,

Kaleidoskop Satwa 2012: Sejumlah Temuan Spesies Baru di Indonesia (Bagian I)

Sepanjang tahun 2012, berbagai peristiwa lingkungan, terutama terkait satwa di Indonesia menghiasi laman surat kabar, layar kaca maupun laman-laman situs berita nasional. Mongabay Indonesia mencatat beberapa peristiwa penting dalam penemuan spesies khas Indonesia. Beberapa spesies baik primata, mamalia maupun jenis lainnya sempat ditemukan, atau ditemukan kembali setelah hilang beberapa waktu di berbagai wilayah nusantara. Berikut beberapa catatan yang terjadi di tahun 2012. Kendati tidak semua peristiwa sempat terangkum, namun beberapa peristiwa utama dalam dunia ilmu pengetahuan dan satwa Indonesia yang cukup penting menjadi sebuah kekayaan hayati tambahan bagi negeri ini.

Penemuan Kembali Grizzled Langur di Hutan Wehea

Sejumlah primata yang diperkirakan sudah punah, ditemukan kembali di Hutan Wehea, Muara Wahau, Kalimantan Timur. Di hutan seluas 40 ribu hektar ini, primata yang diperkirakan memiliki berat sekitar 6 kilogram  bernama Grizzled Langur (Presbytis hosei canicrus) ini ditemukan di sebuah survey yag dilakukan oleh para peneliti dari Ethical Expedition. Penemuan spesies ini sendiri sudah terjadi sejak Juni 2011 silam, namun baru dipublikasikan di American Journal of Primatology edisi Januari 2012 silam.

Brent Loken, seorang kandidat PhD dari Simon Fraser University, Kanada, yang menemukan langur langka itu mengaku terkejut karena selama ini hanya bisa melihat wujud binatang itu dalam sketsa-sketsa di museum.

“Kami semua sangat gembira. Fakta bahwa, wow, monyet ini masih berkembang biak dan juga bahwa mereka ada di Wehea,” ujar Loken takjub. Sebelumnya langur itu ditemukan di timur laut Kalimantan, Sumatera, Jawa, dan semenanjung Malaya. Beberapa tahun lalu binatang itu dipercaya telah punah.

Spesies langur ini ditemukan kembali setelah sekian lama dipercaya bahwa jenisnya telah punah. Foto: Eric Fell

Penemuan Fauna Baru di Kawasan Karst Maros

Tim peneliti biologi dari LIPI menemukan beberapa jenis fauna baru di kawasan karst Maros, Sulawesi Selatan (Sulsel). Temuan ini belum pernah ada sebelumnya. Yayuk R Suhardjono, Peneliti Pusat Biologi LIPI, seperti dikutip Vivanews, awal bulan ini mengatakan, ditemukan jenis baru yaitu ikan buta, kepiting buta, dan penemuan kembali udang buta.

Ketiganya mempunyai ciri khusus berbeda dari jenis ikan yang pernah ada. Ikan buta yang ditemukan dari kawasan karst Maros, memiliki ukuran 10 cm, kepiting buta berukuran satu cm. “Ini kepiting yang mempunyai lengan panjang.”

Ikan gua memiliki ciri khusus pada fungsi dibandingkan dengan ikan permukaan. Mata ikan lebih kecil, warna tubuh makin transparan, dan organ perasa seperi barbel dan gurat sisi berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh habitat gua yang gelap dan dingin. Sedang udang buta, kata Yayuk, sebelumnya sudah pernah ada tetapi puluhan tahun populasi ini hilang. Udang ini terakhir ditemukan 1935. “Sekarang ditemukan lagi. Dikira jenis ini sudah punah. Udang buta berukuran dua cm ditemukan di karst Pegunungan Gunung Sewu, yang memanjang dari Jawa Tengah sampai Jawa Timur hingga Madura.

Secara populasi binatang gua karst tidak banyak. Hal ini membuat pertumbuhan fauna di ekosistem kawasan karst itu lambat. Di kawasan karst atau gua pakan jelas terbatas. “Jadi, gerakan terbatas, reproduksi juga lambat karena secara populasi tak banyak.”

Keberadaan fauna di kawasan karst berperan sebagai penyeimbang ekosistem.  Fauna dalam gua berperan sebagai perombak atau pemangsa. “Kepiting atau tungau (kutu) dalam gua berperan sebagai pemangsa hewan lebih kecil dan perombak bahan organik.” Yayuk berharap penemuan ini dapat dilestarikan dan dikelola dengan baik untuk mengembangkan ekosistem kawasan karst.

Margaretamys christinae. Foto diperoleh dari Alessio Mortelliti/Sapienza University Roma

Penemuan Tikus Mekongga di Sulawesi

Tikus Mekongga (Margaretamys christinae), sesuai namanya ditemukan di Pegunungan Mekongga, Sulawesi Tenggara, ciri khasnya memiliki ekor berujung putih dengan ukuran tubuh sangat kecil. Penemuan spesies Margaretamys christinae, yang merupakan spesies keempat di genus Margaretamys (semuanya adalah hewan endemik Sulawesi), memiliki “implikasi konservasi and geografis” demikian setidaknya menurut Dr. Alessio Mortelliti, seorang peneliti dari Sapienza University di Roma sang penemu spesies ini saat melakukan ekspedisi ke Mekongga mulai Desember 2010 hingga Maret 2011.

Dia mengatakan, ada beberapa perbedaan antara spesies baru ini, M. christinae dengan tiga spesies Margaretamys terdahulu –M.beccarii, M. elegans dan M. parvus.

“Bagian ujung belakang bagian ekornya berwarna putih, hal ini berbeda dalam beberapa ciri mendasar dan karakteristik gigi, dan ia memiliki ukuran yang lebih kecil,” jelasnya. “Tiga spesies lainnya mungkin masih belum terdeteksi atau bisa saja sudah punah, penelitian lebih jauh harus dilakukan untuk memastikannya,” ungkap Mortelliti.

Margaretamys christinae adalah spesies baru yang terakhir ditemukan di pegunungan Mekongga.

Tawon terbesar di dunia yang ditemukan di Sulawesi Tenggara. Foto: Lynn Kimsey, Michael Ohl dan Dr Rosichon Ubaidillah (LIPI)

Penemuan Tawon Terbesar di Dunia, Megalara garuda

Tubuhnya lebih besar dan kekar daripada tawon umumnya. Tampangnya pun sangar dengan taring panjang bak tanduk sebagai senjata. Namanya lumayan gagah: Megalara Garuda, yang diterjemahkan orang Inggris bak pahlawan komik superhero, Warrior Wasp. Itulah tawon jenis baru yang ditemukan para ahli di kawasan Mekongga, Sulawesi Tenggara. Temuan ini tentu saja sekali lagi menunjukkan kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia.

Tawon jenis baru ini dipublikasikan lewat berbagai penerbitan ilmiah sejak awal April lalu. Situs ilmiah Zookeys, misalnya, memaparkan analisis ilmiah dan memejeng foto tawon Garuda. Di sana tercantum nama peneliti Lynn S. Kimsey dari Bohart Museum of Entomology, University of California, Davis (UC Davis), Amerika Serikat, dan Michael Ohl dari Museum fuer Naturkunde, Leibniz-Institut fuer Evolutions und Biodiversitaetsforschung an der Humboldt-Universitat, di Berlin, Jerman.

Sayang, para ahli asal AS dan Jerman ini dinilai melakukan kecurangan setelah nama peneliti LIPI asal Indonesia, Dr. Rosichon Ubaidillah yang ikut serta dalam ekspedisi yang menemukan specimen spesies ini tidak disertakan satau dinilai sebagai penemu.

Hasil proyek riset yang juga disebut ”Ekspedisi Makongga” ini memang lumayan spektakuler. Setidaknya ditemukan sekitar 1,5 juta spesimen. Sebanyak 500.000 di antaranya telah tercatat dalam taksonomi. ”Sebanyak 10%-12% selebihnya adalah spesies baru, termasuk tawon Garuda,” kata Bogie Soedjatmiko, Kepala Biro Kerja Sama dan Pemasyarakatan Iptek LIPI.

Kukang Kayan, ternyata sebuah spesies mandiri dan bukan sub-spesies dari kukang yang ada di Asia daratan. Foto: Ch’ien C. Lee

Penemuan Spesies Kukang Baru di Kalimantan

Para ahli menemukan sebuah spesies baru kukang Indonesia bernama Nycticebus kayan atau Kayan Loris atau Kukang Kayan dalam Bahasa Indonesia. Hal ini diungkapkan dalam jurnal American Journal of Primatology yang diterbitkan bulan Desember 2012 ini. Nama Kayan ini diambil dari sungai yang melintasi habitat kukang ini di pulau Kalimantan.

Lewat penemuan ini spesies utama yang bernama Nycticebus coucang menaguensis ternyata terdiri dari empat spesies berbeda yaitu: Nycticebus bancanus, Nycticebus borneanus dan yang terbaru Nycticebus kayan. Kedua spesies yang pertama disebut, kini bukan lagi sub-spesies dari Nyticebus coucang menaguensis.

Kajian ini dilakukan oleh Anna Nekaris dari Oxford Brookes University di Inggris, Susan Ford dari Southern Illinois University dan Rachel Munds dari University of Missouri. Para peneliti menganalisis perbedaan warna bulu di bagian tubuh dan wajah untuk membedakan semua spesies kukang tersebut.

Setidaknya terdapat 10 spesies kukang di seluruh Asia, kendati demikian, para ahli primata berharap mereka akan menemukan spesies-spesies baru dan melihat lagi semua spesies yang saat ini dikategorikan sebagai sub-spesies.

Anjing bernyanyi, kembali ditemukan setelah 23 tahun hilang. Foto: Tom Hewitt/Adventure Alternative Borneo

Penemuan Kembali Anjing Bernyanyi di Papua

Setelah lama dianggap punah, spesies anjing bernyanyi Papua Nugini (New Guinea singing dogatauCanis hallstromi) ditemukan oleh sekelompok pendaki gunung yang dipimpin oleh Tom Hewitt yang sempat mengambil fotonya di wilayah Pegunungan Mandala, Papua, Indonesia. Spesies ini terakhir kali terlihat sekitar 23 tahun silam.

Diperkirakan masih ada sekitar 200 ekor anjing bernyanyi di seluruh dunia, namun mereka biasanya dibesarkan sebagai hewan rumahan, bukan satwa liar. Mereka sering disebut sebagai Shiba Inu dan dianggap tak lagi ada di alam asli mereka. Menurut lansiran National Geographic, banyak ahli mengatakan bahwa spesies yang terlihat ini memang satwa langka tersebut. Menurut James McIntyre, seorang pakar biologi yang berupaya mencari anjing ini di tahun 1996 mengatakan bahwa anjing ini memang berada di tempat dimana mereka disinyalir tinggal.

Kabar gembira lainnya, adalah penemuan sejumlah satwa langka yang berhasil tertangkap kamera tersembunyi di sejumlah wilayah di Indonesia. Penemuan ini sekaligus memberikan sebuah harapan yang baik bagi proses pelestarian satwa-satwa langka tersebut, terutama dengan ditemukannya beberapa individu muda yang mengikuti induk mereka.

Video Dua Anak Harimau Tertangkap Kamera 

Video ini adalah video pertama yang berhasil merekam keberadaan anak-anak harimau Sumatera di habitat mereka. Kedua anak harimau ini terekam di Taman Nasional Sembilang di pesisir timur Sumatera bagian Selatan.

Video ini didapat setelah para ahli dari Zoological Society of London menghabiskan empat tahun melakukan penelitian di Taman Nasional Berbak yang selama ini belum terjamah dengan menggunakan kamera tersembunyi. Setelah sekian lama menanti, akhirnya mereka mendapatkan bukti di wilayah yang tak jauh dari Berbak, yaitu di area Taman Nasional Sembilang yang menjadi wilayah perkembangbiakan harimau Sumatera.

Dalam video ini terlihat si induk harimau berjalan melintasi kamera, diikuti oleh anak-anak mereka yang diperkirakan berusia kurang dari 1 tahun. Hal ini sangat menggembirakan mengingat jumlah harimau Sumatera diperkirakan hanya tersisa sekitar 400 ekor di alam liar, dan membuat penampakan mereka begitu sulit direkam, apalagi adanya anak-anak harimau hasil pembiakan di alam aslinya.

Kelahiran Badak Sumatera setelah 124 Tahun Penangkaran

Ratu, seekor badak Sumatra betina yang telah hamil selama belasan bulan melahirkan anaknya hari Sabtu, 23 Juni 2012 dinihari pukul 00.45 di penangkaran badak Sumatra Way Kambas, Lampung. Bayi jantan ini lahir dalam keadaan sehat, Ratu sendiri berada dalam kondisi stabil setelah melahirkan. Menurut informasi dari pihak Yayasan Badak Indonesia (YABI), kini keduanya tengah dalam perawatan serius.

Bayi jantan ini sendiri dikabarkan oleh YABI sudah menyusu pada induknya. Ratu adalah badak Sumatra pertama yang melahirkan setelah melalui proses penangkaran selama bertahun tahun. Ayah si anak badak ini adalah Andalas, badak jantan yang dilahirkan di kebun binatang Cincinnati, Ohio, Amerika Serikat. Bayi badak ini adalah bayi badak pertama Indonesia yang lahir dalam 124 tahun penangkaran.

Kelahiran anak Ratu ini diharapkan bisa menjadi penyambung garis keturunan badak Sumatera yang populasinya semakin berkurang sekaligus menjadi perayaan pencanangan Tahun Badak tanggal 5 Juni 2012. Populasi badak Sumatra kini diperkirakan kurang dari 200 ekor saja.

35 Ekor Badak Jawa Terlihat di Taman Nasional Ujung Kulon

Potongan video ini memperlihatkan 35 ekor Badak Jawa berkeliaran di hutan Taman Nasional Ujung Kulon, ini adalah badak Jawa yang tersisa yang diperkirakan hanya tingal 38-48 ekor saja. Beberapa bagian dari video ini bahkan memperlhatkan induk badak dengan anak mereka.

Badak Jawa adalah spesies yang terancam punah akibat hilangnya habitat mereka. Binatang ini juga beresiko terhadap perburuan, namun pasukan elit penjaga hutan dengan Yayasan Badak Indonesia telah membantu menakan angka perburuan dalam beberapa tahun terakhir. Namun kelangsungan hidup Badak Jawa masih belum pasti – populasi mereka yang terisolasi bisa saja hilang secara tba-tiba akibat serangan bencana alam maupun penyakit menular. Seluruh spesies Badak jawa yang tersisa kini hidup di alam liar.

Kebun Binatang Surabaya, mencatat rekor kematian satwa paling sering di Indonesia. Foto: Aji WIhardandi

Kabar Duka: Serial Kematian Satwa di Kebun Binatang Surabaya

Sejumlah kabar buruk juga mewarnai dunia satwa Indonesia. Kabar yang paling menonjol, salah satunya datang dari Surabaya. Rentetan kematian satwa di Kebun Binatang Surabaya karena berbagai sebab terus terjadi sepanjang tahun ini.

Awal Maret 2012, seekor jerapah mati di tempat ini akibat menelan plastik sampah yang banyak ditemui di tempat ini.

Masih di bulan yang sama, tepatnya 15 Maret 2012, seekor banteng mati setelah sebelumnya mengalami patah kaki. Peristiwa kecelakaan ini membuat si banteng menjadi lemah dan akhirnya membuat hewan berusia 6 tahun ini mati. Tim dokter KBS, seperti dilaporkanVivaNews, hanya memberikan perban kepada banteng bernama Leo ini. Ada dugaan, banteng ini juga mengalami stres akibat minimnya aktivitas dan pergerakan tubuh.

Lalu akhir bulan Juli 2012, giliran seekor gajah betina bernama Selvi ditemukan mati di kandangnya, hari Minggu 29 Juli 2012 jam 15.00 sore. Gajah berusia 30 taun ini, seperti dilaporkanAntaraNews.com, sudah menderita sakit di kaki kiri depannya, dan terpaksa hidup dengan kondisi cacat. Ketika ditemukan mati, gajah Selvi ini sebelumnya mengalami perut kembung. Gajah yang tersisa di sini kini tinggal delapan ekor.

Peristwa lain terjadi pada hari Sabtu sore jam 15.30, 8 September 2012, seekor harimau putih betina berusia 16 tahun bernama Santi ditemukan mati di kandangnya.

Santi adalah salah satu dari 7 ekor harimau putih yang dimiliki oleh Kebun Binatang Surabaya. Sejak tiga tahun silam, Santi mengalami masalah pada tulang punggung dan mengalami kelumpuhan.

Usai diotopsi pada hari yang sama, tubuh harimau ini langsug dibakar karena kondisinya tidak baik. Santi sempat melahirkan dua ekor anak harimau putih tahun 2005 silam. Setelah kematian Santi, Kebun Binatang Surabaya kini tinggal memiliki 6 ekor spesies ini.

Berikutnya: Kaleidoskop Satwa 2012: Konflik Satwa Vs Manusia dan  Lambatnya Penanganan Satwa Terdampar

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , , ,