COP-18 Doha: Negara-Negara Maju Lepas Tangan dari Protokol Kyoto

Kisah lama berulang kembali di penghujung Konferensi Perubahan Iklim ke-18 di Doha, Qatar yang berakhir hari Sabtu 8 Desember 2012. Alih-alih membaik, komitmen negara-negara maju sebagai salah satu emiter karbon terbesar dunia justru semakin melorot.

Dua negara maju, sebagai salah satu penyumbang emisi karbon terbesar di dunia, Kanada dan Amerika Serikat keluar dari Protokol Kyoto, seperti dilansir rilis resmi delegasi RI. Sementara tiga negara maju lainnya, Rusia, Jepang dan Selandia Baru memutuskan tetap menjadi anggota Protokol Kyoto namun tidak berkomitmen untuk menurunkan emisi. Selebihnya, 37 negara maju dan Uni Eropa menyepakati pelaksanaan periode kedua selama 8 tahun pelaksanaan Protokol Kyoto, terhitung mulai 1 Januari 2013. Keseluruhan nilai emisi karbon negara-negara ini adalah sekitar 20% atau kurang dari seluruh emisi karbon dunia.

Amerika Serikat yang tidak pernah meratifikasi Protokol Kyoto beralasan, keengganan mereka terlibat dalam protokol ini karena dikhawatirkan akan mengganggu kondisi pereknomian dalam negeri mereka.

Hasil ini jelas mengecewakan, setelah berkali-kali upaya meminta komitmen negara maju untuk mengurangi emisi mereka juga tidak membawa hasil.

Hal serupa juga terjadi di sektor pendanaan untuk menekan perubahan iklim. Upaya negara-negara berkembang untuk memastikan pendanaan sebesar 60 miliar dollar AS dalam mid-term financing antara tahun 2013 hingga tahun 2015 juga tidak membawa hasil akibat keengganan negara maju untuk mendorong pembentukan mekanisme internaisonal Loss and Damage akibat perubahan iklim.

Ketiadaan keputusan dalam mekanisme ini maka dikhawatirkan akan terjadi kesenjangan pendanaan setelah berakhirnya pendanaan jangka pendek senilai 30 miliar dollar AS, yang berakhir tahun 2012 ini.

Berdasar prediksi Departement of Energy Amerika Serikat, hanya India yang berpotensi menjadi emiter karbon terbesar di dunia setelah AS dan Cina. Klik untuk memperbesar tabel.

Protokol Kyoto adalah dokumen utama yang dibuat dalam perjanjian perubahan iklim PBB (United Nations Framework Convention on Climate Change – UNFCCC).

Protokol ini bertujuan untuk merumuskan secara rinci langkah yang wajib dan dapat diambil oleh berbagai negara yang meratifikasinya untuk mencapai tujuan yang disepakati dalam perjanjian internasional perubahan iklim PBB, yakni “stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca dalam atmosfir pada tingkat yang dapat mencegah terjadinya gangguan manusia/ antropogenis pada sistem iklim dunia”.

Protokol Kyoto, diadopsi pada pertemuan ketiga Conference of Parties (COP) UNFCCC pada tanggal 11 Desember 1997 di kota Kyoto, Jepang dan mengikat secara hukum negara yang menandatangani dan meratifikasinya. Protokol ini memiliki masa komitmen yang akan berakhir pada tahun 2012. Indonesia telah meratifikasi Protokol Kyoto pada tanggal 23 Juni 2004.

Pada tanggal 16 Februari 2005, Protokol Kyoto mulai berlaku setelah berhasil mengumpulkan jumlah minimum negara yang meratifikasinya. Sejauh ini, 187 negara telah menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto. Protokol Kyoto mewajibkan bahwa 37 negara industri (disebut negara-negara Annex I) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sampai dengan 5,2 persen di bawah tingkat emisi tahun 1990.

Namun, hingga masa berakhirnya Protokol Kyoto, nampaknya tak pernah ada komitmen serius yang ditunjukkan lewat konvensi legal oleh negara-negara maju untuk menekan tingkat emisi. Apalagi fakta terbaru mengungkapkan, bahwa emisi karbon tahun ini meningkat 2,6% tahun ini, atau sekitar 58% jauh lebih tinggi dibandingkan emisi karbon dunia tahun 1990.

Tapi sekali lagi, selalu ada alasan dan menunda tahun berikutnya untuk melakukan perundingan…

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,