Kalimantan Timur: Lumbung Energi Tanpa Daya Halangi Ekspansi Industri

Kondisi sumber daya dan geografis Pulau Kalimantan, membuat pulau ini sebagai salah satu Lumbung Energi Nasional sejak ditetapkan oleh pemerintah awal 2012 silam.  Namun yang menjadi permasalahan mendasar, bahwa investasi di pertambangan paling besar yakni Investasi pengangkutan dari lahan tambang ke pelabuhan.

Hal ini dikatakan Kahar Al Bahri, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang Kaltim beberapa waktu lalu. “Kami tidak bisa pungkiri bawa Kalimantan itu menjadi Lumbung Energi Nasional dalam perumusan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia atau MP3EI tahun lalu di Bali, namun yang menjadi masalah, investasi tersebesar di sektor pertambangan yakni pengangkutan dari lahan tambang ke pelabuhan. Biaya Investasi tersebut mencapai sekitar 70 persen,” kata  Kahar kepada Mongabay-Indonesia.

Namun bak pisau bermata dua, koridor ekonomi Indonesia yang menjadikan Kalimantan khususnya Kaltim menjadi Lumbung Energi Nasional ini, sama saja pengerukan sumber daya alam daerah oleh pusat yang sebesar-besarnya untuk energi diluar Indonesia. “Kami sendiri yang di Kaltim tidak pernah merasakan energi yang dimiliki, sementara penentuan Kalimantan menjadi lumbung energi nasional khususnya Kaltim, membuat dunia luar yang lebih banyak menikmati, bayangkan saja, hampir dalam satu bulan listrik mati bisa mencapai 60 persen,” tambahnya.

Sementara penetapan MP3EI tersebut memberikan angin segar atau mempelancar pengerukan hingga sampai kedalam dengan merusak hutan dan lingkungan. Padahal penghasil energi terbesar di Kalimantan yakni Kaltim sekitar 82 persen untuk batubara. Kegiatan Industri batubara Koridor Ekonomi Kalimantan terpusat di Propinsi Kaltim.

Cadangan batubara yang dimiliki Kaltim sekitar 80 persen, kemudian diikuti oleh Kalimantan Selatan seebsar 23,7 persen dan Kalimantan tengah 3,1 persen dan Kalimantan Barat 1 persen.

Kerusakan DAS

Kerusakan akibat penetapan Kalimantan sebagai sumber energi nasional tersebut dapat dipastikan yakni kerusakan pada Daerah Aliran Sungai (DAS). Hal ini dikarenakan, semua pengangkutan batubara di Kaltim banyak memanfaatkan aliran sungai. Akibatnya kualitas air pada DAS menjadi tercemar.

“Ada sekitar 10 Kecamatan di Kutai Kertanegara yang mengalami penurunan kualitas air, yang akibatnya banyak penyakit kulit yang terjadi pada masyarakat di 10 Kecamatan tersebut. Paling tidak akan lebih terasa untuk Kaltim pada 20 tahun kedepan,” kata Dinamisator Jaringan Tambang Kaltim Kahar

Belum lagi fokus MP3EI yang memaksimalkan pertambangan di daerah pedalaman, akan membuat pembukaan lahan baru. Sehingga butuh kerusakan hutan dan kawasan untuk membuat halan pengangkutan batubara. Hal ini dapat dipastikan banyak ekosistem dan lingkungan yang mengalami perubahan dan kerusakan.

Pemanfaatan hutan untuk tambang, mengorbankan Daerah Aliran Sungai di berbagai wilayah di Kutai Kartanegara. Foto: Hendar

Baru Sepertiga Eks Galian Tambang Direklamasi

Sejak tanggal 15 Desember 2012 silam 15 tambang dari 56 tambang yang mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari Pemkot Samarinda sudah tidak boleh beroperasi alias dihentikan sementara. Pasalnya, berdasarkan evaluasi penempatan Jaminan Reklamasi (Jamrek) tahun 2010-2013, ke-15 perusahaan belum melaksanakan kewajibannya.

Hal ini terungkap dalam hearing antara Dinas Pertambangan (Distamben) Samarinda dengan Komisi III DPRD Samarinda, beberapa bulan lalu. Bukan hanya melanggar aturan, penempatan jamrek ini sangat penting sebagai bentuk jaminan dan adanya komitmen perusahaan mereklamasi lahan yang sudah selesai ditambang. Dari sini perlu dipertanyakan komitmen tambang mereklamasi karena dana jamrek inipun dipegang masing-masing IUP, Distamben hanya menerima laporan bahwa dan jamrek sudah ditempatkan.

Bila hingga akhir Februari 2013 mendatang tidak juga melunasi, maka IUP ke 15 perusahaan bisa saja dicabut. Sementara itu, 30 pemegang IUP juga sudah membayar namun belum melunasi total jamreknya. Bila masih juga tidak melunasi, ke 30 IUP juga terancam dihentikan sementara.

“15 IUP sudah dihentikan sementara sejak 15 Desember kemarin. 30 IUP telah diberi peringatan, untuk melakukan perlunasan. 30 IUP ini sudah selesai menempatkan jamreknya tahun – tahun lalu, 2013 saja yang belum. Begitu menempatkan, boleh beroperasi dan selama belum tidak bisa beroperasi,” kata Kepala Distamben Samarinda Hery Suryansyah.

Sementara itu, sekretaris Komisi III DPRD Samarinda, Mursyid Abdul Rasyid, mengatakan bahwa dari 71.800 Ha luas Samarinda, sebanyak 26.304 Ha merupakan wilayah IUP (36,64 persen). Dari data reklamasi tahun 2010 – 2011, dari 56 pemegang IUP yang ada di Samarinda luas realisasi bukaan lahan hingga 2011 akhir seluas 1.763,830 Ha. Sementara luas lahan yang sudah di reklamasi masih hanya 541,160 Ha (tidak sampai sepertiganya).

Untuk lahan yang belum direklamasi (termasuk lubang  yang masih aktif) seluas 1.061,21 Ha. Untuk yang sudah selesai ditambang tapi masih dalam proses reklamasi seluas 161,452 Ha. Dengan demikian total lahan yang belum direklamasi seluas 1.222,67 Ha. Bila dilihat dari besarannya, sejak tahun 2010 – 2013, dari jumlah kewajiban jamrek sebesar Rp 94 miliar, jumlah jamrek yang sudah ditempatkan sebesar Rp 63 miliar dan sisanya sebesar Rp 34 miliar belum ditempatkan. “Lahan yang dikatakan sudah direklamasi itu sudah ditutup seluruhnya. Sudah ada revegetasinya. Bisa dikalkulasi masih hanya berapa persen yang sudah direklamasi,” kata Mursyid.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,