, ,

UU P3H Berpotensi Munculkan Konflik Baru

Pengesahan UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) dinilai berpotensi memunculkan konflik baru dan makin meminggirkan eksistensi masyarakat adat dengan pengabaian keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pengakuan hutan adat.

Sardi Razak, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Selatan (Sulsel), mengungkapkan, dengan UU P3H ini masyarakat adat paling dirugikan. Sebab, sekitar 80 persen komunitas adat berada di sekitar hutan dan menggantungkan hidup pada hutan.  UU inipun berpotensi menjadi senjata baru pemerintah untuk mengkriminalisasikan masyarakat adat.

“Kalau UU ini diimplementasikan upaya kriminalisasi masyarakat adat yang tinggal di sekitar hutan pasti kembali terjadi. Satu hal yang kadang tak disadari pengambil kebijakan, bahwa dalam tataran konsep mungkin ini tidak ada masalah, tapi kenyataan di lapangan para polisi hutan terkadang bersifat represif dalam menjalankan aturan secara kaku,” katanya Sabtu (13/7/13).

Saat ini, diperkirakan 20 persen penduduk Sulsel hidup di sekitar hutan dan tergolong sebagai komunitas adat. Data AMAN Sulsel, komunitas adat yang teridentifikasi dan tergabung dalam AMAN Sulsel sebanyak 71 komunitas. Selain 71 ini, diperkirakan masih ada puluhan bahkan mungkin ratusan komunitas adat yang belum terdata. Mereka mayoritas menggantungkan hidup dari hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Sardi pun mempertanyakan motivasi di balik keberadaan UU yang bertentangan dengan keputusan MK ini. Padahal, komunitas adat di Sulsel sebagian besar sudah mengetahui keputusan MK yang melegitimasi eksistensi mereka. Masyarakat antusias menyambut keputusan ini.

Ungkapan senada dari Abdon Nababan, Sekjen AMAN. Menurut dia, definisi-definisi lemah dalam UU P3H sangat membahayakan masyarakat adat. Dia mencontohkan, definisi pohon, berpotensi mempidana anggota komunitas yang mengambil pohon sebesar tongkat (diameter 10 cm) sekadar untuk membuat pagar rumah atau panggung untuk upacara adat.

Definisi tentang perusakan hutan pun berpotensi mempidanakan anggota komunitas yang membawa parang atau sejenisnya ke dalam hutan. Definisi ini, katanya,  memberikan perlakuan sama terhadap kawasan hutan, baik kawasan yang ditetapkan, ditunjuk, maupun sedang proses penetapan. Definisi kejahatan terorganisir dalam UU ini pun bisa mengkriminalisasi anggota masyarakat adat. Bila setidaknya dua orang masuk ke dalam hutan adat tanpa izin dari berwenang, akan dipenjarakan.

Tak diragukan, kata Abdon, UU ini akan menyebabkan masyarakat adat kehilangan akses terhadap hutan. “Ini bertentangan dengan keputusan MK yang mengakui dan menetapkan kepemilikan masyarakat adat atas hutan adat.”

Menurut dia, DPR seharusnya mengutamakan amandemen UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang menjadi pangkal persoalan kehutanan di Indonesia. Bukan membuat UU baru dilandaskan pada UU Kehutanan yang masih bermasalah.

AMAN mendesak DPR segera mempercepat pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat dan mengamandemen UU Kehutanan. “Proses-proses ini harus dilakukan terbuka melalui konsultasi dengan masyarakat adat dan masyarakat sipil.”

Direktur Perkumpulan Jurnalis Lingkungan Sulawesi Selatan (Jurnal Celebes), Mustam Arif, pun angkat bicara.  “Masyarakat adat bisa saja terusir dari hutan adat mereka. Ini akan makin meruncingkan konflik horisontal, konflik komunal, dan konflik lahan, karena masing-masing pihak mempertahankan amanat regulasi yang tumpang-tindih itu. Ini berbahaya,” katanya.

Mustam mencontohkan, ketika masyarakat adat mengambil kayu untuk keperluan rumah, atau ritual tertentu, tetapi harus izin Menteri Kehutanan (Pasal 89). Jika sistem pengawasan ini mengabaikan Keputusan MK, maka hutan adat akan tetap sebagai hutan negara. Jadi, atas nama pengamanan hutan, pemerintah kemungkinan akan mengeluarkan izin-izin pengelolaan hutan di wilayah hutan adat ini.

Selain menambah tumpang-tindih regulasi kehutanan, Mustam mencurigai UU P3H ini mengarahkan sistem pengawasan kehutanan  represif yang kontra dengan pola pegawasan partisipatif.  Apalagi UU ini mengamanatkan pembentukan lembaga pengawasan dengan nama Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang langsung dibawah Presiden (BabV, Pasal 54-57).

“Saya khawatir lembaga ini akan melakukan pengawasan represif terhadap masyarakat adat dan masyarakat lokal. Dan menjadi justifikasi lapangan bukan untuk kepentingan masyarakat, tetapi justru memperkuat kepentingan investasi terkait dengan sektor kehutanan.”

Menurut dia, ada kesan pemerintah memaksakan UU ini. “Apakah memang untuk kepentingan penyelamatan hutan, ataukah ada tujuan tertentu di balik UU ini?” Jika memang semangat dan tujuan UU untuk mencegah kerusakan hutan, dia menilai kurang tepat. “Bisa salah kaprah. Untuk apa mencegah kerusakan hutan, tentu meminimalisir deforestasi dan degradasi hutan demi mencegah kerusakan lingkungan, kelangsungan keragaman hayati dan mendukung pengurangan dampak perubahan iklim. Kalau tujuan demikian, UU P3H saat ini, bagi saya tidak terlalu penting.”

Terpenting saat ini, pemerintah harus mengevaluasi kebijakan standar ganda tentang pengelolaan hutan dan kebijakan perkebunan maupun pertanian. Kebijakan ini justru menciptakan deforestasi dan degradasi hutan secara besar-besar dalam bentuk perkebunan skala besar, dan optimalisasi ekspansi investasi ekstraktif sektor pertambangan.

Lalu, isu pembalakan liar yang menjadi bagian dari roh UU ini, kata Mustam, sudah tak kontekstual lagi. Mengapa? Sebab, penebangan yang kemudian dianggap liar dan ada angkutan atau penyelundupan kayu antarpulau atau keluar dari wilayah Indonesia mayoritas dilakukan pihak-pihak baik perorangan maupun korporasi yang berlindung di balik izin yang dikeluarkan pemerintah. “Bukankah karena di lapangan terjadi ”persekutuan” ilegal antara pejabat keamanan negara (pemerintah) dengan cukong-cukong kayu atau korporasi kayu tertentu?“ ucap Mustam.

Dengan begitu, yang penting pemerintah seharusnya serius membenahi pengawasan bidang kehutanan. Antara lain, mengoptimalkan peran instituasi keamanan mengawasi hutan, mencopot semua pejabat negara atau aparat keamanan  yang terlibat dalam mafia kehutanan dan membenahi tata kelola kehutanan.

“Kita punya polisi hutan. Kita punya masyarakat sekitar hutan atau masyarakat adat yang bisa diberdayakan mengawasi hutan. Jadi tidak perlu harus dengan UU.” Dengan UU ini,  akan makin merumitkan regulasi kehutanan yang sudah tumpang tindih ini.

Sebagai upaya menolak keberadaan UU ini, langkah pertama AMAN Sulsel dengan sosialisasi keberadaan UU ini kepada masyarakat adat. Merekapun rembuk bersama menentukan langkah stategis ke depan.

Dalam waktu dekat, AMAN Sulsel akan berkoordinasi dengan Sekretariat Bersama (Sekber) Perjuangan Hak Rakyat Sulsel untuk menentukan langkah strategis dan pernyataan sikap bersama.

Sekber Perjuangan Hak Rakyat Sulsel adalah koalisi bersama sejumlah organisasi dan aktivis Sulsel. Beberapa anggota koalisi antara lain AMAN Sulsel, Walhi Sulsel, Jurnal Celebes, Kelompok Miskin Kota, Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Lapar, LBH Makassar, dan sejumlah organisasi perjuangan berbasis kampus lain.

Dari Papua pun bersuara menyikapi UU P3H ini. Koalisi Masyarakat Adat di Tanah Papua terdiri atas  11 lembaga swadaya masyarakat baru saja mensosialisasikan Putusan MK tentang hutan adat bukan hutan negara awal Juli. Namun, DPR dan pemerintah justru mengesahkan RUU P3H yang bertentangan dengan keputusan MK  ini.

Septer Manufandu, Direktur Jaringan Kerja Jerat Rakyat (Jerat) untuk Sumber Daya Alam dan Hak Ekonomi Sosial Budaya Papua, mengatakan, hak masyarakat adat mendapatkan akses ke sumber daya alam (SDA) merupakan hak dasar warga diperoleh turun temurun bukan  pemberian negara lewat izin-izin.  “Jadi masyarakat hukum adat adalah subyek hukum hak atas tanah dan sumber daya hutan mereka,” katanya.

Perjuangan mendapatkan pengakuan, perlindungan dan keberpihakan masyarakat adat Papua  seperti dalam UU Otonomi Khusus, harus tercapai.  “Keputusan MK harusnya memperkuat posisi dan keberadaan masyarakat adat, hingga pemerintah, baik pusat dan daerah berkewajiban melaksanakan. Bukan menerbitkan UU baru yang bertentangan dengan keputusan MK. Ini sangat mencerderai  hati masyarakat adat Papua.”

Mayoritas kehidupan masyarakat adat Papua yang masih meramu, sangat bergantung dengan hutan.  Klaim sepihak pemerintah atas hutan-hutan adat sudah berlangsung selama 43 tahun mengakibatkan konflik antara masyarakat adat dan pemerintah.

Masyarakat Papua, tidak tinggal diam. Perjuangan panjang masyarakat sipil Papua mendapatkan hak pengelolaan atas hutan sudah berlangsung cukup lama. Setahun lalu, pada  29 September 2012, Kongres Selamatkan Manusia dan Hutan Papua II, di Manokwari. Kongres ini mengeluarkan tiga poin deklarasi ditandatangi perwakilan masyarakat Papua di tujuh wilayah adat di Papua (Papua dan Papua Barat). Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Forum Kerja (Foker) LSM  mengeluarkan deklarasi.

Isi deklarasi itu, kata Septer, pertama, mendukung inisiatif rakyat Papua dialog dengan pemerintah Indonesia secara jujur, adil, terbuka dan bermartabat dimediasi pihak ketiga yang netral. Kedua, Pemerintah Indonesia segera menghentikan izin-izin baru eksplorasi SDA yang merusak dan merugikan masyarakat adat. Ketiga, membentuk badan sekretaris jendral Kongres Selamatkan Manusia dan Hutan Papua yang terdiri dari masyarakat adat, pemuda, perempuan, LSM, kaum intelektual.

Selain mengeluarkan deklarasi, Kongres ini juga mengeluarkan 70 rekomendasi berkaitan peguatan posisi dan hak masyarkat adat Papua menghadapi kebijakan dan program kehutanan. Deklarasi ini, ujar dia,  lahir dari kesadaran masyarakat adat bahwa penderitaan masyarakat Papua berlangsung selama 43 tahun karena pencaplokan hak-hak politik  dan perampasan hak-hak dasar atas SDA. “SDA di dalam tanah, di atas tanah, di dalam laut termasuk udara yang berlangsung secara sistematis.”

Dari Jawa Barat (Jabar) pun mengkritisi UU ini. Dadan Ramdan, Direktur Eksekutif Walhi Jabar mengungkapkan, UU P3H terlihat seakan semangat bagus dalam menjaga hutan agar tetap lestari. Namun, beberapa pasal dalam UU ini justru memunculkan motif baru dalam perusakan hutan lebih besar.

Sejak awal dia menolak keras UU P3H. Dengan UU ini justru memunculkan konflik baru akibat beberapa pasal saling tumpang tindih dengan perundang-undangan yang lebih dulu ada.

Dari segi tata hukum perundang-undangan, katanya, dalam konsideran aturan ini tidak mencantumkan UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Seharusnya, UU ini menjadi  satu bagian yang dipertimbangkan. “UU ini mungkin semangatnya ingin melindungi hutan dari kerusakan ekosistem tapi aturan-aturan yang menyangkut perlindungan lingkungan tidak dicantumkan.” Dalam UU P3H jika  dilihat dari isi menyangkut pemberian sanksi yang sudah ada dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

UU P3H berkonsekuensi pembentukan lembaga pemberantas perusakan hutan. Jika dilakukan malah menghamburkan anggaran. Daripada membentuk lembaga baru, lebih baik anggaran untuk mengoptimalkan fungsi badan yang sudah dibentuk Kementrian Kehutanan, seperti Dirjen PHKA, inspektorat dan lain-lain.

UU P3H juga akan berdampak pada aspek sosial budaya. Masyarakat adat di dalam kawasan hutan akan terhalang dalam beraktivitas. Keadaan ini akan berbenturan dengan putusan MK terkait hutan adat.

Konflik-konflik baru sengketa hutan pun bisa bertambah. “UU ini tidak ada dampak lebih positif. Justru dampak ekologi, sosial dan budaya akibat memarginalisasi masyarakat adat akan terjadi.” Tak hanya itu. Eksploitasi perusahaan-perusahaan kehutanan pun akan makin banyak.

Untuk itu, judicial review UU P3H tak bisa ditawar lagi. “Judicial review oleh Walhi dan koalisi secara kelembagaan. Kita mendorong MK bisa membatalkan sebagian atau pun sepenuhnya UU ini.”

Tak jauh beda dilontarkan Dedi, Ketua Umum Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia Jabar. Dia memandang, UU P3H bertentangan dengan UUD 1945.

“Dengan UU ini akan melegitimasi perusakan hutan oleh perusahaan besar yang memiliki izin. Masyarakat adat yang tinggal di sekitar hutan akan makin terpinggirkan. Padahal, selama ini justru masyarakat adat banyak berperan dalam penyelamatan hutan.”

Topan Suranto, dari Dewan Pemerhati Kehutanan Lingkungan Tatar Sunda ragu pemberantasan perusakan hutan bisa teratasi oleh UU ini.“Kita melihat UU ini banyak kelemahan. Dalam UU ini akan dibentuk lembaga baru. Ini justru menimbulkan praktik mafia perizinan. Apalagi jika proses perekrutan tidak ada transparan.”

Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Nasional menilai, UU P3H ini sebagai kemunduran forest governance dan pelestarian lingkungan hidup. UU P3H, berbicara soal pelestarian hutan untuk tujuan perlindungan lingkungan hidup tetapi tidak mencantumkan UU PPLH sebagai salah satu konsideran.

Dengan UU P3H ini, katanya, sebetulnya DPR dan pemerintah menyadari Kementerian Kehutanan tak mampu mengelola kawasan hutan di Indonesia hingga membuat  UU baru. Sisi lain, UU ini menegaskan kinerja penegakan hukum lingkungan tidak mampu dijalankan dengan baik oleh Kementerian Lingkungan Hidup.

Melalui UU inipun, pemerintah dan DPR melanggengkan praktik perusakan hutan “secara legal” oleh korporasi dengan menggunakan izin sebagai tindak pembenar. “Melalui UU ini selama korporasi memiliki izin, tidak akan terjerat pasal manapun dalam UU P3H ini.”

Kondisi ini, berdampak pada tingginya harga izin dan akan menguntungkan oknum birokrat aparat “penjual” izin.  “Rezim perizinan ini ramah terhadap korporasi tetapi menghilangkan akses masyarakat terhadap ruang-ruang produksi.”

Hal penting lain, tajuk utama hutan dalam UU P3H ini adalah peruntukan kawasan hutan bukan pada fungsi hutan.  Padahal, izin tidak menjamin keberlanjutan fungsi hutan.  “Ini bisa dilihat pada pertambangan, secara fungsi hutan akan mengubah bahkan fungsi hutan akan hilang. Walau berizin keberlanjutan fungsi hutan tidak terjamin melalui UU ini.”

Deddy Ratih, Manager Advokasi Bioregion Eksekutif Nasional  Walhi menambahkan, salah satu alasan kelahiran UU P3H ini untuk memperlancar koordinasi antarsektor. “Namun, kita ketahui begitu banyak perundang-undangan sektoral SDA, kenyataan, koordinasi antarsektor hampir tidak terlihat. Kami sangat tidak yakin koordinasi lintas sektoral terjadi dengan UU ini.”  Selama ini, bisa dilihat begitu banyak tumpang tindih peruntukan kawasan, penegakan hukum lemah dan tindakan pemerintah lamban.

UU inipun sama sekali tidak memiliki korelasi dengan pelestarian lingkungan atau hutan. UU P3H ini memandatkan “pelestarian” melalui perizinan.  Hingga, masyarakat adat atau lokal dalam melestarikan hutan tak akan mampu bersaing dengan perusahaan berizin pelestarian alias pemanfaatan hutan.  “Konteks pemanfaatan dan pelestarian sangat jauh berbeda hingga sangat sulit dipahami bagaimana mungkin UU P3H ini mengkategorikan pemanfaatan hutan sebagai upaya pelestarian.” Laporan kontributor Sulawesi Selatan, Papua, dan Jawa Barat.

Draft RUU P3H _Paripurna 9 Juli 2013_

Sumber: HumA
Dengan UU P3H potensi pelanggaran hak-hak masyarakat atas akses terhadap SDA berpotensi makin tinggi. Sumber: HuMa
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,