,

Perburuan Marak, Selamatkan Yaki, Si Monyet Hitam Sulawesi

Kepala hitam berjambul. Bulu di sekujur tubuh juga hitam. Moncong lebih menonjol. Ialah monyet hitam Sulawesi (Macaca nigra). Di dunia, jenis ini ada 23 spesies, 11 ada di Pulau Sulawesi. Khusus Macaca nigra, hanya ada di Sulawesi Utara (Sulut).

Monyet ini di Minahasa, Sulut, disebut Yaki. Yaki tak bisa ditemui di wilayah lain. Ia tersebar di hutan primer Cagar Alam Tangkoko, Bitung, dan hutan lindung di Sulut. Namun, populasi Yaki makin menurun. Ancaman terutama dari perburuan untuk dikonsumsi sebagian masyarakat di Minahasa.

Harry Hilser, Field Project Manager Program Selamatkan Yaki mengatakan, dalam kurun waktu 20 tahun, populasi satwa ini turun 80 persen. Selamatkan Yaki, merupakan program konservasi, edukasi dan riset  untuk melindungi monyet hitam Sulawesi dan hutan habitat mereka.

“Populasi turun oleh ulah manusia karena sering memakan Yaki, ada juga yang menangkap untuk dipelihara,” katanya saat berbicara dalam workshop konservasi tentang Sulawesi Crested Black Macaques di Manado. Kegiatan yang diselenggarakan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) bekerja sama dengan Pasifik Institut dan Selamatkan Yaki, ini berlangsung  pada 16-18 April 2013.

Menurut dia,  banyak jerat dipasang di hutan untuk memburu Yaki. Untuk itu, satwa ini harus segera diselamatkan karena status kritis dan sangat terancam. Namun, sampai saat ini tak menjadi prioritas konservasi.

Harry mengatakan, untuk menyelamatkan Yaki dan habitatnya antara lain dengan mengubah pola pikir dan pendidikan konservasi kepada anak-anak sekolah. “Program Selamatkan Yaki upaya memperlihatkan Yaki kepada masyarakat dengan harapan bisa menimbulkan rasa mencintai dan peduli kepada satwa ini.”

Jhon Tasirin, akademisi Universitas Negeri Gorontalo juga peneliti dari Pasifik Institute mengungkapkan, budaya orang Minahasa memungkinkan mengkonsumsi satwa-satwa endemik di Sulut, salah satu Yaki.

Satwa ini merupakan sumber protein bagi orang Minahasa dan bisa diambil di belakang rumah.“Tapi sebetulnya jika diperhatikan, tidak hanya orang Minahasa yang memakan Yaki, ada orang Jawa yang sudah lama tinggal di Minahasa, ikut memakan.”

Antje Engelheardt, peneliti dari Proyek Monyet Hitam menjelaskan, populasi Yaki di habitat asli hanya tinggal 5.000 ekor, tersebar di Sulut. Dari jumlah itu, 2.000 ada di Cagar Alam Tangkoko. Yaki merupakan spesies paling toleran dibandingkan spesies macaca lain.“Macaca nigra ini beranak sekali dalam setiap 1,5 tahun.”

Engelheardt menjelaskan, habitat hidup Yaki di hutan primer dan hutan sekunder.  Namun, Yaki lebih suka di hutan primer. Ia memakan daun dan ular, tetapi sebagian besar makanan buah-buahan, erau dan spesies tikus. “Dalam aktivitas harian, Yaki menyukai hubungan sosial.”

Pada musim reproduksi, betina lebih sering hamil pada Juli-Desember, dan musim melahirkan paling tinggi Maret-April. Apabila hujan naik, lebih sering melahirkan. Jika hujan kurang, Yaki jarang melahirkan. “Setelah diteliti karena banyak makanan di musim hujan.”

Pariwisata, katanya, terkadang  bisa menjadi ancaman bagi Yaki karena dari makanan yang dibawa atau ditinggalkan pengunjung, bisa mendatangkan bahaya kesehatan.

Syamsudin Hadju, Kepala Seksi BKSDA Wilayah I Bitung, mengungkapkan, Cagar Alam Tangkoko, masuk wilayah pengawasannya. Kawasan ini memiliki ekosistem kompleks dari hutan pantai sampai hutan lumut. Juga memiliki keragaman tumbuhan dan satwa endemik.

Potensi flora antara lain beringin, aras, nantu, edelweis, dan kantong semar. Potensi fauna ada rusa, musang coklat, monyet hitam Sulawesi, tarsius, maleo, rangkong, kus-kus, dan elang laut. “Permasalahan di sana karena perambahan, perburuan, wisata, kebakaran, illegal logging, sumber daya manusia rendah, serta sarana dan prasarana.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,