Trenggiling Bukan Obat Kuat dan Penjaga Gengsi, Juga Bukan Untuk Sup Kesehatan…

Tahun lalu puluhan ribu gajah dan badak dibunuh demi memenuhi permintaan pasar gelap akan komoditi gading dan cula badak dunia. Pasar gelap yang berbasis di Asia Timur ini, juga sangat meminati produk turunan yang dihasilkan dari harimau, hiu, macan tutul, penyu, ular dan masih ratusan jenis satwa lain yang laku dijual.

Diperkirakan tak kurang dari 19 miliar dollar setiap tahunnya perputaran uang secara global dari bisnis perdagangan satwa dan produk turunannya ini dinikmati para pedagang gelap dunia. Namun sadarkah anda, ternyata korban terbesar dari perdagangan satwa ini ternyata bukan satwa-satwa berukuran besar yang selama ini dalam jangkauan perhatian kita. Korban terbesar perdagangan satwa, ternyata adalah: trenggiling.

Nama satwa ini memang sangat jarang kita sebutkan dalam kehidupan sehari-hari. “Bahkan kebanyakan orang tidak tahu apa itu trenggiling,” ungkap Rhishja Cota-Larson, pendiri dan direktur dari lembaga Project Pangolin.

Trenggiling yang dijual di tepi jalan. Foto: TRAFFIC

Mungkin bukan hal yang mengherankan jika publik pun tak banyak tahu soal satwa ini, bahkan para peneliti pun masih belum sepenuhnya memahami. Trenggiling adalah jenis satwa yang pemalu dan jarang sekali terlihat di siang hari. Mereka adalah hewan malam.

“Aksi konservasi yang ada saat ini terfokus pada mamalia besar dan mengabaikan mamalia kecil dan memiliki daya tarik yang kurang,” ungkap Ambika Khatiwada yang mempelajari soal trenggiling Cina di Nepal. “Pemerintah dan lembaga konservasi tak memiliki perencanaan untuk melestarikan mamalia kecil yang mengakibatkan keterbatasan informasi, ancaman yang terus muncul dan isu-isu lain terkait konservasi.”

Trenggiling hasil sitaan. Foto: Erwin Sopyan/TRAFFIC

Namun seiring dengan maraknya pambantaian terhadap trenggiling, kini perhatian pun mulai bergeser ke arah satwa ini. Bahkan sang naturalis terkenal sekaligus pembuat dokumenter terkemuka, Sir David Attenborough memilik trenggiling sebagai salah satu dari 10 satwa yang akan dia selamatkan dari kepunahan dalam edisi film Attenborough’s Ark. Di Bali, Sir Attenborough pernah menyelamatkan seekor trenggiling dari ketel masak dan melepaskannya kembali ke hutan.

Pembantaian terhadap trenggiling dilatarbelakangi adanya keyakinan akan manfaat satwa ini sebagai bahan pengobatan tradisional di Cina, seperti diungkapkan oleh Chris Shepherd, Direktur Regional Asia Tenggara TRAFFIC, sebuah organisasi yang melawan perdagangan satwa ilegal.

Perdagangan trenggiling di pasar satwa. Foto: TRAFFIC

Selama empat juta tahun keberadaannya di bumi, trenggiling hidup di balik sisiknya untuk melindungi dirinya. Sisik yang terbuat dari bahan keratin layaknya cula badak dan kuku manusia ini, memebrikan mereka perlindungan dari predator mereka. Jika predator mendekat, mereka akan menggulung diri mereka dibalik kekuatan tameng alami.

Namun mitos yang diyakini manusia rupanya jauh lebih berbahaya dibandingkan predator manapun. Keyakinan manusia bahwa sisik trenggiling bisa mengobati berbagai penyakit, telah menggiring trenggiling ke arah kepunahan. “Manfaat pengobatan sisik trenggiling belum terbukti secara ilmiah,” ungkap Cota-Larson. Kini bahkan muncul mitos baru lagi bahwa sisik trenggiling bisa mengobati kanker. Namun ini adalah hal biasa bagi para pedagang satwa untuk menghembuskan isu untuk membuat dagangan mereka laku, terutama jika memang permintaan akan produk ini tinggi.

Selain sisiknya, daging trenggiling juga diminati para pedagang karena juga dinilai bermanfaat bagi kesehatan dan menunjukkan status sosial dari si pemakan. Di Asia Timur, memakan daging janin trenggiling dianggap sama bergengsinya dengan memakai mantel dari bulu asli.

“Sejak tahun 2000, puluhan ribu satwa diperdagangkan dari berbagai negara, mulai dari Pakistan dan Indonesia di Asia, hingga di Zimbabwe ke Guinea di Afrika,” ungkap peneliti trenggiling, Dan Challender. Perdagangan trenggiling sendiri sudah dilarang oleh CITES sejak tahun 2000, dan satwa ini masuk dalam kategori dilindungi di Asia, kecuali di Brunei. Kendati demikian, level perdagangan satwa ini, tetap meningkat tahun demi tahun.

Di tahun 2010, TRAFFIC merilis laporan yang memperkirakan sebuah sindikat kejahatan di Sabah, Malaysia bisa menjual 22.000 trenggiling dalam 18 bulan. Sementara di tahun 2011 diperkirakan antara 40.000 hingga 60.000 trenggiling diambil dari habitat mereka di Vietnam. Namun total perkiraan itu diperkirakan hanya sekitar 10% dari keseluruhan perdagangan yang tidak terungkap.

Perdagangan produk dari trenggiling ini dipicu oleh dua negara: Vietnam dan Cina, yang juga menjadi pemicu perdagangan gelap cula badak, gading gajah dan kulit serta produk turunan dari harimau.

Semua penyebab musnahnya trenggiling, baik itu perdagangan satwa, hilangnya habitat, minimnya perhatian dan penangkapan, membuat keberadaan satwa ini semakin berbahaya. Namun dengan upaya konservasi yang aktif, keberadaan mereka masih bisa diselamatkan. Sebenarnya, modal awalnya sudah jelas, bahwa memperdagangkan trenggiling di kawasan Asia atau dimanapun sudah dilarang oleh aturan hukum yang jelas. Lalu apa yang kurang?

Salah satu produk olahan dari Trenggiling. Foto: TRAFFIC

“Upaya menyelamatan trenggiling itu membutuhkan pendekatan dari berbagai dimensi,” ungkap Shepherd. “Pemerintah harus berkomitmen untuk meningkatkan penegakan hukum untuk menutup jaringan perdagangan. Baik itu pemburunya, perantara dan penadahnya. Dan hukuman harus cukup berat untuk membuat mereka kapok dan memberikan efek jera.”

“Keseriusan menegakkan hukum sangat perlu” mengacu pada pernyataan Cota-Larson sebelumnya. Para pemburu dan pedagang bahkan seringkali dilepas begitu saja dengan memberikan ‘salam damai’. Hal ini tentu tak membuat para pelaku jera atau bahkan takut sekalipun. Bahkan banyak para pelaku yang lolos dari hukuman kendati melakukannya dengan terang-terangan.

Selain memutus jaringan perdagangan, memutus rantai permintaan juga menjadi sangat krusial. Kebutuhan akan daging, sisik dan produk turunan trenggiling akan tetap ada jika mitos yang disebarkan oleh pedagang terus berputar di kalangan konsumen.

Meningkatkan kesadaran di kalangan pelaku pengobatan tradisional  adalah kunci untuk menekan perdagangan produk turunan trenggiling, dan menyelamatkan satwa ini dari kepunahan. Hal yang sama juga harus dilakukan terhadap publik, bahwa manfaat daging trenggiling tidak terbukti kebenarannya untuk kesehatan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,