700 Ribu Hektar Hutan Kutai Timur Akan Beralih Menjadi Kebun Sawit

Konversi lahan dan hutan di wilayah Kalimantan Timur akan terus terjadi dalam waktu dekat, salah satunya terkait rencana Pemerintah Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur melalui Dinas Perkebunan yang telah menerbitkan 101 ijin usaha perusahaan (IUP) untuk sektor perkebunan kelapa sawit dengan luas areal 700 ribu hektare.

Seperti diaporkan Kalimantan-News.com Kepala Dinas Perkebunan Kutai Timur H Ahmadi Baharuddin di Sangatta, mengatakan IUP yang dikeluarkan sebanyak 101 untuk perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit itu tersebar di seluruh kecamatan se-Kutai Timur dengan total luas saat ini mencapai 700 ribu hectare.

“Dari 101 IUP yang diterbitkan diatas lahan seluar 700 ribu hectare hanya 87 perusahaan pemegang IUP yang aktif dengan luas 287 ribu hektare yang ditanami sawit sedangkan perusahaan lainnya tidak ada kegiatannya,” ucapnya. Dari 101 ijin yang telah dikeluarkan dengan luas lahan sekitar 700 ribu hektare tidak semua dapat ditanami sawit, karena sebagian adalah merupakan wilayah dengan gunung batu, serta daerah  pemukiman dan lain sebagainya.

Ahmadi Baharuddin mengatakan tidak mudah merealisasikan target 500 ribu haktare, sebab untuk membangun 287 hektare lahan kebun di Kutai Timur butuh waktu 12 tahun yakni sejak tahun 2000 hingga 2012 saat ini. Target Kutai Timur adalah 500 ribu hektare kebun sawit dari total sat juta haktare lahan sawit yang dicanangkan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, dan hanya bisa terealisasi dalam lima tahun lagi.

Diperkirakan untuk merealisasikan kebun sawit 500 ribu hektare, dibutuhkan waktu paling tidak 5 tahun lagi, ujar Ahmad Baharuddin yang sebelumnya menjabat wakil kepala dinas perkebunan Kutai Timur . “Jadi memang banyak perusahaan/investor yang memiliki ijin usaha yang belum dapat merealisasikan perkebunan saat ini karena terkendala batas wilayah desa,” katanya.

Hal itu merupakan tugas pemerintah untuk menyelesaikan hambatan tersebut sehingga investor bisa bekerja dan masyarakat juga dapat meningkat pendapatannya dan meningkatkan kesejahteraannya. “Harapan kami segera ada penyelesaian supaya semua pemegang IUP yang sudah dikeluarkan ini akan dapat menjalankan usahanya dengan baik,” katanya.

Terkait penerbitan IUP saiwt tersebut, berbagai masalah seputar perkebunan sawit sebelumnya pernah terjadi di Kutai Timur. Salah satunya adalah konflik yang terjadi awal tahun 2011 silam antara masyarakat dari  tiga desa di wilayah Sungai Telen, Kecamatan Muara Wahau, Kutai Timur, dengan perusahaan kelapa sawit PT Swakarsa Group. Penduduk tiga desa tersebut, bahkan sempat menduduki pabrik kelapa sawit (PKS-II) PT. Swakarsa Group.

Demonstrasi tersebut diikuti lebih dari 200 orang warga desa, diantaranya Desa Dea Beq, Diak Lay dan Bea Nehas. Masing-masing desa dikoordinir oleh satu koordinator lapangan. Mereka menuntut keadilan, karena tidak pernah diindahkan oleh perusahaan tersebut, sementara wilayah perusahaan berada dalam wilayah desa mereka, serta desa Nehas Liah Bing, demikian disampaikan Musa Ba dari Desa Diak Lay.

Terdapat 18 tuntutan yang disampaikan oleh warga dari ketiga desa tersebut. Para demostran juga telah menutup semua akses kebun yang menyuplai tandan buah segar ke pabrik tersebut sehingga turut melumpuhkan kegiatan kebun PT. Swakarsa.

Musa Ba menuturkan bahwa selama ini mereka merasa dianaktirikan oleh perusahaan. Selama ini kami di 3 desa tersebut tidak merasakan dampak pemberdayaan yang dilakukan perusahaan, sedangkan perusahaan hanya memperhatikan desa tertentu saja, yaitu Desa Muara Wahau. Disamping itu, lokasi dimana pabrik dibangun adalah lokasi situs bersejarah bagi masyarakat ketiga desa tersebut  dan merupakan bekas kampung tua serta kuburan leluhur masyarakat Wehea di 3 desa tersebut. “Selama ini kami diam saja, tetapi sekarang kami bangkit melawan untuk menuntut keadilan yang menjadi hak kami.”

Selain persoalan situs sejarah, diduga juga persoalan pencemaran limbah pabrik juga menjadi sebuah point penting yang disuarakan oleh warga ketiga desa tersebut, hal ini disebabkan limbah pembuangan dari pabrik kelapa sawit yang tidak tertampung pada kolam limbah, dibuang ke Sungai Bit yang bermuara langsung ke Sungai Telen. Sedangkan air Sungai Telen dikonsumsi oleh masyarakat ketiga desa tersebut.

Tanpa keseriusan pihak perusahaan perkebunan untuk memperhatikan kondisi lingkungan masyarakat setempat, serta melakukan pembukaan lahan dengan prosedur yang legal, berbagai masalah hukum dan konflik lahan masih akan terus mengancam dan merugikan komunitas asli.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,