,

Kasus PLTU Batang: Penolakan Warga Berlanjut, Pemerintah Berkeras Lanjutkan Pembangunan

Warga desa Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso dan Roban (UKPWR) hingga saat ini masih berjuang menolak rencana pembangunan PLTU Batang yang berkapsitas 2×1000 MW. Seperti dalam rilis yang diterima Mongabay Indonesia dijelaskan, warga menolak pernyataan Menteri Perekonomian Hatta Rajasa yang mengatakan, “Dari laporan keseluruhan yg melibatkan pemerintah gubernur, bupati dan seluruh stakeholder termasuk PT Bhimasena Power Indonesia (BPI) sebagai pengembangnya maka disimpulkan bahwa persoalan tanah hanya sedikit sehingga groundbreaking akan tetap dilakukan pada 2014,” ujar Hatta usai Rapat Koordinasi PLTU Batang di Kantor Kementerian Perekonomian, Lapangan Banteng, Jakarta, Jumat, 17 Mei 2013, seperti dikutip dari merdeka.com.

Penolakan warga dibuktikan dengan mempertahankan tanah-tanahnya untuk tidak dijual ke PT Bhimasena Power Indonesia (BPI) yang bekerja sama dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI). Proses pembebasan tanah untuk rencana pembangunan PLTU Batang ini dinilai banyak pihak telah terjadi pelanggaran HAM, karena warga diintimidasi, ditekan dan ditakuti dengan informasi yang keliru.

Peta Struktur Rencana Zonasi Kawasan Konservasi Laut Daerah. Sumber: LBH Semarang. Klik untuk memperbesar peta

Roidhi, warga Karanggenang kepada Mongabay Indonesia mengatakan, perlawanan warga Desa UKPWR semakin solid dan warga masih bersikukuh untuk tidak melepas tanah-tanah. Warga juga berkomitmen untuk melindungi lingkungan dari pencemaran dan kerusakan lingkungan. “Ratusan ribu warga dari kelima desa masih berkomitmen menolak PLTU Batang, kami pertahankan tanah warisan leluhur dan kami tidak ingin adanya kerusakan lingkungan di daerah kami serta kami tegaskan bahwa tanah kami 70% masih menjadi milik kami,” kata Roidhi Warga Karanggeneng.

Selain itu, dalam rilis yang dikirim oleh LBH Semarang juga dijelaskan bahwa, hingga saat ini, warga masih diintimidasi dan ditekan oleh perangkat desa, preman sewaan, aparat polri dan TNI untuk mendesak warga untuk menjual tanah-tanah warga.

Pengaturan Kawasan Daerah Pantai Ujungnegoro dan Roban. Sumber: BLH Jawa Tengah. Klik untuk memperbesar peta

Menurut catatan LBH Semarang dan warga desa UKPWR, Hattta Radjasa yang dalam hal ini adalah sebagai koordinator harian MP3EI ini menyatakan bahwa tanah yang dibutuhkan untuk rencana pembangunan PLTU Batang ini seluas 192 hektar dan yang sudah dibebaskan 187 hektar sehingga yang masih belum dibebaskan itu sekitar 5 hektar. Hal ini berbeda dengan pernyataan yang disampaikan oleh Deputi Menteri Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah, Lucy Eko Wuryanto yang menyatakan bahwa tanah yang dibutuhkan seluas 226 hektar dan yang sudah dibebaskan adalah 186 hektar artinya yang belum terbebaskan sekitar 40 hektar.

“Melihat data yang disebutkan oleh Hatta Radjasa, Yoyok Sudibyo dan Lucy Eko Wuryanto ini terlihat jelas, bahwa data tersebut merupakan klaim belaka. Dari masing-masing dari person mereka melaporkan data-data yang tidak sama. Hal ini merupakan strategi kotor mereka agar seolah-olah tanah-tanah itu sudah banyak terbebaskan dan harapannya agar warga yang belum menjual tanah-tanahnya itu terpancing untuk menjualnya,” kata Wahyu Nandang Herawan, Staff LBH Semarang kepada Mongabay Indonesia. Janji Lucy Eko Wuryanto kepada warga UKPWR itu untuk meninjau ulang rencana PLTU Batang ternyata tidak terbukti, karena pembebasan lahan terus dijalankan.

Denah PLTU Batang. Klik untuk memperbesar peta

Arif Fiyanto menambahkan, bahwa Indonesia membutuhkan listrik untuk menopang pertumbuhan ekonomi nasional, tetapi tidak harus mengorbankan mata pencaharian dan kesehatan warga,  atau menggunakan Batubara, bahan bakar fosil yang terkotor. Hingga kini masih banyak sumber energi terbarukan seperti air dan angin yang belum dimanfaatkan di Indonesia

“Sikap ini menujukkan keengganan pemerintah untuk menghentikan kecanduan negeri ini yang begitu tinggi terhadap batubara. Kengototan Hatta Rasaja melanjutkan pembangunan pembangkit listrik intensif karbon ini bertolak belakang dengan komitmen Presiden SBY untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari Indonesia sebesar 26% pada tahun 2020,” tutup Arif Fiyanto dari Greenpeace Indonesia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,