,

RSPO Resmi Larang PT BSMJ Beroperasi di Wilayah Adat Muara Tae

Dari laporan Moody International, terbukti hak-hak masyarakat adat Muara Tae terabaikan.

Kabar teranyar dari RSPO mudah-mudahan menjadi sinyal baik bagi masyarakat adat Muara Tae di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur (Kaltim). Pada 17 April 2013, Panel Pengaduan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) resmi menyurati First Resources, Ltd (FR) agar perusahaan sawit, PT Borneo Surya Mining Jaya (PT PT BSMJ) menghentikan segala aktivitas di wilayah adat Muara Tae, selama konflik lahan belum selesai.

Beberapa kesimpulan dan keputusan Panel Pengaduan RSPO berdasarkan laporan Moody International antara lain, tidak terpenuhi hak masyarakat Muara Tae terhadap free, prior, and informed consent (FPIC) menjadi salah satu akar penyebab konflik lahan terjadi. Perusahaan harus mengakui penolakan komunitas terhadap aktivitas usaha sawit di atas tanah adat mereka. Perusahaan juga harus mengakui, terjadi konflik dengan masyarakat adat dalam wilayah konsesi mereka dan wajib tertuang dalam Social Environmental Impact Assessment (SEIA) PT BSMJ.

Pengaduan masyarakat Muara Tae kepada RSPO ini pada 17 Oktober 2012 difasilitasi Environmental Investigation Agency (EIA), sebuah organisasi non-pemerintah berbasis di London, Inggris. Pada pertemuan RSPO ke 10 di Singapura akhir Oktober 2012, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama-sama Masrani, pemimpin komunitas Muara Tae bertemu dengan Bambang Dwilaksono, yang mewakili FR untuk negosiasi terkait konflik lahan.

Patricia Miranda Wattimena, Officer on Human Rights and International Affairs AMAN mengatakan, dalam negosiasi perusahaan berkomitmen dialog guna penyelesaian konflik. Mereka didesak mematuhi kriteria dan prinsip RSPO. “Dialog tak pernah diinisiasi perusahaan,” katanya dalam rilis kepada media, Jumat(19/4/13). AMAN bersama Netherland Centre for Indigenous Peoples (NCIV) pun menyurati perusahaan menanyakan komitmen terhadap dialog yang telah direncanakan. Tanggapan tidak kunjung ada.

Bersyukur, desakan kepada RSPO membuahkan hasil. Pada 5-7 Maret 2013, lembaga independen yang ditunjuk RSPO mendatangi langsung komunitas Muara Tae untuk mencari tahu legitimasi pengaduan masyarakat dan kondisi lapangan. Pada 17 April 2013, berdasarkan kesimpulan Moody, lembaga independen yang ditunjuk, akhirnya RSPO menyurati PT BSMJ dan memutuskan perusahaan tidak dapat beraktivitas apapun di atas wilayah adat Muara Tae sampai konflik terselesaikan.

“Aktivitas apapun yang dikakukan perusahaan di wilayah itu harus persetujuan RSPO dan setelah berkonsultasi dengan pihak yang bersengketa,” ujar dia. Keberatan-keberatan yang diajukan perusahaan terkait hasil assessment pun ditolak dan pengaduan masyarakat Muara Tae diakui RSPO.

Selain itu, berdasarkan laporan oleh Moody International, 622 hektar lahan telah digusur tanpa persetujuan New Planting Procedure (NPP) oleh RSPO dan 579 hektar tanpa high conservation value (HCV) assessment. Kedua angka itu, mengacu pada lahan yang sama. Angka 579 hektar merupakan luasan yang diduga dibersihkan saat studi HCV selesai pada pertengahan 2012.  Saat Moody di sana, Maret 2013, pembersihan diduga sudah lebih besar lagi.

Namun, isu besarnya, luasan lahan yang dibersihkan hampir tak relevan, bisa tiga hektar, 579 hektar atau 5.000 hektar. Masalahnya, FR tak memiliki sistem dan proses di lokasi  yang mengatur tentang penanaman baru, bekerja dengan masyarakat lokal maupun FPIC.  Berbagai  hal ini tak hanya terjadi di FR, tetapi sebagian besar produsen sawit di Indonesia, sampai mereka menyadari betapa sistem dan proses ini memiliki arti penting dan diperlukan. Poin penting lain, FR tak memiliki protokol apapun untuk mencegah masalah-masalah di masa depan.

Konflik lahan ini berawal dari aktivitas PT. BSMJ di wilayah adat Muara Tae. Sejak awal, masyarakat Muara Tae tegas telah menolak keberadaan perusahaan. Namun, legitimasi kepada perusahaan diberikan Bupati Kutai Barat melalui SK Tapal Batas yang menjadikan sebagian wilayah adat Muara Tae sebagai wilayah Kampung Muara Ponaq. Berdasarkan SK Bupati, perusahaan menggusur dan menanam sawit di atas wilayah Muara Tae dengan izin dari Kampung Muara Ponaq.

Kisah masyarakat Muara Tae yang terhimpit kehadiran perusahaan bisa dilihat di sini 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,