Hutan Gambut Rawa Tripa Masih Terus Terbakar

Perkembangan kondisi dari hutan gambut Rawa Tripa di Nagan Raya hingga akhir pekan lalu, hutan ini kembali terbakar setelah perusahaan perkebunan kelapa sawit melanggar kembali aturan larangan penebangan hutan untuk keperluan perkebunan. Apalagi, wilayah Rawa Tripa kini kembali masuk ke dalam area moratorium hutan.

Sejumlah aktivis lingkungan sudah mengingatkan warga lokal, bahwa keberadaan orangutan di wilayah ini akan musnah selamanya jika api tidak dihentikan. Dari pantauan helikopter yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup, beberapa wilayah di Rawa Tripa masih terus berasap. Kepala investigasi Kementerian Kehutanan, Syarifudin Akbar dalam pengamatannya menyatakan bahwa tak kurang dari 2000 hektar kembali terbakar di awal Juli ini.

“Hal ini adalah sebuah kasus kriminal, karena peraturan sudah jelas melarang untuk membuka lahan dengan cara membakar,” ungkap Akbar kepada Sidney Heral Tribune.

Aktivis lingkungan setempat menyatakan bahwa api disulut oleh perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di wilayah tersebut, dan kini mengancam sekitar 200 orangutan yang hidup di wilayah ini.  Rawa Tripa adalah salah hutan gambut dengan kepadatan orangutan tertinggi di dunia. Sebelum dihancurkan, tak kurang dari 3000 ekor orangutan hidup di wilayah ini. Kini di seluruh Sumatera, diperkirakan hanya tinggal 7000 ekor orangutan, yang terus berkurang akibat dampak langsung penebangan hutan primer untuk keperluan pembukaan perkebunan sawit di Sumatera.

Titik-titik api yang terdeteksi oleh satelit, terjadi sejak pekan lalu. Kementerian Lingkungan Hidup, Kepolisian RI dan Satgas REDD sejak pekan lalu telah melakukan investigasi lebih lanjut dalam kebakaran hutan ini. Mas Achmad Santosa, yang mewakili Satgas REDD sepakat bahwa kebakaran di Rawa Tripa ini adalah lebih pada isu penegakan hukum dan itu adalah tugas Satgas REDD, ungkap  Ketua Pokja Pengkajian Peraturan dan Penegakan Hukum Satgas REDD+ ini.

Namun, pengacara warga Rawa Tripa, Kamarudin menyatakan bahwa investigasi yang dilakukan oleh pemerintah ini agak sedikit terlambat, dan sebaiknya melibatkan langsung Presiden SBY untuk menangani masalah ini secara tegas. “Perusahaan-perusahaan kelapa sawit ini sudah diperintah untuk menghentikan penebanagan dan itu harus benar-benar ditegakkan, jika tidak huan gambut dan seisinya di Rawa Tripa akan hilang selamanya,” ungkap Kamarudin.

Presiden SBY sender mendapat penghargaan yang tinggi dari berbagai pernyataannya yang pro-lingkungan dalam Konferensi Rio+20 beberapa waktu silam di Rio de Janeiro, Brasil, terutama dalam kalimat “Deforestasi adalah sebuah hal yang terjadi di masa lalu” lalu kalimat lainnya yaitu ‘Kehilangan hutan tropis adalah sebuah bencana nasional, global dan bahkan bencana bagi seluruh planet.”

Namun tetap saja, hal ini tak mengubah ‘musim buka lahan’ di lapangan di Kalimantan dan Sumatera -dan juga ekspor kabut asap ke wilayah negara tetangga- saat sejumlah perusahaan terus membuka lahan di musim kering ini untuk mempersiapkan perkebunan baru.

“Kendati sudan banyak sekali pidato, dan pernyataan tentang konservasi orangutan dan lahan gambut serta mereduksi emisi karbon…namun kenyataan di lapangan jelas, tidak ada perubahan samasekali,” ungkap Direktur Konservasi di Sumatran Orangutan Conservation, Ian Singleton.

Sebagian wilayah yang terbakar pekan lalu ini dimiliki oleh PT Kallista Alam, yang kini tengah bermasalah secara hukum setelah izin operasinya terancam dicabut, dan lahan konsesinya masuk kembali ke wilayah moratorium. Namun seperti dilaporkan Sidney Herald Tribune, juru bicara perusahaan ini menyanggah hal tersebut. Kebakaran ini bukan dari wilayah konsesi mereka, namun dari wilayah konsesi perusahaan yang berbatas dengan mereka.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,