,

Komnas HAM Duga Terjadi Pelanggaran HAM di Tambang Bangka

Komnas HAM menyatakan, ada indikasi kuat terjadi sejumlah pelanggaran  HAM dalam operasi pertambangan bijih besi di Pulau Bangka, Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Sebab,  setelah penerbitan izin tambang lewat SK Bupati tertanggal 20 Juli 2010 ini warga menjadi resah dan terancam.

Kondisi ini disebabkan beberapa faktor, antara lain, penambangan pasir secara masif akan mengancam keberadaan Pulau Bangka, dan pemindahan masyarakat Desa Kahuku ke desa-desa lain. Lalu, ada enam perusahaan pariwisata telah menanamkan modal dan beroperasi sejak 2000.  Usaha wisata ini menjadi salah satu mata pencarian warga. Jika tambang masuk, alam Bangka rusak, warga yang bekerja di sektor ini juga akan kehilangan pencarian.

Bukan itu saja. Pulau Bangka,  sebagian besar kawasan konservasi dan  perkebunan hingga  harus dipertahankan, terlebih warga di daerah itu menggantungkan hidup dari berkebun dan mencari ikan.

Komnas HAM pun menilai, perbedaan pandangan yang terjadi sering memicu “singgungan” dan berpotensi konflik horizontal antara penduduk yang menerima dengan yang menolak pertambangan. Termasuk tindakan terhadap anak-anak sekolah dengan orang tua menolak tambang. Bahkan, kasus kriminalisasi warga penolak tambang masih terus berlangsung hingga saat ini.

Sandra Moniaga, Komisioner Komnas HAM mengatakan, telah mengeluarkan rekomendasi kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab)  Minahasa Utara dan kepolisian agar menciptakan kondisi lebih damai di Pulau Bangka.

“Kami menekankan kepada pemkab mengembalikan peran hukum tua (kepala desa) yang seharusnya bersikap netral. Karena, ada persoalan mendasar ketika hukum tua menjadi bagian dari konflik,” katanya, Jumat (15/11/13), dalam konferensi pers di Manado.

Komnas HAM akan terus memantau respon pemerintah kabupaten terhadap rekomendasi yang mereka keluarkan. Jika pelanggaran terus terjadi Komnas HAM berani meneruskan permasalahan ini sampai ke PBB. “Kalau masih juga ‘membandel’, kami bisa laporkan ke universal periodic review di PBB. Ini bisa jadi catatan kritik terhadap kebijakan negara.”

Sejauh ini, komunikasi Komnas HAM kepada pemerintah kabupaten dan kepolisian, menunjukkan respon positif. Mereka akan menghormati rekomendasi yang dilayangkan.

Seriusi Reklamasi Sario Tumpaan

Di sela-sela pemantauan tambang di Pulau Bangka, Sandra menyempatkan berkunjung ke Daseng Panglima, lokasi reklamasi Pantai Sario Tumpaan. Reklamasi ini berkonflik antara nelayan dengan pengembang, PT Kembang Utara.

Dalam kunjungan ini, Sandra “diserbu” keluhan nelayan yang khawatir kehilangan lokasi tambatan perahu mereka. Dany Telleng, nelayan Sario Tumpaan, mengatakan, masalah reklamasi membuat nelayan tidak bisa melaut beberapa bulan belakangan. “Batu yang terus mendekati tambatan perahu membuat kami cemas.”

Padahal, kata Dany, lokasi tambatan perahu nelayan Sario Tumpaan telah dijamin dalam perjanjian damai para pihak yang dimediasi Komnas HAM. Dia meminta, Komnas HAM berani mendesak para pihak menaati perjanjian damai yang disepakati pada 2010.

Menyikapi permasalahan ini, Sandra berjanji mengkomunikasikan kepada rekan-rekan di Komnas HAM. Dia melihat, dugaan pelanggaran perjanjian damai ini harus disikapi cepat. Sebab, jarak timbunan batu makin mendekati tambatan perahu nelayan dan diduga melewati batas kesepakatan perjanjian damai.

Dia mengatakan, ketika Komnas HAM terlibat dalam mediasi, pada 2010, telah melihat ada indikasi pelanggaran HAM akibat reklamasi pantai di Sario Tumpaan. Mediasi para pihak diharapkan menjadi wadah meminimalisir pelanggaran.“Jika pelanggaran perjanjian damai benar-benar terjadi, pertama yang akan kami lakukan menegur pihak yang terindikasi melanggar. Kedua, kami akan melaporkan pihak itu pada instansi berwenang.”

Sandra merasa prihatin pada sikap walikota yang terkesan membiarkan terjadinya pelanggaran kesepakatan ini. Menurut dia, pelanggaran ini menimbulkan kerugian bagi nelayan Sario Tumpaan, dari sisi ekonomi hingga psikologis.“Permasalahan ini membatasi akses melaut nelayan tradisional. Pemerintah kota harusnya bisa menjaga perjanjian damai. Bukan membuat perjanjian baru yang melanggar hasil mediasi.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,