,

Editorial: Konflik Kehutanan Cerminkan Ketimpangan Keadilan Sosial

“Pengelolaan hutan masih menganggap Hutan sebagai Obyek dan Manusia sebagai Subyek, dan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan dianggap sebagai subyek yang harus dikeluarkan dari wilayah hutan”

Seperti diberitakan oleh Mongabay.co.id (29 Juni 2012), saat ini masyarakat yang tinggal di Pulau Padang, kecamatan Merbau, Kabupaten Kepulauan Meranti sangat resah terhadap nasib masa depannya.  Konflik lahan antara pihak masyarakat dengan pihak PT RAPP (APRIL Group) telah menyebabkan tidak jelasnya mata pencarian masyarakat.  Sebagai bagian dari rasa frustasi, 10 orang masyarakat Pulau Padang siap membakar diri di depan Istana Negara melanjutkan upaya untuk mencari kebenaran.

Konflik bermuasal dari keluarnya SK Menhut nomor 327 tahun 2009 yang memberikan tambahan luasan wilayah konsesi RAPP di hutan gambut Pulau Padang dan Semenanjung Kampar yang berpotensi untuk mengubah bentang hutan alam seluas 41.250 hektare (ha) dari sekitar 110.000 ha luas Pulau Padang untuk tanaman monokultur akasia.  Masyarakat Pulau Padang, yang mulanya hidup tenang dengan pola pertanian dan perkebunan sagu dan karet mulai terusik ketika RAPP masuk.

Demo Masyarakat Pulau Padang Menuntut Keadilan dari Pemerintah. Foto: Ahlul Fadli

Kawasan Pulau Padang yang sejatinya pulau kecil berbentuk kubah gambut sangat rentan jika ada aktivitas konversi hutan skala luas. Perkebunan sagu yang menjadi sektor andalan masyarakat Pulau Padang akan terganggu karena konversi hutan gambut dan akan membuat lahan terlalu kering. Kondisi lain diperparah makin tinggi pengikisan tanah di pesisir. Saat ini permukaan gambut sendiri, dilaporkan telah turun 1 meter dari permukaan gambut semula.

Ibarat gunung es, maka kasus Pulau Padang hanyalah satu dari sekian banyaknya kasus pertanahan yang berhubungan dengan kehutanan. CIFOR dan FWI dalam penelitiannya menyebutkan terdapat lima faktor penyebab konflik kehutanan yaitu:  1) perambahan hutan,  2) kerusakan lingkungan,  3) alih fungsi,  4) pencurian kayu, dan  5) tata batas dan pembatasan akses kepada masyarakat.

Dari kelima kategori ini pada umumnya konflik-konflik yang sering terjadi di sekitar kawasan hutan paling sering dikarenakan adanya tumpang tindih tata batas sebagian areal konsesi maupun kawasan lindung dengan lahan garapan masyarakat; dan karena terbatasnya akses masyarakat untuk memperoleh manfaat dari keberadaan hutan, baik hasil hutan maupun sebagai tempat tinggalnya.  Hal ini bertambah parah, karena umumnya peta kawasan hutan negara yang telah selesai diadministrasi ‘bertemu gelang’ (dinyatakan telah disahkan dan ditetapkan) baru 14,24 juta hektar dan 116,44 juta hektar lainnya yang belum ditetapkan.

Pada tahun 2011 saja, LSM Hukum Lingkungan HuMA mencatat paling tidak terdapat 69 kasus sengketa kehutanan yang terjadi di 10 propinsi di Indonesia.  Konflik semakin kerap terjadi akibat akes yang menyempit dan semakin terdesaknya kawasan hutan yang semula dikelola oleh masyarakat karena terdesak oleh izin konsesi yang dikeluarkan oleh pemerintah.  Data tentang sebaran sebaran konflik di regional nyaris tidak berubah dengan data yang dikumpulkan oleh CIFOR dan FWI pada tahun 2004, yang menyatakan setidak-tidaknya terdapat konflik kehutanan di 10 propinsi Indonesia.

Doktrin Kebijakan Kehutanan di Indonesia: Bersandar kepada Kayu dan Pemanfaatan Ekonomi

Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB menyatakan bahwa konflik kehutanan saat ini di Indonesia tidak terlepas dari sikap dan pola pandangan pengelolan kehutanan itu sendiri.

Selama ini pengelolaan kehutanan berbasis kepada doktrin yang diambil dari pengelolaan hutan yang berasal dari Eropa Kolonial yaitu hutan masih dipandang sebagai penghasil utama kayu (timber primacy), mempertahankan kelestarian hasil hutan berjangka panjang (long term sustained yield), dan berpatokan bahwa hutan adalah obyek pengetahuan ilmiah (absolute standard).  Dengan demikian implementasi kebijakan perundang-undangan adalah untuk mendapat manfaat ekonomi sebesar-besarnya dari pemanfaatan hasil hutan (umumnya kayu) dan menisbikan dinamika lain yang terjadi seperti pengakuan keberadaan hutan bagi masyarakat.

Dengan pola ini, tidak heran jika pemerintah masih memandang bahwa masih menguntungkan jika hutan dikelola oleh perusahaan besar melalui ijin konsesi daripada mengembangkan beragam tujuan lain dari hutan.  Hutan masih dianggap sebagai asset milik negara (satu arah) tanpa melihat adanya kenyataan bahwa banyak aktor, -termasuk masyarakat,- yang terlibat.  Pengelolaan hutan di Indonesia masih menganggap hutan sebagai obyek (yang dapat dimanfaatkan dan dieksploitasi), dan manusia sebagai subyek, dan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan dianggap sebagai subyek yang harus dikeluarkan dari wilayah hutan. Pandangan ini tentunya telah melakukan pengabaian akan kenyataan sejarah bahwa bergenerasi kelompok masyarakat telah bermukim di wilayah tersebut jauh sebelum adanya hegemoni dan klaim hukum negara di wilayah tersebut.

Dengan pandangan demikian, masyarakat yang selama ini hidup dari jasa hutan, dianggap sebagai kelompok yang lebih lemah posisinya daripada para pemegang ijin maupun pengelola hutan.  Berbagai kebijakan yang diambil pemerintah terkait hutan hanya dilakukan diantara pihak pemerintah dengan perusahaan pemohon ijin yang ditunjuk dan ditetapkan negara sebagai pihak pengelola kawasan.

Pada jaman orde baru, dikenal pola praktik “Bina Desa Hutan”, suatu praktik umum dimana pemegang konsesi seperti HPH, diwajibkan untuk melaksanakan program membantu masyarakat yang tinggal di dalam/ sekitar hutan dengan bantuan yang bersifat charity seperti pembangunan prasarana dan sarana seperti sarana ibadah, pendidikan, kesehatan dan balai desa.

Sebagai bagian pemberian kompensasi kepada masyarakat, – agar merasakan dampak langsung pengelolaan hutan dari pemegang konsesi dalam jangka pendek -, mungkin praktik bantuan langsung ini memberikan manfaat bagi masyarakat, tetapi dalam jangka panjang hal ini tidak menjawab pertanyaan dasar mengenai pengakuan terhadap keberadaan masyarakat untuk mengelola hutan itu sendiri.

Akibatnya, yang umum terjadi di daerah konflik, masyarakat tidak tahu-menahu mengenai rencana pengelolaan yang ada.  Pemberian ijin konsesi umumnya ditindaklanjuti dengan munculnya larangan masyarakat untuk memasuki hutan.  Demikian pula berbagai kebijakan alih fungsi hutan, seperti ijin konsesi untuk konversi hutan menjadi perkebunan sawit, HTI akasia dan eucalyptus maupun tambang, menyebabkan akses memenuhi kebutuhan kehidupan yang semula ada, menjadi semakin sempit, bahkan tertutup.

Belum bicara mengenai pranata sosial, seperti adat, budaya dan filsafat hidup yang menjadi hilang.  Masyarakat Dayak Punan atau Orang Rimba misalnya (baca artikel Mongabay.co.id 28 Juni 2012) yang hidup dari berburu dan meramu menemukan bahwa hutan tempat hidupnya telah dikonversi menjadi perkebunan sawit.  Apa yang mereka bisa lakukan untuk mengantisipasi perubahan yang ada tersebut?  Apakah mereka mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan baru yang berbeda dengan kehidupan nenek moyang mereka bergenerasi yang telah tinggal dan diwariskan di wilayah itu?

Belum lagi bicara tentang hal lain seperti dampak lingkungan yang terjadi.  Pencemaran sungai akibat pestisida, hilangnya habitat satwa buruan, penyakit ISPA (umumnya terjadi di wilayah hutan yang dibakar untuk konversi lahan) dan hilangnya sumber-sumber mata air telah menyebabkan turunnya kualitas kehidupan masyarakat lokal.

Meskipun saat ini pemerintah telah memunculkan berbagai inisiatif program pengelolaan hutan bagi masyarakat, seperti hutan desa (dengan tujuan kesejahteraan desa), hutan kemasyarakatan (untuk memberdayakan masyarakat) dan hutan tanaman rakyat (untuk tujuan ekonomi masyarakat), namun masih terasa ketimpangan yang terjadi terhadap penguasan tanah lahan hutan.

Sebagai gambaran, pada tahun 2011 pemanfaatan hutan oleh usaha besar (pengusahaan hutan pada hutan alam, hutan tanaman dan restorasi ekosistem), usaha besar perkebunan dan tambang, serta untuk program transmigrasi adalah seluas 41,01 juta Ha atau 99,49% sedangkan pemanfaatan hutan oleh masyarakat lokal/adat (hutan tanaman rakyat, hutan desa dan hutan kemasyarakatan) seluas 0,21 juta Ha atau 0,51% dari luas pemanfaatan hutan seluruhnya (Data Kemenhut, 2011).

Saat ini pula, terdapat 304 perusahaan HPH yang beroperasi dengan luas konsesi lahan sekitar 24,88 juta hektar, sedangkan untuk pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang diperuntukkan kepada 11.499 kepala keluarga hanya sekitar 210.000 hektar saja.

Bom waktu telah nyata di depan mata.  Pengabaian terhadap hak-hak masyarakat ini akan menyebabkan semakin meningkatnya eskalasi konflik kehutanan di masa depan.  Saat ini terdapat 33.000 desa di seluruh Indonesia yang berada di dalam maupun di sekitar kawasan hutan yang harus diberikan kejelasan hukum (Bisnis Indonesia, 28 Juni 2012).  Apakah untuk setiap kejadian konflik, masyarakat akan terus dikriminalisasi dan dianggap sebagai aktor yang menentang dan melawan hukum?

Hukum yang ada harus direformasi.  Pengelolaan hutan harus memperhatikan hak asali manusia, yaitu hak untuk hidup layak dan hak berusaha untuk mencari nafkah.  Pemerintah tidak boleh lagi hanya menjadi ‘pemadam kebakaran’ namun harus muncul dengan paradigma baru pengelolaan kehutanan yang diimplementasikan dalam aturan dan kebijakan baru.  Pemerintah pun harus memberikan kepastian hukum atas tanah yang dikuasai dan diolah baik oleh masyarakat lokal maupun masyarakat adat secara kolektif.  Agenda reformasi agraria harus segera dilaksanakan, tanpa perlu menunggu lagi munculnya kasus-kasus yang mengenaskan seperti yang terjadi bagi masyarakat Pulau Padang dan ratusan bahkan ribuan kasus lain yang selama ini terjadi.

Satu tantangan yang harus diselesaikan, jika pemerintah masih mau dianggap sebagai pemerintah yang memberikan keamanan berkehidupan dan berkeadilan sosial bagi masyarakatnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,