,

Terlambat Penanganan, Si Pongo Masuk Pusaran Perdagangan Ilegal

KASUS perdagangan orangutan kembali mencuat. Di Desa Kuala Labai, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, satu dari dua orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii) peliharaan warga, dilaporkan dijual pemilik lantaran telat dievakuasi pihak berwenang.

Padahal, kasus ini sudah dilaporkan ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalbar dan BKSDA Ketapang akhir Oktober 2012. “Saya sudah melaporkan ke pihak berwenang. Di sana saya diterima Bu Niken. Lalu diarahkan ke Pak Junaidi di Kantor BKSDA Ketapang. Tapi belum ada tindak lanjut sampai sekarang,” kata Ali Barata di Pontianak, Senin (4/2/13). Ali pemilik orangutan jantan bernama Amin. Si pongo ditebus dengan uang Rp1,5 juta dari seorang pedagang di Desa Kuala Labai bernama Asep pada 2010.

Saat itu, Asep memelihara dua orangutan sejenis dengan usia relatif sama, sekitar delapan bulanan. Keduanya dibeli dari warga kampung Kuala Labai. Di desa itu, masih banyak warga berburu satwa untuk berbagai keperluan ekonomi dan konsumsi keluarga.

Selama dua tahun dalam masa pemeliharaan Ali, orangutan jantan itu kini tumbuh laiknya manusia. Amin pernah jatuh sakit saat baru dipelihara Ali. “Sakit demam saat baru empat bulan sama saya. Amin tak mau makan, apalagi menyusu. Akhirnya saya beri obat demam melalui klinik tempat saya kerja.”

Sehari-hari, ayah tiga anak ini bekerja sebagai Manajer Pelayanan Umum di PT Karya Utama Tambang Jaya (PT KUTJ), Site Kuala Labai. Selama enam tahun mengabdi di perusahaan tambang milik Harita Group itu, dia mengaku sering menemukan satwa-satwa dilindungi seperti orangutan, trenggiling, burung enggang gading, dan rusa.

Ali baru menyadari ketika salah seorang petugas Dinas Kehutanan Ketapang yang bekerja di perusahaan itu memberitahu bahwa orangutan tidak boleh dipelihara. “Sebagai penyayang satwa, saya tidak tahu mau berbuat apa lkecuali melaporkan ke pihak berwenang. Dalam hal ini BKSDA.”

Dia pun langsung menghubungi Junaidi, Kepala Seksi I BKSDA Ketapang melalui telepon selular. Junaidi merespon dan berjanji akan menindaklanjuti. “Januari lalu, saya dihubungi Pak Junaidi dan meminta saya mengantar orangutan ini pada acara pelepasan orangutan di Siduk, Kabupaten Kayong Utara.”

Namun jarak tempuh terlalu jauh, berkisar enam jam dari Kamp PT KUTJ. Ali tidak dapat mengantar orangutan itu. Akhirnya Junaidi memutuskan jika tak sempat nanti dimasukkan dalam program tahun ini. “Sampai sekarang saya belum dihubungi lagi. Amin tetap saya pelihara di Mess PT KUTJ. Kondisinya sehat,” ucap Ali.

Berbeda dengan Rosi, orangutan milik Asep yang sudah telanjur dijual ke warga Desa Teraju, Kecamatan Toba, Kabupaten Sanggau. “Saya sempat tanyakan ke Asep waktu mau ke Pontianak berlibur. Ternyata orangutan itu sudah dijual Rp2 juta pada Desember 2012.”

Kepala Seksi I BKSDA Ketapang, Junaidi mengakui ada hambatan proses evakuasi orangutan ini. Salah satu lokasi rehabilitasi. “Kita tidak punya kandang sendiri. Jadi sepenuhnya masih bertumpu pada mitra kerja kita seperti Yayasan International Animal Rescue Ketapang,” katanya di Ketapang ketika dihubungi, Senin (4/2/13).

Saat ini, pusat rehabilitasi orangutan Yayasan IARI-Indonesa di Ketapang baru pindah. Kandang transit belum siap. Hal ini berdampak pada proses evakuasi orangutan di Kuala Labai itu. “Saya minta bersabar dan menunggu sampai kandang siap. Mungkin selasai pada 14 Februari.”

Manajer Administrasi Yayasan IAR Indonesia Ketapang, Adi Irawan membenarkan perpindahan lokasi kandang transit milik lembaganya. “Benar, sebagian orangutan di IAR kita pindahkan ke fasilitas yang baru di Sei Awan.”

Direktur Lapangan Yayasan Palung, Tito P Indrawan menilai kasus perdagangan orangutan di Ketapang bukan hal baru. “Di Kuala Labai, kita sudah identifikasi penampung satwa-satwa dilindungi itu. Dia punya warung di tepi jalan. Kita bahkan sudah capek melaporkan kasus seperti ini sampai sekarang belum ada tindakan tegas yang bikin orang jera.”

Amin, menanti diserahkan ke BKSDA tapi belum kunjung datang. Foto: Ali Barata
Ali Barata, pemelihara Amin, masih bersabar menanti BKSDA, tetapi banyak ‘pemilik’ orangutan tak sabar, dan menjual orangutan karena pihak berwenang terlambat datang. Foto: Ali Barata
Artikel yang diterbitkan oleh
, ,