,

Buku Baru Analysing REDD+, Sudah Siapkah Indonesia Menjalaninya?

Di sela pelaksanaan Konferensi Rio+20, Center for International Forestry Research (CIFOR) menerbitkan sebuah buku berjudul Analysing REDD+: Challenges and Choices. Buku ini adalah kumpulan tulisan dari banyak pakar yang disunting oleh Arild Angelsen dan kawan-kawan ini bicara soal REDD+ yang terbagi dalam tiga bagian utama, yaitu: Understanding REDD+(Memahami REDD+), Implementing REDD+ (Pelaksanaan REDD+) dan Measuring REDD+ (Pengukuran REDD+).

Ini adalah buku ketiga dari CIFOR terkait isu REDD+, yang membahas soal desain dan implementasi awal REDD+, pelaksanaan di lapangan proyek REDD+, tantangan-tantangan dalam desain dan pelaksanaan yang efektif, kebijakan dan proyek REDD+ yang efektif, dengan garis besar konklusi:

A. Sebagai sebuah IDE, REDD+ adalah sebuah kisah sukses yang merupakan sebuah pendekatan baru yang segar yang memberikan harapan dalam pendanaan yang berbasis hasil untuk melakukan upaya pencegahan dalam perubahan iklim.

B. REDD+ menghadapi tantangan besar: kekuatan ekonomi dan politik raksasa masih terus berhadapan dengan deforestasi dan degradasi hutan. Implementasi harus dikoordinasikan dengan berbagai level pemerintahan dan agen-agen pelaksana di lapangan. keuntungan harus dibagikan dan harus diseimbangkan demi efektivitas dan keadilan; hak kepemiikan dan pengeolaan tanah masih belum menemukan titik aman bagi masyarakat dan masih harus dibahas lebih lanjut secara transparan, sistem monitoring karbon dan referensi yang realistis di segala level sangat diperlukan untuk mendukung sistem yang berbasis atas hasil ini.

C. REDD+ bisa mengkatalisasi perubahan: dengan sistem insentif yang baru, munculnya diskursus dan informasi baru, aktor-aktor baru dan koalisi kebijakan baru bisa menggeser kebijakan domestik dari sekedar ‘business as usual’ menjadi berorientasi lingkungan.

D. REDD+ bisa menggabungkan berbagai strategi di wilayah deforestasi yang tinggi: proyek ini bisa menggabungkan strategi yang bisa menegakkan peraturan dan mendukung daya hidup alternatif dengan insentif berbasis hasil, dan proyeki ini harus dilakukan di wilayah-wilayah deforestasi yang tinggi.

E. Pilihan Kebijakan ‘No Regret’: kendati masa depan REDD+ masih belum jelas, para pemangku kepentingan perlu membangun dukungan dan koalisi untuk perubahan, invest dalam sistem informasi, dan mengimplementasikan kebijakan yang bisa mereduksi deforestasi dan degradasi hutan, untuk berbagai tujuan perubahan iklim.

Hutan Kalimantan, di Kabupaten Berau. Foto: Aji Wihardandi

Editor utama buku ini secara khusus menyoroti seputar tantangan REDD+ baik secara praktis maupun politis. Mulai dari pengukuran dan monitoring tinggalan karbon, siapa yang mendapat uang dari REDD+, koordinasi diantara orang-orang lokal, pemerintah regional dan nasional. “Desain dan pelaksanaan REDD+ sangat menantang,” ucap Angelsen. “Bagian tersulit adalah bagian detailnya – saat anda memulai mengerjakan sisi spesifik REDD+, mulailah muncul konflik lebih banyak.”

Bagian lain yang juga sulit adalah membangun sebuah sistem referensi untuk menentukan penilaian tinggalan karbon dalam sebuah proyek REDD+. Terutama untuk menentukan nilai insentif yang diterima oleh satu daerah karena menjaga tegakan pohon dan menjaga tutupan hutan. Ini adalah sebuah tugas berat, karena terkadang, data yang ada tidak valid di lapangan, dan membuka pintu-pintu konflik dengan masyarakat lokal.

Khusus untuk kasus Indonesia, salah satu permasalahan mendasar adalah sistem data dan informasi antar-lembaga di berbagai level yang masih berantakan. Ketidaksinkronan data yang dimiliki lembaga di level nasional, seperti Departemen Kehutanan RI, dengan lembaga-lembaga pemerintahan lokal seperti Pemerintah Kabupaten, Kecamatan dan seterusnya menjadi satu masalah tersendiri. Seperti dibahas dalam Chapter 6 buku ini, Multiple Levels and Multiple Challenges for REDD+, dalam tabel 62 disebutkan: salah satu halangan untuk menentukan MRV (Measuring, Reporting and Verification) di Indonesia adalah perlu energi ekstra untuk  menggabungkan data spasial dan tutupan lahan, serta menentukan peta tunggal untuk menentukan batas administratif dan konsesi.

Sementara dari sisi kebocoran pendanaan, hal ini terkait erat dengan permainan politik lokal yang memiliki otoritas penggunaan dana dan menentukan kebijakan. Hal serupa juga dibahas dalam Box 6.1 Risks od Corruption in REDD+ : Lessons from Indonesia oleh Ahmad Dermawan. Dalam tulisan ini dibahas seputar koordinasi dalam penggunaan dana REDD+ yang turun untuk proyek masih jauh dari situasi ideal. Ahmad Dermawan menilai, salah satu tantangan terbesar adalah masih lemahnya penentukan batas area dari hutan negara.

Misalnya dalam kasus permohonan izin untuk REDD+ sebagai program nasional yang bisa dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan RI, izin bisa dikeluarkan oleh lembaga ini. Namun tumpang tindihnya batas, serta tumpang tindihnya aturan serta otoritas dengan pemerintah di level lebih rendah (misalnya kabupaten) membuat izin yang dikeluarkan untuk proyek REDD+ seringkali berhadapan dengan izin tambang atau konsesi perkebunan di lapangan.

Penentuan batas yang tidak jelas dalam peruntukan hutan dan lahan, seringkali menimbulkan masalah. Foto: Rhett A. Butler

Buntutnya, tidak hanya soal batas. Namun hal ini membuat kebingunan di tingkat masyarakat lokal, dan membuat sebuah tantangan baru bagi REDD+ di lapangan: apa yang membuat REDD+ lebih menguntungkan secara finansial bagi mereka di tingkat akar ketimbang tambang atau perkebunan? Kerja berat agen-agen lapangan REDD+ pun dimulai disini. Apalagi, dengan adanya sistem perhitungan karbon dengan berbasis hasil nyata yang akan menghitung tinggalan karbon di sebuah wilayah berdasar atas tutupan lahan dan tegakan pohon. Sistem ini membuat masyarakat takut untuk menerima REDD+ sebagai sebuah solusi.

Dari hasil wawancara lapangan yang dimuat di dalam buku baru ini diketahui bahwa warga yang memahami ide dasar dari REDD+ sekitar 2 sampai 13% saja (untuk proyek di Ulu Masen, Aceh, KCCP dan KFCP). Lalu pemahaman soal program REDD+ lokal 6 sampai 27% saja. Artinya hanya rata-rata 10 persen orang lokal yang paham apa itu REDD+ di ketiga wilayah proyek tersebut, dan hanya sekitar seperempat dari penduduk yang paham soal program REDD+ lokal di tahun 2010.

Pertanyaan umum lain yang muncul dari wawancara ini adalah seputar pendapatan yang berkelanjutan bagi masyarakat di sekitar hutan terkait program REDD+ ini. Hal lainnya adalah ketakutan akibat kegagalan proyek-proyek pemerintah di masa lalu yang berakhir dengan konversi lahan menjadi perkebunan, serta berurangnya akses memasuki hutan terkait REDD+. Ketiga faktor ini menyebabkan keraguan bagi masyarakat sekitar desa untuk bisa menerima REDD+ sebagai sebuah solusi tepat bagi mereka, tak hanya soal sumber daya di hutan, namun juga penghasilan.

Secara teknis, buku baru ini memang sangat lengkap membahas kondisi terbaru dari REDD+ sebagai sebuah solusi untuk menekan emisi karbon akibat deforestasi dan degradasi hutan, namun pendekatan yang dilakukan lewat buku ini cenderung kaku, berbasis data keras, dan langkah demi langkah yang disusun secara teratur.

Tentu ini sebuah hal positif jika dilihat dari sudut pandang pelaksanaan, namun beberapa prasyarat dasar, seperti tingkat kematangan birokrasi di sebuah negara, tingkat kerapihan data administratif terkait hutan dan lingkungan, serta tingkat keseriusan politik untuk membangun sistem REDD+ secara matang, menjadi masalah tersendiri untuk kasus Indonesia. Ancaman-ancaman korupsi (REDD+ melibatkan dana puluhan bahkan ratusan juta dollar), tumpang tindihnya kebijakan soal status lahan, serta lemahnya pengetahuan warga akibat lemahnya informasi, membuat kemajuan program REDD+yang dilakukan berjalan sangat lambat.

Seperti dituangkan oleh Erik Olbrei dan Stephen Howes dari Australian National University dalam tulisan mereka soal kegagalan REDD+ di Kalimantan Forest Carbon Partnership:

1. Target utama KFCP telah diturunkan secara drastis. Hanya sepuluh persen, dari target awal yang digembar-gemborkan, karena target awal terlalu bombastis.

2. Perkembanga di lapangan sangat lambat. Blokade kanal-kanal utama belum dimulai, hanya 50.000 pohon yang ditanam, mekanisme pengukuran emisi belum tuntas, dan baseline emisi bahkan belum dijelaskan secara detail.

3. Deforestasi dan konversi lahan gambut tetap berlangsung dengan cepat dan dalam skala besar di Indonesia. Penanaman dan ekspansi perkebunan sawit makin meluas.

Senator Partai Hijau Australia, Christine Milne, bahkan menyebut proyek KFCP ini sebagai sebuah kegagalan total, akibat lambatnya perkembangan di lapangan, dan lemahnya pelaksanaan yang mengakibatkan menurunnya target capaian yang semestinya.

Kegagalan-kegagalan ini dipicu oleh beberapa hal, terutama adalah minimnya akses informasi publik dan masyarakat lokal terhadap KFCP membuat mereka tidak memiliki informasi yang cukup transparan soal pelaksanaan proyek ini. Dan ketika proyek ini diturunkan targetnya, masyarakat tidak memilki gambaran luas soal hal ini, dan menimbulkan sebuah opini bahwa AusAID dan Negara Australia tidak serius dalam menangani proyek REDD percontohan mereka di Kalimantan.

Contoh lain yang lebih nyata adalah pelaksanaan REDD di Aceh, di kawasan hutan gambut Rawa Tripa. Mantan Gubernur Aceh Irwandu Yusuf jutsru mengeluarkan izin untuk membuka perkebunan sawit bagi PT Kallista Alam, di saat proyek REDD berjalan, artinya political will yang lemah, digabung dengan administrasi data yang tidak terkoordinasi menjadi sebuah racun dalam proyek REDD ini. Masalah bukan muncul dari REDD+, tapi lebih pada kesiapan Indonesia itu sendiri yang menjalankan proyek ini secara jangka panjang.

Selain itu, buku ini mungkin lupa menyoroti betapa faktor budaya sangat kental berbicara dalam setiap pelaksanaan proyek yang masuk ke sebuah wilayah. Kendati dianggap menjadi batu sandungan, jika gagal ‘menjinakkan’ faktor ini, namun salah satu kunci sukses dalam proyek pelestarian hutan dan menjaga tutupan hutan berbasis masyarakat, justru faktor budaya. Terlepas dari apakah ini program REDD+ atau tidak, yang terpenting hasilnya tetap sama dengan target program REDD+ ini, mereduksi emisi karbon dan menjaga tutupan hutan, serta membawa manfaat bagi masyaralat sekitar hutan.

Masyarakat Dayak Wehea, hidup mandiri dan harmoni bersama hutan mereka. Foto: Aji Wihardandi

Salah satu contoh istimewa dalam hal ini adalah masyarakat Dayak Wehea, di Muara Wahau, Kalimantan Timur yang mengelola hutan adat mereka yang dimulai sejak 6 tahun silam. Tahun 2004. Ats inisiatif masyarakat, hutan dan desa ini mulai ditetapkan sebagai desa konservasi oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Timur. Hutan lindung Wehea seluas 40 ribu hektar, secara resmi dilindungi oleh hukum adat Wehea. Setiap pelanggaran, baik itu membunuh binatang atau mengambil kayu tanpa izin di dalamnya, akan dikenakan sanksi yang tegas. Bahkan, kini warga dayak Wehea memiliki pasukan tersendiri untuk menjaga hutan lindung ini. Mereka disebut Petkuey Mehuey (PM) atau pasukan penjaga hutan.

Pasukan ini terdiri dari anak-anak muda Wehea, yang secara bergantian dalam setiap shiftnya menjaga dan berpatroli keliling hutan lindung Wehea untuk melakukan monitoring dan membuat serta memperbaiki jalur-jalur wisata yang ada di dalam hutan ini. Tugas lain yang tak kalah penting, tentu saja memandu setiap peneliti atau wisatawan yang datang di hutan lindung Wehea dan menjelaskan setiap keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya.

Setiap shiftnya, berlaku selama dua bulan. Setelah waktu yang ditentukan berakhir, mereka akan digantikan dengan tim lain yang sudah disiapkan. Proses ini sudah terjadi sejak pertamakali hutan lindung Wehea ditetapkan sebagai area yang harus dijaga oleh mereka. Secara resmi, PM ini sudah bertugas sejak tahun 2004 silam, dan terus berjalan hingga saat ini.

Komitmen dan kerja keras warga Dayak Wehea, telah mendapat penghargaan dari Pemerintah Republik Indonesia tahun 2010 silam. Ledjie Taq, sebagai Kepala Adat Dayak Wehea mendapat anugerah Kalpataru sebagai salah satu penggerak dan pelindung lingkungan di Muara Wahau. Penghargaan internasional bahkan telah diraih oleh Hutan Lindung Wehea, yaitu Schooner Prize Award dari Kanada, sebagai salah satu wilayah konservasi terbaik ketiga di dunia.

Hutan lindung Wehea kini juga merupakan sebuah objek pariwisata andalan, sekaligus pusat penelitian bagi dunia kehutanan. Sementara masyarakat bisa menghidupi diri mereka sendiri dengan bekerja di hutan sebagai penjaga hutan, pemandu wisata, tetap menjadi petani di desa mereka, menjual atraksi tahunan mereka yaitu Festival Panen Lomplai, dan tetap membiarkan tutupan hutan mereka terus bertambah.

Dengan atau tanpa REDD+. Intinya, adalah memancing inisiatif masyarakat dan menomorsatukan masyarakat, dan menjauhkan dari segala janji-janji soal insentif yang justru memancing pertanyaan serta konflik, seperti beberapa kasus proyek REDD yang telah terjadi di berbagai wilayah Indonesia hingga kini. Apa pun payung programnya, keseriusan pemerintah lokal dan peran masyarakat dalam menjaga alam, tetap jauh lebih utama.

E-book dalam format PDF dapat diunduh di: sini

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,