Tambang Pasir Merapi Menggerus Alam dan Kesehatan Warga Cangkringan

Kendati dinilai merugikan, penambangan pasir dan batu di kaki gunung Merapi, terutama di kawasan Cangkringan masih terus berlangsung hingga saat ini. Penambangan di kaki Merapi ini masuk kategori penambangan Galian C, atau termasuk dalam bahan galian yang tidak termasuk bahan galian strategis dan vital karena tidak memerlukan pasaran internasional. Aktivitas penambangan di wilayah seluas lebih dari 2 hektar ini memiliki kandungan pasir sekitar 250.000 meter kubik.

Pemerintah Kabupaten Sleman sendiri melegalkan aktivitas penambangan pasir ini, dengan peraturan yang tertuang dalam Surat Keputusan Bupati Sleman No 284 tahun 2011, penambangan itu diharapkan mempercepat normalisasi sungai setelah erupsi.

Aktivitas penambangan pasir di Cangkringan, Merapi. Foto: Aji Wihardandi

Seperti dilaporkan oleh Tribun Jogja pada Selasa 31 Juli 2012 silam, kebijakan normaliasasi sungai itu sudah habis masa berlakunya. Jika pemerintah desa ingin melakukan normaliasasi, harus mengajukan permohonan lagi sebelum 31 Juli. Hingga tenggat waktu, yang mengajukan hanya Pemerintah Desa Kepuharjo.

Kepala Bidang Pertambangan Dinas Sumber Daya Air, Energi dan Mineral (SDAEM) Kabupaten Sleman, Purwanto, mengatakan, di Kepuharjo tumpukan material vulkanik masih besar, sehingga masih dibutuhkan normalisasi.

Bagi warga sekitar, menambang pasir merupakan cara mudah untuk mendapatkan uang, karena  aktivitas dalam menambang pasir tidak memerlukan keterampilan khusus. Hanya dengan bermodal sekop saja, seseorang bisa menjadi penambang pasir dengan penghasilan Rp. 90.000 – Rp. 150.000  cukup menggiurkan tentunya. Rata – rata penambang pasir di daerah sungai gendol dan sungai kuning adalah warga Cangkringan dan Klaten.

Bagi pemerintah setempat, penambangan ini juga memberikan pemasukan ekstra. Seperti dilaporkan Tribun Jogja, sejumlah desa yang mendapatkan izin melakukan penambangan untuk normalisasi, diminta mengelolah pungutan retribusi angkutan.  Sesuai Peraturan No 37 tahun 2011, retribusi angkutan material dibedakan tiga, yakni untuk truk pengangkut pasir karkal dikenakan Rp15.000, truk pengangkut batu berukuran sedang Rp 7.500 dan truk pengangkut batu berukuran besar Rp 24.000.

Lubang dalam di kakai Merapi yang tidak menyisakan lagi bagi habitat spesies setempat. Foto: Aji Wihardandi

Dari hasil pemungutan itu, Sebagian uang itu, disetorkan ke Pemkab. Kepala Bidang Pendaftaran dan Pendataan Dinas Pendapatan Dearah Kabupaten Sleman, Haris Sutarta, mengatakan, biasanya pemerintah desa menyetrokannya ke Pemkab sehari sekali, atau seminggu sekali atau dua minggu sekali.

Hingga 24 Juli 2012, pendapatan yang masuk dari retribusi normalisasi sungai mencapai Rp 3,6 miliar lebih. Pemasukan itu antara lain dari desa Kepuharjo, Agromulyo, Glagaharjo, Mardikorejo, Wukirsari dan Hargobinangun. Dengan demikian, rata-rata pendapatan Pemkab Sleman per bulan lebih dari Rp 500 juta.

“Jumlah yang disetorkan ke Pemkab tak sama, tergantung dari hasil di lapangan. Kami juga tidak ada target pendapatan bulanan. Namun dalam satu tahun kami tergetkan ada Rp 5 miliar,” kata Haris.

Kendati demikian, bak dua mata pedang, penambangan pasir ini pun membawa berbagai dampak lingkungan bagi masyarakat sekitar. Harian Solo Pos tanggal 19 September 2012 melaporkan bahwa penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA di kalangan anak-anak di seputar Cangkringan naik hampir 20% dibanding tahun sebelumnya.

Berdasarkan data yang dihimpun dari Puskesmas Cangkringan, penderita ISPA rentang usia 0 sampai 19 tahun sepanjang 2011 sebanyak 1.658 anak, dengan rata-rata pasien per bulan sejumlah 138. Adapun, periode Februari sampai Agustus 2012 pasien di bawah usia 19 tahun berjumlah 1.142 dan jika dirata-rata setiap bulan setidaknya terdapat 163 pasien anak.

Rusaknya kualitas tanah akibat penambangan. Foto: Aji Wihardandi

Kepala Puskesmas Cangkringan, Maryadi mengatakan kepada Solo Pos, kemarau berkepanjangan mengakibatkan kondisi Cangkringan pasca erupsi Merapi 2010 semakin berdebu. “Banyak truk pengangkut pasir yang melintasi kawasan ini tidak dipungkiri berdampak pada penurunan kesehatan masyarakat setempat, baik dari polusi maupun debu,” ujarnya akhir pekan lalu.

Sementara dari tulisan blog anurlita.wordpress.com, penambangan ini memberikan dampak signifikan bagi lingkungan sekitar. Menurut Dinas Pengairan, Pertambangan, dan Penanggulangan Bencana Alam (P3BA), kerusakan yang terjadi akibat penambangan pasir meliputi perubahan kondisi alam, hilangnya kesuburan tanah dan perubahan tata air.

Pasca penambangan, kondisi alam berubah dan meninggalkan kerusakan dengan pemandangan yang buruk. Bersamaan dengan berubahnya kondisi alam, permukaan tanah yang merupakan lapisan tanah paling subur yang memiliki kandungan humus akan hilang disebabkan penggalian atau pengerukan pasir. Akibatnya tanah diseputaran lokasi penambangan pasir rata-rata merupakan areal perbukitan gundul dan tanah gersang.

Permintaan pasir dari kaki Gunung Merapi yang terus meningkat, rupanya sulit bagi pemerintah kabupaten untuk memutus rantai pertambangan lokal ini, kendati berbagai ancaman lingkungan terus mengintip.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,