,

Konflik Petani Takalar-PTPN XIV Memanas, Brimob Tembaki Warga

Konflik antara warga dan PTPN XIV di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, kembali memanas. Bentrok warga Kecamatan Polongbangkeng Utara, dan Brimob, tak terelakkan pada Senin pagi (2/12/13). Akibatnya, seorang warga, Yunus Daeng Empo,  mendapat hadiah timah panas di paha kanan.

Zulkarnain, Direktur Eksekutif Walhi Sulsel, kala dihubungi Mongabay, mengatakan, kejadian ini dipicu rencana PTPN XIV mengelola lahan sengketa dan masih proses kasasi di Mahkamah Agung (MA).

Mendengar rencana itu, puluhan warga mendatangi lokasi yang dijaga belasan Brimob dari Polda Sulsel. Situasi makin memanas ketika PTPN IX tak mengindahkan protes warga. Yunus Daeng Empo,  yang mencoba menghentikan aktivitas pengolahan lahan ditembak brimob. “Situasi menjadi kacau karena brimob mulai menangkap dan menembaki warga,” katanya hari itu.

Dia mengecam kejadian ini dan menuntut Kapolda Sulselbar segera menarik seluruh personil yang bertugas di PTPN XIV. “Hentikan segala refresif dalam penanganan sengketa antara warga dengan PTPN XIV.”

Kondisi di lokasi sempat memanas pasca bentrokan. Dia khawatir konflik meluas dan bisa menyebabkan banyak korban jika tidak segera ditangani dengan baik. Untunglah, Kepolisian Takalar langsung mengadakan pertemuan dengan berbagai pihak terkait, termasuk tokoh masyarakat dan pemerintah setempat.

Dalam pertemuan yang berlangsung pada pukul 16.00 di Polres Takalar disepakati PTPN XIV akan menghentikan aktivitas mereka di lahan yang bersengketa sebelum ada pertemuan lanjutan dengan Bupati Takalar. Juga disepakati kepolisian akan menanggung biaya pengobatan korban penembakan. “Hasil pertemuan itu sementara diterima semua pihak. Kini kondisi mulai membaik,” ucap Zulkarnain.

Aksi penembakan aparat kepolisian terhadap warga Takalar terkait sengketa lahan dengan PTPN XIV bukanlah kali pertama. Sebelumnya, pada Oktober 2008, terjadi aksi serupa oleh aparat Polres Takalar.

Pada 9 Agustus 2009, bentrokan kembali terjadi, bahkan lebih parah. Tahun 2009, kepolisian mulai menurunkan brimob menghadapi protes warga. Selain menembakkan gas air mata, juga peluru karet, mengakibatkan enam warga terluka dan 17 orang ditahan dan diadili di pengadilan. Pasca bentrok ini, aparat pun dinilai banyak intimidasi,  teror, dan sweeping warga serta meminta tak lagi menuntut PTPN XIV.

Brimob berjaga-jaga mengamankan proses pengelolaan lahan PT PN, pada 28 Juni 2013. Warga protes karena pengolahan lahan oleh perusahaan negara ini memasuki lahan sengketa. Foto: Sapariah Saturi
Brimob berjaga-jaga mengamankan proses penggarapan lahan oleh PT PN, pada 28 Juni 2013. Warga protes karena pengolahan lahan oleh perusahaan negara ini memasuki lahan sengketa. Foto: Sapariah Saturi

Sejumlah lembaga non pemerintah di Makassar dan Serikat Tani Polongbangkeng pun pernah mengajukan protes atas keberadaan Brimob di PTPN XIV kepada Kompolnas. Kehadiran brimob dinilai hanya memperuncing suasana. Atas protes itu, Kompolnas sudah memberikan rekomendasi penarikan sesuai tuntutan warga. Namun tetap saja Brimob masih berjaga-jaga di lokasi itu.

Pada akhir Juni 2013, kondisi juga sempat memanas. Perusahaan negara ini menempatkan brimob guna mengamankan proses pengolahan lahan sengketa. Warga protes. Padahal, sesuai perjanjian yang dibuat dalam pertemuan di Kapolres Takalar, menyebutkan, PTPN dilarang mengelola lahan yang diklaim milik warga sampai ada penyelesaian kasus.

Konflik antara warga dengan PTPN XIV muncul tahun 2007. Saat sekitar 723 keluarga petani di sembilan desa di Kecamatan Polongbangkeng Takalar, menuntut perusahaan mengembalikan tanah petani yang dikuasai pemerintah sejak 1982, sekitar 4.500 hektar.

Tuntutan petani cukup beralasan, karena penguasaan lahan PTPN berdasar pada hak guna usaha (HGU) selama 25 tahun berakhir 2004. Kenyataan, lahan ini tak juga diberikan kepada warga, pemilik lahan sejak awal. Warga mengaku tidak ingin memperpanjang kontrak karena nilai sangat rendah.

Warga yang hidup di sembilan Desa Kecamatan Polongbangkeng, mayoritas dari pertanian dengan rata-rata kepemilikan lahan di bawah satu hektar. Tak jarang mereka harus merantau dan menjadi buruh karena tak memiliki lagi lahan di kampung halaman. “Mereka umumnya hanya memiliki sedikit lahan untuk diolah, dan menggantungkan hidup dari lahan ini. Wajar jika mereka mati-matian mempertahankan lahan itu,” kata Nini Eryani, aktivis Walhi Sulsel. Dia selama ini banyak mendampingi warga.

Mongabay, berupaya menghubungi Kapolres Takalar, tetapi sampai berita ini diturunkan, belum mendapatkan jawaban.

Gerbang memasuki pabrik gula PTPN XIV Takalar. Foto: Wahyu Chandra
Gerbang memasuki pabrik gula PTPN XIV Takalar. Foto: Wahyu Chandra
Seorang aparat Polres Takalar, tengan membacakan kesepakatan yang berisi agar PTPN XIV tak mengelola lahan yang diklaim warga. Surat itu diberikan kelompok tani agar perusahaan menghentikan operasi garap lahan dengan dijaga brimob bersenjata.Foto: Sapariah Saturi
Seorang aparat Polres Takalar, tengah membacakan kesepakatan yang berisi agar PTPN XIV tak mengelola lahan yang diklaim warga pada 28 Juli 2013. Surat itu diberikan kelompok tani kepada aparat yang menjaga agar perusahaan menghentikan operasi garap lahan dengan pengamanan brimob bersenjata. Foto: Sapariah Saturi
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,