Pemerintah RI Belum Lindungi Warga Dari Bahaya Limbah Elektronik

Penggunaan peralatan elektronik dalam kehidupan sehari-hari, ternyata tak hanya memudahkan manusia dalam meretas jarak dan waktu. Kemudahan yang disediakan oleh berbagai perangkat elektronik ini, juga memberikan dampak lingkungan yang sangat signifikan bagi manusia. Setidaknya, ada dua masalah utama terkait lingkungan yang bisa diidentifikasi dari penggunaan perangkat elektronik modern ini. Pertama adalah emisi yang ditimbulkannya saat ia berfungsi, dan masalah lain adalah bahaya racun yang dihasilkannya saat ia pensiun.

Menurut data dari penelitian yang dilakukan oleh Institute of Essential Service Reform di Jakarta, penggunaan peralatan elektronik yang berlebihan akan meningkatkan konsumsi listrik, dimana hal ini akan menambah emisi karbon dioksida ke udara,” ungkap studi tersebut dalam tulisan di Mongabay Indonesia terkait gaya hidup mojang Jawa Barat tanggal 20 Juni 2012 silam.

Jawa Barat, propinsi yang paling maju di Indonesia, kini juga adalah emiter karbon terbesar di Indonesia, yang melepaskan sekitar 12.500 gram CO2 ke udara per kapita setiap hari. Yang paling mengejutkan, Jakarta yang sudah over populasi dan tidak dikelola dengan baik, dan rawan kemacetan lalu lintas yang parah setiap hari, tidak masuk ke dalam lima besar kota sebagai emiter karbon tertinggi di Indonesia.

Jawa Barat memiliki 68 universitas, 18 diantaranya adalah perguruan tinggi negeri, disini juga ada 130 sekolah menengah atas negeri, ribuan sekolah swasta dan juga berbagai LSM.

Nyaris 50% dari emisi karbon di Jawa Barat bersumber dari peralatan elektronik, kemudian disusul oleh lampu listrik. “Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang di Jawa Barat menggunakan penerangan secara berlebihan,” ungkap temuan lain dalam studi tersebut. Selain itu pertumbuhan areal tempat tinggal yang sangat cepat di propinsi ini juga membuat permintaan akan listrik sangat tinggi, dan perusahaa listrik negara (PLN) sulit untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat drastis ini.

Masalah lain yang muncul dari penggunaan perangkat elektronik ini adalah sampah elektronik, atau e-waste. Kajian terkait sampah elektronik ini sudah menjadi kajian penting di dunia, mengingat sampah yang dihasilkan dari limbah peranti canggih ini menurut data dari badan PBB UNEP mencapai 50 juta ton setiap tahunnya.

Sementara dari tulisan di majalah wanita Femina tanggal 1 Mei 2012 silam, sampah elektronik Indonesia diperkirakan mencapai 6000 ton setiap tahun, hanya dari limbah elektronik rumah tangga dan belum termasuk limbah elektronik dari Industri yang bisa mencapai dua kali, tiga kali atau bahkan empat kali lipatnya. Sayang, hingga kini belum ada data resmi terkait limbah elektronik di Indonesia.

Bahkan Kementerian Lingkungan Hidup sendiri mengakui hal ini. Dalam wawancara dengan AntaraNews tahun 2008 silam, Asisten Deputi urusan B3 dan Limbah B3 KLH saat itu, Emma Rahmawati, mengatakan pihaknya sulit mendapatkan data e-waste di Indnesia, baik sampah domestik maupun kiriman dari luar negeri.

Sebagai informasi, di Indonesia saat ini terdapat setidaknya 100 juta telepon genggam yang banyak mengandung tembaga serta berbagai bahan lain yang mengandung racun. Hal ini belum lagi limbah dari elektronik lain seperti TV, komputer, pemutar CD, pemutar musik, dan lain sebagainya.

Data dari datacon.co.id mengatakan, saat ini di Indonesia beroperasi 7 operator seluler dengan teknologi GSM (Global System for Mobile) dan lainnya ada 4 operator CDMA (Code Division Multiple Access). Menurut data Dirjen Postel, dalam periode 2006-2010 pertumbuhan rata-rata per tahun pengguna seluler di Indonesia adalah 31,9% per tahun. Hingga akhir 2010  jumlah pelanggan selular mencapai 211 juta, dimana operator GSM mendominasi 95% pasar selular, sisanya merupakan pasar CDMA  5%. Sedangkan skema pembayaran selular didominasi pra-bayar (94%) dan sisanya 6% pasca-bayar.

Sementara data dari Science Daily pernah membahas bahwa setiap negara berkembang setidaknya membuang sekitar 200 hingga 300 juta perangkat komputer setiap tahun di dunia. Angka ini menunjukkan trend yang terus meningkat yang diperkirakan akan mencapai hingga 700 juta sampah komputer di tahun 2030.

Indonesia, sebagai salah satu negara yang memiliki peningkatan penjualan komputer tertinggi di dunia, nampaknya sudah harus memiliki standar sendiri untuk mengatasi urusan limbah beracun akibat e-waste ini. Beberapa negara Asia, sudah menetapkan batas masuknya produk elektronik yang menghasilkan limbah beracun. Standar ini mengadopsi dari peraturan Uni Eropa bernama RoHS (Restriction of Hazardous Substance) yang disepakati sejak Februari 2003 silam.

Dalam peraturan RoHS ini, enam substansi yang dibatasi penggunaannya dalam berbagai produk elektronik karena dinilai berbahaya adalah: Timbal (Pb), Air Raksa (Hg), Kadmium (Ca), Krom Heksavalen (Cr6+) Polybrominated biphenyls (PBB), Polybrominated diphenyl eter (PBDE).

Negara-negara lain selain kelompok Uni Eropa banyak yang sudah menetapkan batasan RoHS mereka sendiri, misalnya Cina, Korea Selatan dan lain sebagainya. Setiap produsen wajib mencantumkan nilai kandungan enam substansi berbahaya tersebut dalam setiap produk elektronik mereka dan wajib untuk diberitahukan kepada konsumen.

Lalu, tanggung jawab siapakah pengolahan sampah elektronik ini di Indonesia? Menurut Undang-Undang No.18 tahun 2008 dalam Pasal 15 disebutkan bahwa ‘Produsen wajib mengelola kemasan dan atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh alam‘.

Lalu Pasal 23 dalam UU yang sama menyebutkan, Ayat 1: Pengelolaan sampah spesifik adalah tanggung jawab pemerintah , dan Ayat 2: Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan sampah spesifik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. 

Ironisnya, hingga kini pemerintah sendiri nampaknya masih belum menemukan solusi tepat untuk menangani sampah elektronik yang semakin lama semakin menggunung jumlahnya.

Lalu apa yang bisa dilakukan oleh konsumen? Setidaknya ada tiga hal yang bisa dilakukan. Pertama, mengembalikan sampah produk anda kepada produsennya. Kedua, jagalah keawetan perangkat elektronik anda seawet mungkin agar umurnya semakin panjang dan menekan jumlah sampah elektronik. Dan ketiga, tekanan terhadap pemerintah untuk segera menyelesaikan masalah teknis pembuangan sampah elektronik nampaknya sudah waktunya dilakukan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,