WILAYAH eks proyek lahan gambut (PLG) satu juta hektare di Kalimantan Tengah (Kalteng), menyisakan masalah konflik batas wilayah dan lingkungan. Untuk itu, Satgas REDD+ berupaya mempertemukan sejumlah pihak guna membahas penyempurnaan dan penyelesaian data geospasial dan perizinan di wilayah eks PLG ini.
Ketua Tim Kerja Monitoring Moratorium, Nirarta Samadhi menegaskan, pertemuan ini sangat strategis karena berupaya mencari solusi atas masalah yang banyak terjadi di kawasan lain di Indonesia, seperti tumpang tindih data geospasial dan perizinan.
“Pembahasan menukik ke kawasan eks-PLG karena bila berhasil bisa menjadi percontohan bagi proyek REDD+ di Indonesia. Pada giliran akan berpengaruh pada posisi Indonesia dalam percaturan REDD+ skala global,” katanya dalam rilis kepada media.
Dalam paparan PT Sekala, konsultan pemetaan Satgas REDD+, mengungkapkan, berbagai masalah pada geospasial dan perizinan di kawasan eks PLG Kalteng. Antara lain, tumpang tindih batas administrasi antar wilayah dan tumpang tindih konsesi lahan atas hutan lindung.
Tumpang tindih konsesi dan hutan lindung ini terjadi karena ada dua rujukan hukum yang tidak selalu sinkron satu sama lain, yaitu RTRWP Kalteng dan SK Menhut nomor 292/Menhut-II/2011. Masalah lain, ada pengalihan penggunaan lahan, dari lahan transmigrasi menjadi peruntukan lain, seperti kebun sawit atau tambang.
Deputi I Ketua Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Heru Prasetyo mengatakan, pertemuan di Jakarta, 21 September ini bagian dari upaya strategis Satgas REDD+ mempersiapkan landasan terbaik bagi pelaksanaan REDD+ di Indonesia.
Dia menilai, pertemuan ini penting karena terkait inisiatif one map, merupakan prakarsa pemerintah menyediakan peta rujukan tunggal Indonesia yang merangkum empat ketunggalan: standar, referensi peta, database, geoportal.
Benang merah dari diskusi ini, terlihat masalah muncul, antara lain, karena ada ketidaksinkronan antara rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) dan SK Menteri Kehutanan sebagai rujukan utama penetapan kawasan eks-PLG, inisiatif pemerintahan lokal kadang tak merujuk aturan nasional.
Untuk itu, perlu disusun rencana aksi dengan dukungan berbagai pihak dan berbagai level, mulai kementerian, provinsi hingga kabupaten dan kota. “Dukungan Gubernur dan Bupati di Kalteng sangat berpengaruh pada keberhasilan penyempurnaan data geospasial dan perizinan di kawasan eks PLG Kalteng ini,” kata Nirarta.
Bustar Maitar, Kepala Kampanye Hutan Greenpeace, mengatakan, eks PLG Kalteng, meninggalkan banyak masalah. “Kanal-kanal di PLG menyebabkan permukaan gambut terus turun. Sampai sekarang belum ada yang memulihkan kawasan itu. Pemerintah juga belum berbuat apa-apa untuk memperbaiki kondisi ini,” katanya, Selasa(25/9/12).
Konflik wilayah juga makin menumpuk . Klaim mengklaim kawasan terjadi. “Ditambah lagi ada perusahaan juga ada di sana.”
Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Nasional mengingatkan, tragedi PLG Kalteng, jangan sampai terjadi di daerah lain. Dulu, alasan pemerintah membuat proyek PLG untuk menjawab kebutuhan pangan di Indonesia. Hasilnya, pangan tak diperoleh, lingkungan rusak dan konflik terjadi. “Proyek MIFFE di Papua, harus berhati-hati, jangan sampai seperti PLG.”
Jika ingin melihat lebih detil tentang upaya pemetaan wilayah eks PLG Kalteng, bisa buka di sini