Balada Jelajah Ciliwung: Sungai Terus Terancam dari Pembangunan Kota

Block kiri, block” teriak Upak anggota Mapala UI, skipper perahu karet kami. Saya yang duduk di sisi kiri belakang perahu langsung menggerakkan dayung dengan arah terbalik, mencoba untuk menahan laju perahu. Sayangnya terlambat, perahu karet terlanjur terbentur batu.  Muslich yang berada di depan saya terjatuh di sungai.  Segera kami mengangkatnya dari air.  Tidak ada yang luka. Dengan sedikit gurauan kecil kami melanjutkan perjalanan menyusuri air coklat sungai Ciliwung.

Di hari Minggu pagi itu (10 November 2013), saya mengikuti acara pengarungan sungai Ciliwung yang diadakan oleh berbagai elemen yang memiliki kepedulian terhadap sungai Ciliwung.  Ada yang berasal dari unsur pemerintah, LSM, voluntir maupun anggota-anggota komunitas Ciliwung.  Adapun tema acara ini adalah Jelajah Ciliwung 2013.

Semua elemen bersatu untuk merayakan hari Ciliwung yang jatuh setiap tanggal 11 November atau yang biasa disebut 1111.  Acara ini sekaligus sebagai bentuk penggalangan dukungan dan momen penyadaran publik akan pentingnya ekologi dan fungsi sungai Ciliwung.  Tanggal 10 November sekaligus dipilih karena bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan.

Jelajah penyelusuran sungai kali ini mengambil rute dari Bojong Gede di Kabupaten Bogor hingga selesainya rute di bawah jembatan Grand Depok City di kota Depok.  Rute ini dipilih karena disepanjang daerah sempadan (kiri kanan pinggiran sungai) masih tertinggal vegetasi riparian yang baik.

Di beberapa tempat masih dijumpai vegetasi riparian bambu yang masih utuh dan baik. Foto: Ridzki R. Sigit
Di beberapa tempat masih dijumpai vegetasi riparian bambu yang masih utuh dan baik. Foto: Ridzki R. Sigit

Rumpun bambu mendominasi tumbuhan di sepanjang sungai.  Beberapa rumpun bahkan tumbuh ke arah badan sungai.  Beberapa kali perahu kami menyangkut di rimbunan bambu, akibatnya kami harus menunduk untuk menjaga kepala dan tubuh tidak tersangkut di batang bambu.

Dalam perjalanan yang memakan waktu tempuh total 7 jam ini, beberapa kali kami menjumpai biawak air (varanus salvator) dan beberapa jenis burung.  Namun di beberapa titik pula kami pun menjumpai beberapa bekas longsoran dan pembuangan sampah yang dilakukan oleh masyarakat.  Di beberapa titik sungai berbau akibat buangan limbah industri kecil yang terletak persis di pinggir sungai.

Keberadaan vegetasi riparian di pinggir sungai sangat penting bagi kesehatan sungai.  Air limpasan tidak langsung masuk ke sungai tetapi tersaring terlebih dahulu.  Tidak aneh, jika di daerah yang masih baik vegetasinya masih dijumpai banyak mata air.  Di wilayah Bojong Gede mata-mata air inilah yang kemudian menyaring air berpolusi yang terbawa dari wilayah hulu yaitu kota Bogor.

Selain berfungsi sebagai filtrasi, vegetasi riparian pinggiran sungai dengan sistem perakarannya yang kokoh akan berfungsi untuk menahan tubir palung sungai dari bahaya longsor.  Hilangnya wilayah riparian dan konversi menjadi peruntukan lain, terutama menjadi perumahan dan pusat bisnis, telah menyebabkan meningkatnya potensi banjir dan longsor terutama di musim penghujan.

“Waktu bulan puasa tahun ini saja, kita data ada sekitar 19 titik longsoran di pinggir Ciliwung di wilayah Bojong Gede sampai Depok saja, waktu itu memang sedang tinggi-tingginya hujan” papar Udin, salah satu pegiat Komunitas Peduli Ciliwung Bojong Gede kepada Mongabay.

Mendorong anak agar mencintai sungai sedari dini. Reza dari Klab Dongeng Cekatan (kaos putih membelakangi), mendongeng
Mendorong anak agar mencintai sungai sedari dini. Reza dari Klab Dongeng Cekatan (kaos putih membelakangi), berbagi cerita tentang fungsi sungai di acara Jelajah Ciliwung. Foto: Ridzki R. Sigit

Tekanan Pembangunan Permukiman di Wilayah Sempadan Sungai Ciliwung

Seperti sungai-sungai lainnya di Indonesia, maka Ciliwung pun tidak luput dari ancaman hilangnya wilayah hijau sempadan sungai. Hasil pemantauan yang dilakukan oleh Mongabay melalui citra satelit Google menunjukkan terutama di wilayah Cibinong hingga Depok banyak bertumbuhan pembangunan perumahan baru yang menyentuh hingga batas sempadan sungai.

Tekanan penduduk di wilayah Jabodetabek dan iming-iming akses menuju pusat transportasi massal telah menjadikan wilayah di pinggiran sungai Ciliwung pun di lirik untuk di konversi.  Jalur kereta api Jakarta-Bogor yang melintas di sepanjang wilayah Bojonggede hingga Depok memang relatif sejajar dengan sungai Ciliwung.  Bahkan, jalan poros kota Depok yaitu Margonda di beberapa ruasnya sejajar dengan aliran Ciliwung.

Tidak mengejutkan jika wilayah-wilayah yang dekat akses menuju stasiun kereta api seperti Cilebut, Bojong Gede, Citayam hingga Depok yang berbatasan dengan wilayah aliran sungai Ciliwung menjadi wilayah favorit bagi pengembangan perumahan.

Rumah yang rawan longsor di pinggir sungai. Foto: Ridzki R. Sigit
Posisi rumah yang rawan longsor di pinggir sungai. Foto: Ridzki R. Sigit

Pembukaan wilayah pemukiman terbesar berdasarkan citra satelit Google terdapat di wilayah kota  Depok.  Dengan mudah dapat dilihat dari potret udara, para pengembang perumahan yang ‘nekat’ membangun blok perumahannya di wilayah paparan banjir di lengkungan sungai yang amat rawan terhadap bahaya banjir.

Pengamatan citra satelit memperlihatkan bahwa sepanjang sungai Ciliwung pembangunan perumahan dan bangunan banyak yang melanggar Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2011 tentang Sungai Pasal 9 dan Pasal 10 tentang garis sempadan nyata-nyata banyak dilanggar. Jarak dari palung sungai ke muka pembangunan sangat sempit dan hanya menyisakan satu alur rumpun vegetasi.

Pembangunan wilayah perumahan yang mengabaikan aturan tata ruang wilayah, termasuk aturan tentang wilayah sempadan sungai, akan menyebabkan sungai Ciliwung kedepannya harus menampung lebih banyak air terutama pada saat musim hujan datang.

Di luar hal tersebut, pembangunan wilayah perumahan sendiri akan mengubah bentang lahan yang tadinya wilayah bervegetasi atau lahan pertanian sebagai wilayah penyerapan air menjadi wilayah beton yang akan mengalirkan air permukaan (run off).  Kebiasaan pengembang yang tidak mendorong dan menyediakan fasilitas penyerapan air dan biopori akan menyebabkan air dari wilayah pemukiman teralirkan langsung ke badan sungai.

Selain akan menambah beban berat bagi Ciliwung, air dari wilayah permukiman akan membawa limbah rumah tangga, sampah dan tanah sedimen.  Dengan adanya tambahan air dan sedimen yang menyebabkan pendangkalan, wilayah hilir Ciliwung yaitu Jakarta akan semakin rawan terhadap banjir.

Peta citra tidak berbohong.
Peta citra tidak berbohong. Citra satelit Google menunjukkan pengembangan perumahan yang mendesak garis sempadan di kota Depok dan sekitarnya.  Sumber: wikimapia.  Klik gambar untuk memperbesar

Abdul Kodir, pegiat Komunitas Ciliwung Condet dalam siaran persnya mengaku prihatin terhadap situasi yang terjadi. “Sungai-sungai di Jakarta saat ini semakin sempit dan sebagian besar tidak lagi memiliki sempadan,” demikian Kodir.

Kodir mendesak agar persoalan sungai Ciliwung tidak ditangani dengan hanya melakukan tindakan teknis seperti pengerukan sedimen maupun pembangunan turap saja.  Pendekatan tersebut tidak akan efektif selama sumber permasalahan tidak diatasi secara menyeluruh.

Dalam kesempatan lain, Sudirman Asun dari Ciliwung Institute mengungkapkan bahwa selama daerah hulu terus dialihfungsikan dan ekosistem riparian dihancurkan maka sedimentasi akan terus terjadi.  “Pekerjaan penurapan dan beton akan sia-sia dibangun,” ujarnya.

Memang untuk menyelesaikan permasalahan Ciliwung, tidak cukup hanya dilakukan respon dari satu pihak saja, diperlukan respon dan kerjasama dari seluruh pemangku kebijakan dari hulu hingga hilir melewati lintas wilayah maupun instansi.  Mungkin tema yang diusung oleh Komunitas Ciliwung yaitu “selamatkan yang masih tersisa di Ciliwung” cukup relevan sebelum menunggu semuanya rusak dan hancur.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,