Laporan FWI: Hutan Adat Dayak Mati Terjepit di Silang Sengkarut Tata Guna Lahan Kutai Timur

Silang sengkarut tata guna lahan yang menjadi penyebab konflik horizontal antara masyarakat dan pihak perusahaan perkebunan masih menjadi fenomena umum di tanah air. Berbagai praktek pembukaan hutan adat milik rakyat serta praktek penggusuran lahan oleh perusahaan perkebunan dilakukan untuk memenuhi target poduksi yang ditetapkan. Dua jenis bisnis yang rakus lahan, yaitu perkebunan kelapa sawit dan konsesi HTI masih menjadi aktor dibalik munculnya berbagai konflik lingkungan yang merebak di hutan trops Indonesia.

Berdasarkan laporan terkini yang diterbitkan oleh Forest Watch Indonesia, salah satu peristiwa konflik tata guna yang kian akut terjadi di desa Long Bentuq, Kecamatan Busang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur yang disebabkan perbenturan kepentingan bisnis ekploitasi alam dengan kehidupan warga di sekitar hutan.

Eksploitasi sumber daya alam Kecamatan Busang dan Long Mesangat bermula sejak tahun 1999, dengan munculnya perusahaan HPH PT. Bhakti Bumi Perdana. Pada tahun 2006, Bupati Kutai Timur menerbitkan izin bagi 4 perusahaan perkebunan kelapa sawit, yaitu: PT Hamparan Perkasa Mandiri (PT. HPM) dengan luas 12.800 ha dan PT. Subur Abadi Wana Agung (PT. SAWA) dengan luas 14.350 ha (kedua perusahaan merupakan bagian dari Yudha Group), PT Kaltim Agro Mandiri (PT. KAM), and PT Gemilang Sejahtera Abadi (PT. GSA) dengan luas 15.690 ha milik Teladan Prima Group.

Penduduk di tepian Sungai Kelinjau, kini sumbe kehidupan mereka hilang pasca alih fungsi hutan menjadi lahan. Foto: FWI

Pada tahun 2009 perusahaan HTI PT. Permata Borneo Abadi mendapat izin IUPHHK-HTI dari Menteri Kehutanan seluas 54.060 ha, tetapi kemudian padatanggal 29 Mei 2009, Menteri Kehutanan menerbitkan SK Pencadangan. Pada tahun 2010, PT KNC atau Kaltim Nusantara Coal (PT. KNC – milik Nusantara Energy Group) mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi seluas 15.560 ha. Wilayah eksplorasi PT. KNC bertumpang tindih dengan hampir seluruh konsesi: perkebunan sawit PT. HPM (Hamparan Perkasa Mandiri), PT SAWA (Subur Abadi Wana Agung), PT. KAM (Kaltim Agro Mandiri) dan PT. GSA (Gemilang Sejahtera Abadi), perusahaan HTI PT. Permata Borneo Abadi dan Hutan Desa seluas 40.000 ha yang diusulkan Desa Long Bentuq.

Pemnbukaan lahan oleh PT Hamparan Perkasa Mandiri. Foto: Forest Watch Indonesia

Pada tahun 2009 Desa Long Bentuq mengajukan proposal pengelolaan hutan seluas 40.000 ha melalui skema Hutan Desa, setelah proposal pengajuan ini sempat hilang dua kali dimeja Bupati, pada tahun 2011 akhirnya Bupati memberikan surat rekomendasi dengan luas wilayah 11.648,90 ha. PadaNovember 2012 SK penetapan Hutan Desa dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan seluas 880 ha tetapi lokasinya berada di luar lokasi yang diajukan dan berada pada wilayah administrasi desa Long Pok. Masyarakat tidak menerima karena dikhawatirkan menyebabkan konflik antar-desa dan secara tegas menolak SK Menteri tersebut.

Pada izin lokasi yang diberikan oleh Bupati Kutai Timur terdapat tumpang tindih izin pada perusahaan tambang batubara PT. KNC (milik Nusantara Energy Group) dengan perusahaan Churcill dan Ridlatama Group, atas kejadian tersebut, perusahaan tambang asal Inggris Churcill Mining Plc menggugat Pemerintah Indonesia 2 miliar dollar AS di Pengadilan Arbitrase Internasional, karena pencabutan izin usaha pertambangan oleh Bupati Kabupaten Kutai Timur Ir. H. Isran Noor, M.Si. Sebelumnya, Churcill Mining menjalankan proyek East Kutai Coal Project, dengan porsi saham 75 persen dan sisanya PT Ridlatama Group.

Penyiapan lahan untuk perkebunan PT Kaltim Agro Mandiri. Foto: Forest Watch Indonesia

Hasil investigasi dan analisis Forest Watch Indonesia (FWI) mengindikasikan telah terjadinya pelanggaran terkait pemberian izin bagi beberapa perusahaan oleh pemerintah kabupaten Kutai Timur. Muhamad Kosar, juru kampaye FWI, menyebutkan, “Diduga terjadi praktik penerbitan izin ilegal di sekitar wilayah Long Bentuq. Kami menemukan adanya tumpang tindih izin antar perusahaan perkebunan sawit dengan perusahaan tambang batubara dan perusahaan tambang batubara dengan batubara dengan perusahaan HTI. Ketiganya berasal dari berbagai sektor yang berbeda-beda, namun semuanya aktif beroperasi di lokasi yang sama.”

Kondisi ini menunjukkan lemahnya tata kelola dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, yang berimplikasi pada buruknya sistem perijinan dan sering kali meminggirkan hak-hak masyarakat adat atas sumber penghidupan mereka. “Pemerintah pusat dan daerah harus segera melakukan aksi nyata dengan membenahi sistem perizinan dengan melakukan audit perizinan yang tumpang tindih dan mencabut izin perusahaan-perusahaan yang berkonflik dengan masyarakat,” lanjut Kosar.

Perkebunan Sawit PT Gemilang Sejahtera Abadi. Foto: Forest Watch Indonesia

Warga sendiri, tidak tinggal diam melihat silang sengkarut yang terjadi.  Menurut Icnasius Hanyang, selaku penggiat Perkumpulan Nurani Perempuan menerangkan, “Sudah puluhan kali masyarakat Long Bentuq menyampaikan penolakan terhadap izin yang diterbitkan Bupati Kutai Timur, namun sampai saat ini mereka tidak pernah mendapatkan solusi penyelesaian dari pemerintah daerah”. Akibat penolakan ini masyarakat Desa Long Bentuq harus menghadapi tekanan psikologis karena dianggap tidak mendukung program pembangunan Kutai Timur.

“Pemerintah kabupaten malah sibuk untuk menarik investor baru yang sudah tentu akan mempercepat kehancuran sumber kehidupan masyarakat adat” lanjut Hanyang.

Sengketa lahan yang terjadi antara masyarakat Long Bentuq merupakan contoh dari sekian banyak permasalahan tenurial yang belum mampu diselesaikan pemerintah. Praktik-praktik yang dilakukan oleh perusahaan skala besar, terutama perkebunan sawit tidak hanya menimbulkan konflik antara masyarakat dengan perusahaan, tetapi telah mendorong terjadinya konflik horizontal antar masyarakat.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,