,

Tolak Tambang Pasir Laut di Selat Madura, Polisi Berupaya Kriminalisasi Nelayan

“Hadir menemui Kompol Fauzan Sukmawansyah ……….untuk didengar keterangan sebagai saksi, dalam perkara dugaan tindak pidana. Setiap orang yang merintangi atau menggangu kegiatan usaha pertambangan dan pemegang IUP atau IUPK yang telah memenuhi syarat-syarat dalam pasal 142 UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara atas pelapor PT Gora Gahana.” Demikian kutipan surat pemanggilan Polda Jawa Timur (Jatim) kepada empat nelayan: Munir, Haji Mardiono, Haji Zainal, dan Muslih.

Surat pangilan ini datang pada 25 Februari 2013 dan warga menolak hadir. “Kami tak mau memenuhi panggilan itu. Ini aneh. Kok kita yang berjuang karena tempat hidup kita terancam malah dipanggil polisi,” kata Munir, Juru Bicara Forum Masyarakat Pesisir Suramadu (FMPS) kepada Mongabay kala dihubungi via telepon, Rabu(6/3/13).

Dia mengatakan, setelah mereka menolak pemanggilan, polisi pun mulai kerab menghubungi. “Mereka tiap hari datang, tanya-tanya mengapa saya tak datang. Ada polisi yang telpon. Ada dari Polairud, Polsek.”

Dia merasa aneh, gara-gara laporan perusahaan polisi langsung bertindak seperti itu tanpa melihat latar belakang mengapa warga dan nelayan menolak tambang. Menyikapi ini, mereka akan balik berkirim surat ke Polda Jatim untuk dengar pendapat. “Agar Polda mengerti duduk persoalan dengan baik.” Intimidasi tak hanya datang dari kepolisian. Ada organisasi masyarakat yang berusaha menakut-nakuti agar warga berhenti protes menolak tambang.

Munir mengatakan, para nelayan mendesak  PT Gora Gahana ini menghentikan penambangan karena bisa mematikan mata pencaharian dan merusak habitat ikan di Selat Madura. Saat ini saja, para nelayan sudah mulai kesulitan mencari ikan. “Ini jelas-jelas hak nelayan diabaikan oleh mereka yang terlibat di dalam penerbitan izin-izin itu.”

PT Gora Gahana, perusahaan rekanan PT Pelindo III.”>Hasil penambangan pasir itu akan dibawa ke kawasan Oso Wilangun untuk pengurukan laut dan pembangunan Pelabuhan Teluk Lamong. Luas selat yang akan menjadi lokasi penambangan pasir sekitar 510 hektar.

Upaya warga nelayan Desa Cumpat dan Nambangan, Surabaya, ini tak hanya aksi. Mereka sudah dengar pendapat dengan Komisi D DPRD Jatim dan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Jatim, akhir Juni 2012. Hasilnya, sepakat merekomendasikan moratorium semua jenis perizinan aktivitas penambangan di selat Madura. Lagi-lagi, semua diabaikan PT Gora Gahana. Kapal-kapal penambang pasir ditempatkan di titik-titik eksplorasi, dan mulai menambang diam-diam.  Polisi air yang seharusnya bertugas melindungi dan menjaga keamanan laut,  malah terkesan membiarkan.

Pada, Mei 2012, mereka pernah ke Polsek untuk melaporkan kasus merampasan kawasan yang menjadi tempat mata pencarian. Namun, Polsek seakan menghindar. “Nah, sekarang, saat perusahaan yang lapor, warga diintimidasi terus untuk datang.” Pada Januari 2013 pun, para nelayan pernah mendatangi DPR RI Komisi IV  dan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk mengadu.

Penasehat Hukum Walhi Jatim, Subagyo mengatakan, perusahaan penambang pasir laut berbasis di Jakarta itu menuduh perwakilan nelayan Desa Cumpat  dan Nambangan,  Kedungcowek, Surabaya melakukan tindak pidana. “ Atas laporan itu seharusnya, Kepolisian lebih menfokuskan pada carut marutnya perizinan tambang pasir laut di Jatim yang menjadi pemicu konflik sosial,” katanya, Senin(4/3/13).

Selain tidak berkorelasi dengan peraturan rujukan, ujar dia, pemanggilan diduga kuat bagian dari intimidasi perusahaan kepada masyarakat dengan memanfaatkan oknum aparat penegak hukum. Menurut Subagyo,  delik Pasal 162 UU Minerba tidak dapat diterapkan dalam pertambangan minerba di lautan termasuk di Selat Madura. Sebab lau,t bukan  tanah yang menjadi hak keperdataan seperti maksud Pasal 136 jo Pasal 135 UU Minerba.

Dengan menyebut persyaratan Pasal 136 ayat 2 UU Minerba, maka delik Pasal 162 UU Minerba hanya berlaku khusus pada pertambangan minerba di daratan. “Ini mensyaratkan ada penyelesaian hak atas tanah yang akan digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan.”

Ony Mahardika, Direktur Eksekutif Walhi Jatim mengungkapkan, penolakan masyarakat nelayanini  bagian perjuangan meneguhkan hak  konstitusional  mereka. “Hak atas lingkungan hidup dan perairan yang  baik  dan  sehat, serta mempertimbangkan keberlanjutan kehidupan nelayan.”

Upaya mempertahankan hak-hak itu, termasuk  lewat  menolak pertambangan pasir laut–  yang terbukti menghilangkan sebagian  besar pasir laut Selat Madura. “Itu tidak dapat  dituntu  pidana karena ada hak  imunitas,” ujar Ony. Hak ini, katanya, berdasarkan pada Pasal 66 UU Nomor 32 Tahun 2009  tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.” Penjelasan pasal ini, untuk  melindungi korban  atau pelapor yang menempuh cara hukum akibat pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. “Ini untuk mencegah tindakan pembalasan  dari terlapor melalui pemidanaan atau  gugatan perdata.”

Senada diungkapkan Abdul Halim, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara). “Tak ada alasan bagi Kepolisian Jatim menindaklanjuti laporan PT. Gora Gahana.”  Sebaliknya, Polda Jatim harus menyelidiki PT. Gora Gahana atas pelanggaran ketentuan Pasal 35 UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Karena, mengakibatkan nelayan kehilangan mata pencaharian. “Ini ancaman pidana penjara paling singkat dua tahun dan paling lama 10 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp2 miliar dan paling banyak Rp10 miliar.”

Kapal keruk perusahaan yang disandera para nelayan di Selat Madura. Foto: Munir
Surat panggilan Polda Jatim, kepada beberapa warga, salah satu Munir, atas laporan perusahaan. Foto: Munir
Artikel yang diterbitkan oleh
, ,