, ,

Warga Samarinda Ajukan Gugatan Perubahan Iklim Dampak Batubara

Sekitar 19 warga Samarinda didampingi Gerakan 2 Derajat akan mengajukan gugatan hukum (citizen law suit)  perubahan iklim dampak tambang batubara PTUN Samarinda, Selasa (25/6/13).

Warga dari berbagai wilayah di Kota Samarinda ini, sudah gerah karena hidup dalam kepungan tambang batubara yang menyebabkan lingkungan mereka rusak. Mereka meyakini aktivitas tambang batubara masif ini menyebabkan dari bencana seperti banjir, kekeringan kebakaran sampai penyakit terutama inpeksi saluran pernapasan akut (ISPA).

Berbagai kondisi itu, menyebabkan kerugian besar bagi kehidupan masyarakat, terlebih, mereka yang hidup tergantung sumber daya alam.  “Jika diterima, ini jadi gugatan perubahan iklim pertama di Indonesia,” kata Resa Raditio, dari Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), di Jakarta, Senin (24/6/13).

Dari gugatan ini, warga menginginkan (petitum warga) antara lain, pemerintah segera mengevaluasi izin pertambangan yang dikeluarkan dengan transparan dan berkoordinasi bersama instansi terkait dan LSM setempat. Lalu, mewajibkan dan mengawasi pelaku usaha untuk relamasi pasca tambang demi perbaikan lingkungan dan segera penguatan kebijakan perlindungan dalam operasi tambang. Sebab, banyak tambang-tambang yang selesai dikuras dibiarkan begitu saja tanpa reklamasi. Korban pun berjatuhan, baru-baru ini dua anak meninggal dunia di dalam lubang tambang.  Warga juga menuntut segera pengembangan adaptasi perubahan iklim.

Adapun yang menjadi digugat antara lain Walikota Samanrinda, Gubernur Kalimantan Timur, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Lingkungan Hidup dan DPRD Kota Samarinda. Bukti-bukti yang ikut diserahkan antara lain, data penykit, peta overlay tambang terbaru, data kawasan banjir,  grafik cuaca dari BMKG. Plus kesaksian dari para warga yang sudah ditandatangani.

Resa mengatakan, gugatan hukum ini untuk menjawab keresahan-keresahan warga Kota Samarinda yang selama ini terganggu dengan aktivitas pertambangan. “Tambang batubara bikin gerah mereka. Ini memang tak hanya di Samarinda. Dampak tambang batubara, panas makin terik, banjir terus terjadi. Cuaca berubah tak menentu,” ujar dia.

Dengan gugatan ini, diharapkan pemerintah menjadi sungguh sadar akan bahaya perubahan iklim. Menurut dia, memang sudah banyak aturan dan kebijakan dibuat pemerintah dalam upaya menurunkan emisi karbon. Namun, beragam aturan itu seakan tak bermakna dalam implementasi. “Izin tambang tetap keluar, polusi terus bertambah.”

Resa mengatakan, tambang batubara dipilih sebagai sasaran gugatan pertama perubahan iklim karena, efek gas metana yang ditimbulkan saat eksplorasi dan pembakaran sangat dominan. Ia juga memproduksi gas Co2 yang akan berubah di alam dan menimbulkan perubahan iklim. “Pilihan di Samarinda karena di kota itu banyak tambang batubara.”

AH Balubun dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengatakan, tambang batubara ini sumber percepatan perubahan iklim.  Di Samarinda, tambang batubara begitu massif dan tidak memperhatikan kondisi kota. “Ini diperkuat dengan kota yang mudah banjir dan ISPA dan lain-lain.”

Dalam tiga bulan terakhir ini, katanya, media di Kaltim memberitakan ratusan siswa 2 SMPN Loa Kulu dan SDN 023 Sei Seluang- Samboja, Kukar harus terganggu belajar akibat debu tambang batubara.  Sebelumnya kasus “debu” Bara Kumala Sakti dan dua tambang lain juga masuk ke ruangan belajar “Bayangkan jarak operasi tambang dan stockpile hanya 100-300 meter dari sekolah.”

Awal tahun hingga pertengahan, sekolah-sekolah dan pemukiman warga dihantui terjangan banjir lumpur selain kasus tanggul perusahaan tambang di Palaran jebol.  Beberapa waktu kemudian beberapa sekolah, salah satu SDN 007 di Lempake diterjang lumpur dari area tambang batubara.

Parah lagi, lubang-lubang tambang ditinggal begitu saja. Kondisi ini, kata Balubun, memperlihatkan tak ada keseriusan dari Pemerintah Kalimantan Timur (Kaltim) dalam mereklamasi lubang tambang ini. “Padahal, dana reklamasi sudah diserahkan ke pemerintah, tapi fakta di lapangan tidak ada perbaikan. Ini kuatkan  bentuk reklamasi itu sebenarnya bagaimana? Apakah memang bisa bekas lubang tambang itu direklamasi?”

Resa menambahkan,  sebenarnya rencana gugatan warga ini ada dua. Pertama, di Samarinda, dan kedua di Riau. Di Riau, gugatan terkait alih fungsi lahan gambut menjadi hutan atanaman industri dan perkebunan, terutama sawit. “Kemungkinan akhir Juli akan ada gugatan. Riau ini gugatan didaftarkan di Jakarta. Karena warga Riau tak percaya pengadilan di daerah.”Gerakan 2 Derajat terdiri dari ICEL, Jatam, Perkumpulan Telapak, Walhi, Jatam Kaltim, dan Jikalahari.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,