,

Fenomena Sawit: Musnahkan Hutan Tropis, Ekspansi Modal Asing Melimpah

Kendati kerusakan alam dan penggundulan hutan mencapai taraf mengkhawatirkan dengan segala dampaknya bagi Indonesia, namun pemerintah nampaknya belum berencana untuk menekan pertumbuhan lahan kelapa sawit di Indonesia. Bahkan, di tahun 2012 ini, permintaan komoditi sawit Indonesia justru mengalami peningkatan seiring dengan aktivitas perdagangan internasional yang makin marak atas komoditi ini. Setiap tahun, Indonesia menghasilkan tak kurang dari 27 juta metrik ton kelapa sawit, 5.8 juta metrik ton diekspor ke India dari total 7.7 juta metrik ton total impor India. Sisanya ke Cina dengan 5.9 juta metrik ton dan ke Uni Eropa.

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) merencanakan menambah jumlah ekspor kelapa sawit Indonesia ke seluruh dunia hingga 18 juta ton, naik 2,2% dari tahun 2011 sebesar 17.6 juta ton. Dengan kondisi ini, Indonesia merupakan eksportir komoditi sawit terbesar ke seluruh dunia. Jauh di atas Malaysia yang berada di posisi kedua dengan angka sekitar 7 hingga 8 juta metrik ton.

Angka tersebut, nampaknya akan tercapai, atau bahkan melewati target setelah di awal September 2012 ini beberapa negara  berniat membeli kelapa sawit tambahan dari Indonesia lebih banyak. Salah satunya adalah Cina, yang berniat membeli kelapa sawit Indonesia untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan industri mereka. Seperti dilaporkan oleh www.brecorder.com, hingga akhir Juli 2012, jumlah ekspor kelapa sawit Indonesia ke Cina adalah 1.25 juta metrik ton, dari data yang didapat oleh Reuters. Hal ini cukup unik, mengingat pertumbuhan ekonomi Cina yang mencapai titik terlemah dalam 3 tahun terakhir, namun pembelian mereka justru meningkat.

Data kerusakan hutan di Indonesia dan Malaysia antara tahun 1990 hingga 2010. Data: Mongabay.com

Negara dari Asia Timur lainnya, yaitu Jepang, malah berencana untuk menanamkan modalnya dalam perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Seperti diberitakan oleh The Jakarta Post tanggal 10 September silam, Jepang tertarik untuk berinvestasi kelapa sawit di Jambi tahun ini. Melalui Direktur Asia Fair Society Planning Organization, Murata Takuyo hari MInggu 10 September 2012 silam kepada Jakarta Post, pihaknya tertarik untuk berinvestasi setelah meninjau propinsi Jambi. Padahal saat ini, Jambi sudah memiliki lahan sawit seluas 515.300 hektar.

Pihak Jepang, tertarik untuk menjalin kerjasama dengan perusahaan sawit PT Brahmana Binabakti Muaro. Presiden Direktur perusahaan tersebut, Budiarto, kepada Jakarta Post mengatakan bahwa pihaknya akan senang untuk bekerjasama. “Kami gembira karena Jeang memilih perusahaan kami di atas perusahaan lainnya. Artinya perusahaan kami sudah dikenal sebagai salah satu aset di Jambi,” ungkap Budiarto.

Masyarakat sekitar perkebunan sawit yang dirugikan akibat hilangnya fungsi ekologis hutan. Foto: Aji Wihardandi

Selain dua negara Asia Timur tersebut, tetangga terdekat Indonesia, Singapura juga berniat berivestasi kelapa sawit melalui firma bernama Northstar. Sperti dilaporkan oleh ft.com, firma ini membeli saham minoritas PT Triputra Agro Persada senilai 200 juta dollar. PT Triputra sendiri kini mengelola lahan seluas 130.000 hektar di Kalimantan dan Jawa, dengan cadangan lahan lebih dari duakali lipat yang sudah ada saat ini.  Dengan tingkat ekuitas yang dimiliki leh Northstar saat ini, mereka berhak untuk berinvestasi tambahan senilai 50 juta dollar.

Namun, hal ini harus dibayar mahal dengan lenyapnya puluhan juta hektar hutan tropis Indonesia. Laporan Greenpeace berjudul ‘How the Palm Oil Industry is Cooking the Climate‘ menyatakan bahwa Indonesia sudan kehilangan 74 juta hektar hutan sejak 50 tahun terakhir untuk keperluan industri kehutanan, minyak kelapa sawit adalah salah satunya. Angka kehilangan hutan Indonesia hingga 2010, adalah sekitar 1.8 juta hektar per tahun.

Selain itu, Indonesia juga terancam kehilangan puluhan bahkan ratusan spesies langka akibat alihfungsi hutan menjadi perkebunan sawit. Di Sumatera, angka harimau Sumatera kini tercatat tinggal 400 hingga 500 individu, dengan tingkat konflik wilayah dengan manusia yang terus meningkat. Hal yang sama juga dialami gajah Sumatera yang semakin sering memasuki wiayah manusia. Di Kalimantan dan Sumatera, orangutan bahkan kini berada dalam kondisi terjepit, setelah jutaan hektar rumah mereka hilang. Kasus terakhir, seekor orangutan Kalimantan tewas setelah memasuki pemukiman manusia akibat tubuhnya mengalami luka bakar serius.

Gajah mati diracun warga setelah memasuki perkebunan kelapa sawit. Foto: WWF Riau

Kerugian ini, belum termasuk tingginya angka konflik lahan antara warga dengan perusahaan sawit, serta perubahan hutan menjadi perkebunan tanpa izin yang sah. Di Kabupaten Indragiri Hulu, ratusan warga kehilangan hutan mereka seluas 10.000 hektar setelah diambil alih oleh PT Duta Palma di desa Kuala Cenaku dan Kuala Mulia. Di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, PT Suryamas Cipta Perkasa mengubah hutan seluas 23.000 hektar menjadi lahan sawit tanpa analisis mengenai dampak lingkungan dan tanpa surat izin pelepasan hutan dari Kementerian Kehutanan.

Dari segi kerugian ekologi lokal, berbagai fungsi ekologi hutan yang sebelumnya menyediakan pangan dan kehidupan bagi warga, kini semakin mandul akibat tercemar limbah pengolahan sawit, atau justru mengalami kekeringan akibat airnya terserap oleh perkebunan.

Berbagai dimensi kerugian akibat sawit ini nampaknya belum menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah, pun membuka mata bahwa pengelolaan perkebunan sawit membutuhkan sebuah kebijakan yang tidak hanya berorientasi devisa, namun juga kesejahteraan rakyat.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,