-sendiri tanpa ada sinergi antara satu dengan yang lain. Karena masih terjadi ego sektoral, maka aturan-aturan yang dibuat terkait pembangunan ekonomi hijau pun tak berjalan lancar.

“Bappenas misal sudah bikin perencanaan, lalu masing-masing instansi bikin program sendiri. Jalan sendiri-sendiri. Belum ada sinergi yang baik. Kalau sudah begini, siapa yang bisa memastikan implementasi di lapangan berjalan?” katanya dalam forum Heart of Borneo di Jakarta, Kamis(19/4). Bukan hanya itu. Antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten kota juga tak memiliki rencana sama. “Ini kritikan bagi pemerintah.”

Bustanul Arifin, Guru Besar Pertanian di Universitas Lampung, mengamini banyak masalah terjadi akibat tak ada koordinasi antara pemerintah, baik pusat, provinsi, maupun kabupaten dan kota. Sebenarnya,  bukan masalah sulit menerapkan pembangunan berwawasan lingkungan atau green economy. Dia mengusulkan, aksi strategis antara lain dengan instrumen ekonomi seperti memberikan insentif. Usaha-usaha yang dijalankan dengan prinsip green economy mendapatkan insentif. Lalu, pemasukan pajak dari aktivitas terkait lingkungan dikembalikan lagi untuk konservasi.

Randi Julian M, dari Heart of Borneo Project mengatakan, aktivitas pembangunan banyak tak peduli lingkungan, baik lingkungan hutan maupun masyarakat lokal (asli). Aturan yang dibikin pemerintah pun kerap merugikan masyarakat lokal. “Misal, pusat bikin aturan beri izin perkebunan di satu lokasi, mereka tak melihat kondisi di lapangan bahwa di sana sudah ada penduduk asli. Konflik pun terjadi,” kata pemuda yang juga duta lingkungan se Kalimantan ini.

Heart of Borneo

Adam Tomasek, dari WWF HoB Global Initiative, mengatakan, HoB merupakan satu dari hamparan hutan tropis terluas di dunia dengan kemampuan signifikan dalam mitigasi perubahan iklim di bumi. Ini sebuah tempat yang memiliki kekayaan alam unik namun terancam punah, seperti orang-utan, gajah kerdil, badak dan macan dahan, sedikit di antara banyak spesies  di Borneo.

Pemerintah tiga negara, Brunei, Indonesia dan Malaysia  menandatangani Deklarasi Heart of Borneo tahun 2007. Tujuannya,  melindungi dan membangun kawasan ini secara berkelanjutan. “Kami ingin menunjukkan bahwa peta jalan ekonomi hijau untuk masa depan yang berkelanjutan tidak hanya sebuah kemungkinan, tetapi memberi keuntungan dari aspek sosial, ekonomi dan lingkungan.

Tomasek mengungkapkan, kini, tidak dapat memecahkan permasalahan di masa depan, dengan mengikuti cara-cara lama, tetapi memerlukan pendekatan baru. Melalui Forum ini, diperlihatkan pendekatan multi-stakeholder dalam menghargai modal alam yang terkandung di dalam hutan, hingga bisa memastikan hutan lebih berharga daripada ditebang.

Artikel yang diterbitkan oleh