2013: Tahun Istimewa Untuk Hutan Indonesia

Tahun 2013 penuh dengan berbagai perkembangan dalam upaya memahami dan melindungi hutan hujan tropis dunia, Tulisan ini, adalah sebuah kilas balik dari berbagai upaya untuk melindungi hutan hujan tropis yang sudah terjadi sepanjang tahun 2013, khususnya di Indonesia. Dalam tulisan aslinya, Rainforest News Review 2013, Rhett Butler membuat versi yang lebih panjang dengan cakupan kilas balik upaya perlindungan hutan tropis di level internasional, meliputi Asia, Afrika hingga Amerika Latin. Namun tulisan ini, saya fokuskan dalam konteks hutan hujan tropis Indonesia.

Kebijakan Konservasi Hutan Sejumlah Perusahaan

Salah satu hal yang paling menonjol di tahun 2013 adalah munculnya berbagai upaya sejumlah perusahaan yang selama ini dikenal sebagai salah satu penyebab deforestasi di hutan hujan tropis di Indonesia untuk mengadopsi kebijakan nol deforestasi untuk melakukan proses produksi mereka. Dua yang terbesar adalah di sektor produksi kertas dan bubur kertas, serta kelapa sawit.

Pada bulan Februari 2013, Asia Pulp & Paper (APP), salah satu produsen kertas terbesar dunia menyatakan komitmen mereka untuk melindungi hutan yang bernilai konservasi tinggi dan hutan yang memiliki kandungan karbon tinggi di dalam wilayah konsesi mereka, dan juga mencegah konflik dengan masyarakat lokal dalam proses produksi mereka. Kebijakan ini diterapkan di semua wilayah perkebunan mereka di seluruh dunia, dengan cara melakukan penilaian lingkungan secara mendalam sebelum membuka perkebunan baru. Lewat kebijakan baru ini, APP hanya akan menerima serat kayu dari lahan yang termasuk perkebunan lama. Dalam mengimpelementasikan kebijakan ini, APP dipandu oleh The Forest Trust, sebuah lembaga konsultasi di bidang kehutanan yang pernah bekerjasama dengan perusahaan kelapa sawit besar di Indonesia, Golden Agri Resources pada tahun 2011.

MTH di Sungai Siak yang siap dikirim ke pabrik APP. Foto: Eyes On The Forest
MTH di Sungai Siak yang siap dikirim ke pabrik APP. Foto: Eyes On The Forest

Langkah yang diambil oleh APP ini dinilai signifikan karena selama ini mereka dinilai sebagai salah satu perusahaan yang menimbulkan kerugian lingkungan di Indonesia, dan menyebabkan deforestasi atau penggundulan hutan dalam skala besar di hutan yang kaya dan lahan gambut yang menyimpan cadangan karbon tinggi. Melihat rekam jejak perusahaan ini, sejumlah pihak menanggapi kebijakan baru APP ini dengan skeptis. Namun sepuluh bulan setelah APP menjalankan kebijakan ini, salah satu “musuh” besar mereka yaitu Greenpeace menyatakan bahwa kebijakan yang dilakukan ini cukup menjanjikan. Sementara lembaga lain yang ikut memantau kebijakan APP ini, seperti Rainforest Action Network (RAN) WWF dan Greenomics-Indonesia terus memantau perusahaan-perusahaan penyuplai APP. Dalam laporan yang diterbitkan secara internal sendiri APP sudah melaporkan dua pelanggaran yang terjadi dalam kebijakan mereka sendiri.

Kebijakan konservasi hutan yang diluncurkan oleh APP ini terkait dengan gelombang penolakan sejumlah perusahaan penerbit besar dunia untuk membeli produk APP, seperti yang dinyatakan oleh penerbit asal AS, HarperCollins pada bulan Januari tahun ini. Di sisi lain, kebijakan yang dilakukan oleh APP ini juga semakin menekan perusahaan pesaing APP dalam bisnis kertas, seperti APRIL yang hingga saat ini tidak memiliki kebijakan konservasi hutan dan mash menebang hutan gambut di Propinsi Riau.

Sembilan bulan setelah APP menandatangani kebijakan konservasi hutan mereka, produsen kelapa sawit yang berbasis di Singapura, Wilmar juga meluncurkan komitmen serupa. Hal ini, jika berhasil akan mampu mengubah industri kelapa sawit dunia, yang selama ini dituding sebagai salah satu penyebab terjadinya kerusakan hutan tropis di dunia, terutama Indonesia.

Aksi Greenpeace membentangkan spanduk di konsesi Wilmar di Jambi. Foto: Greenpeace
Aksi Greenpeace membentangkan spanduk di konsesi Wilmar di Jambi. Foto: Greenpeace

Kebijakan Wilmar ini muncul setelah berbulan-bulan melakukan konsultasi dan diskusi degan TFT, Unilever, sebagai pembeli terbesar kelapa sawit industri dan lembaga Climate Advisers, sebuah konsultan yang fokus di bidang perubahan iklim. Kebijakan yang dilakukan oleh Wilmar ini meliputi dimensi deforestasi, alih fungsi lahan gambut dan Hak Asasi Manusia dan diterapkan di seluruh wilayah operasi perusahaan ini, baik itu perkebunan, pengolahan, maupun pabrik. Hal ini juga termasuk di bidang perusahaan lain milik Wilmar seperti gula dan kedelai.

Sejumlah perusahaan produk makanan dunia, sepert Unilever dan Nestle yang menerima tekanan besar dari sejumlah organisasi lingkungan untuk membeli produk kelapa sawit yang diproduksi secara ramah lingkungan, memberi dampak bagi munculnya kebijakan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan produsen kelapa sawit seperti Wilmar, karena perusahaan makanan dunia ini akhirnya batasan yang lebih tinggi dalam membeli produk kelapa sawit.

Kelapa Sawit dan Deforestasi

Perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus bertambah luar biasa kendati harga minyak kelapa sawit dunia meningkat. Hal ini telah menyebabkan sejumlah konflik sosial yang tak kunjung usai, salah satunya adalah skandal PT Asiatic Persada yang menggunakan jasa aparat keamanan untuk mengusir Suku Anak Dalam, warga asli di Jambi dari wilayah tinggal mereka.

Greenpeace telah menerbitkan laporan bahwa produksi kelapa sawit adalah salah satu penyebab tunggal terbesar deforestasi di Indonesia, yang mencapai sekitar seperempat jumlah kehilangan total area hutan di Indonesia sepanjang tahun 2009 hingga 2011. Sejumah kajian yang diterbitkan oleh Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) memperkirakan sekitar 3,5 juta hektar hutan d Indonesia, Malaysia dan Papua Nugini telah diubah menjadi perkebunan kelapa sawit antara tahun 1990 hingga 2010. Proporsi atau perimbangan konversi hutan secara berurutan terbesar terjadi di wilayah Papua (sekitar 61% atau 33.600 hektar didirikan di hutan alam), Sabah (62%, atau sekitar 714.000 hektar) dan Papua Nugini (54%, atau sekitar 41.700 hektar), diikuti oleh Kalimantan (44%, atau sekitar 1.23 juta hektar), Sarawak (48%, 471.000 hektar), Sumatera (25%, 883.000 hektar) dan Semenanjung Malaysia (28%, atau sekitar 318.000 hektar).

Aksi buruh sawit dan pegiat lingkungan di Medan, Sumut, di tengah berlangsung pertemuan tahunan RSPOI. Foto: Roby S Karokaro
Aksi buruh sawit dan pegiat lingkungan di Medan, Sumut, di tengah berlangsung pertemuan tahunan RSPOI. Foto: Roby S Karokaro

RSPO sendiri telah menyetujui diterapkannnya “Prinsip dan Kriteria” (P&C) untuk meningkatkan standar sertifikasi kelapa sawit ramah lingkungan. Namun sejumlah lembaga lingkungan meihat bahwa standar ini belum memasukkan perhitungan emsisi Gas Rumah Kaca yang akan mencegah konversi lahan gambut untuk perkebunan. Sejumlah perusahaan kelapa sawit sendiri memprotes prinsip-prinsip baru ini karena dinilai terlalu ketat dan mengancam akan meninggalkan lembaga ini, dan bergabung dengan standar sertifikasi yang dilakukan oleh Malaysia, yang memiliki standar lebih rendah.

2013: Tahun Signifikan Bagi Hutan Indonesia

Tahun 2013 dibuka dengan kontroversi atas usulan revisi rencana tata ruang Aceh yang mengatur penggunaan lahan di provinsi ini. Rencana tata ruang yang dibuat Gubernur Aceh Zaini Abdullah ini sangat dipengaruhi oleh kepentingan para pebisnis di sektor pertambangan, kayu, dan perkebunan, akan memberikan dampak pada ribuan hektar hitan yang sebelumnya tertutup untuk konversi industri. Pemerhati lingkungan mengatakan, perubahan ini jika disetujui oleh pemerintah pusat akan membuat habitat kunci bagi orangutan yang terancam punah, juga harimau, badak, dan gajah menjadi semakin beresiko. Rencana baru itu dikecam oleh sekelompok ilmuwan selama pertemuan ATBC (Asian Tropical Biology Conservation) di Aceh pada bulan Maret silam.

Pada bulan Februari, Asia Pulp & Paper mengumumkan kebijakan konservasi hutan yang yang memberikan komitmen perusahaan ini untuk tidak mengambil sumber serat kayu dari hutan alam dan lahan gambut. Hal ini berpotensi menempatkan raksasa bisnis kehutanan ini menuju operasi produksi yang secara signifikan lebih ramah lingkungan di masa mendatang. Sementara beberapa LSM menyatakan keraguan tentang komitmen ini, kebijakan itu didukung oleh keputusan Greenpeace untuk menghentikan sejumlah kampanye panjang yang selama ini menuding APP sebagai salah satu perusahaan yang melakukan perusakan hutan tropis Indonesia.

0522deforestation-indonesia2

Sementara itu perusahaan satu grup APP, yaitu produsen minyak kelapa sawit Golden Agri Resources (GAR), juga dinilai terus membuat kemajuan dalam pelaksanaan kebijakan konservasi hutan yang sama, menurut laporan pihak ketiga. Raksasa minyak sawit ini mengatakan akan meninggalkan pengembangan perkebunan kelapa sawit di daerah hutan hujan di Papua untuk mematuhi kebijakan tersebut. Sementara itu GAPKI  atau Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia mengatakan akan mendukung pertukaran lahan (Land swap) sebagai sarana untuk mengurangi emisi karbon dari deforestasi sekaligus memperluas produksi mereka.

Pada bulan Maret, sebuah pertemuan yang membahas tentang badak di Asia Tenggara yang digelar di Singapura menyimpulkan bahwa hanya 100 badak Sumatera dan 40 badak Jawa saat ini yang bertahan hidup di alam liar. Para pejabat Malaysia membuka kemungkinan mentransfer badak Sumatera dari Sabah ke Indonesia sebagai bagian dari upaya terakhir untuk menyelamatkan spesies unik ini dari kepunahan. Pada bulan April, WWF memicu kontroversi ketika mengumumkan penampakan pertama dari badak Sumatera di Pulau Kalimantan, Indonesia dalam 40 tahun terakhir. Kritik mengatakan, WWF seharusnya merahasiakan hal ini untuk mengurangi kemungkinan pemburu cula badak mencari lokasi penemuan ini. WWF sendiri menanggapi,  bahwa tindakan pencegahan telah diambil untuk melindungi populasi badak yang ada di Kabupaten Kutai Barat ini.

Tim survei baru menemukan jejak tapak badak. Foto: WWF-Indonesia
Tim survei baru menemukan jejak tapak badak. Foto: WWF-Indonesia

Pada bulan April, Indonesia menyambut kapal milik Greenpeace, Rainbow Warrior, yang kembali ke perairan nusantara untuk pertama kalinya sejak diusir pada bulan Oktober 2010 silam. Keberadaan Rainbow Warrior di Indonesia adalah sebagai bagian dari kampanye peningkatan kesadaran lingkungan yang digelar oleh Greenpeace. Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono bahkan menyempatkan untuk mengunjungi kapal ini dan bertemu dengan Direktur Eksekutif Greenpeace Internasional, Kumi Naidoo.

Pada bulan Mei, Mahkamah Konstitusi membatalkan klaim Pemerintah Indonesia terhadap jutaan hektar lahan hutan yang dianggap sebagai hutan negara. Keputusan MK ini memberikan hak kepada masyarakat adat dan lokal untuk mengelola hutan adat mereka. Keputusan itu muncul setelah penilaian ulang terhadap Undang-Undang Kehutanan tahun 1999, dan Mahkamah Konstitusi Indonesia memutuskan bahwa hutan adat tidak harus diklasifikasikan sebagai ” Kawasan Hutan Negara “. Langkah ini sangat penting karena pemerintah pusat Indonesia memegang kontrol atas kawasan hutan yang luas di negara ini,  dan secara efektif memungkinkan lembaga seperti Departemen Kehutanan untuk memberikan konsesi besar untuk perusahaan untuk melakukan pembukaan perkebunan, bahkan jika daerah tersebut telah dikelola selama beberapa generasi oleh masyarakat setempat . Dalam prakteknya itu berarti hutan yang dimiliki oleh masyarakat adat sebagai pemegang konsesi penebangan secara selektif dapat dibuldoser untuk industri perkayuan, produksi pulp dan kertas, dan perkebunan kelapa sawit. Dalam banyak kasus, konversi hutan untuk industri memicu perlawanan keras dari masyarakat setempat, yang jarang mendapat manfaat dari perampasan tanah adat mereka. Organisasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), yang mewakili masyarakat adat di seluruh nusantara dan bertanggung jawab untuk mendorong peninjauan ulang ini mengatakan, putusan ini mempengaruhi hak kepemilikan dan pengelolaan 30 persen kawasan hutan di Indonesia atau sekitar 40 juta hektar.

Pada bulan yang sama, Presiden Yudhoyono mengumumkan untuk memperpanjang moratorium penebangan hutan dan pembukaan konsesi perkebunan baru di hutan seluas 65 juta hektar dan lahan gambut selama dua tahun mendatang. Moratorium adalah sebagai bagian dari upaya pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, yang sebagian besar dihasilkan dari deforestasi dan degradasi lahan gambut yang padat karbon. Moratorium ini ditandatangani setelah Norwegia menjanjikan satu miliar dolar terhadap rencana deforestasi pengurangan Indonesia. Pembayaran yang dilakukan oleh Norwegia akan bersandar pada keberhasilan Indonesia dalam mengurangi hilangnya hutan .

Perbandingan jumlah perkebunan HTI dan Luasan hutan primer yang dilindungi dalam program moratorium.
Perbandingan jumlah perkebunan HTI dan Luasan hutan primer yang dilindungi dalam program moratorium.

Pada bulan Juni, The Jakarta Globe melaporkan bahwa dua perusahaan China, yaitu China Power Investment Corporation dan Anhui Conch Cement berencana menginvestasikan $ 17 miliar pada sebuah proyek bendungan di Kalimantan Utara, dan telah menimbulkan kekhawatiran sebagian besar hutan di provinsi ini bisa segera berubah menjadi kawasan industri. Di Sumatera, kebakaran hutan yang terjadi akibat pembukaan lahan telah menyebabkan munculnya kabut asap yang memberi dampak parah terhadap negara tetangga Singapura dan Malaysia. Menurut analisis World Resources Institute, Greenpeace, CIFOR, dan Eyes on the Forest menunjukkan bahwa sebagian besar kebakaran hutan yang terjadi di Sumatera ini berada di lahan gambut yang dibuka untuk perkebunan kelapa sawit, kayu, dan perkebunan akasia untuk bubur kertas. Masalah kabut ini sekaligus menyoroti sejumlah masalah di sektor kehutanan dan perkebunan di Indonesia, termasuk proses penerbitan izin yang tumpang tindih, kurangnya transparansi di sekitar konsesi kehutanan, dan penegakan hukum yang lemah.

Australia mengumumkan telah mengakhiri proyek REDD+ yang banyak digembar-gemborkan di Kalimantan,  yang sebelumnya bertujuan untuk menanam 100 juta pohon dan melindungi 70.000 hektar hutan gambut , serta daerah yang mengalami banjir akibat rawa yang dikeringkan. Proyek ini mengalami kesulitan di lapangan karena lambatnya persetujuan pemerintah dan munculnya berbagai keberatan dari masyarakat lokal dan pejabat .

Pada bulan Juli, laporan dari Human Rights Watch merinci tingginya biaya korupsi di sektor kehutanan Indonesia. Penilaian tersebut memperkirakan bahwa korupsi dan salah kelola di sektor ini menghasilkan kerugian sekitar 7 miliar dollar AS dalam kurun waktu 2007-2011. Hal ini sekaligus memunculkan pertanyaan tentang kemampuan pemerintah untuk melaksanakan program REDD+. Apalagi, sebuah laporan dari PBB memberi nilai yang rendah dalam tata kelola hutan Indonesia.

APRIL atau Asia Pacific Resources Interntional Limited, yang merupakan pesaing terbesar APP dalam bisnis kertas dunia, akhirnya melepaskan diri dari proses sertifikasi Forest Stewardship Council (FSC) atas dugaan pelanggaran kebijakan pengelolaan hutan. Pihak FSC secara resmi mengakhiri hubungannya dengan APRIL pada bulan Agustus, yang berarti perusahaan ini tidak bisa lagi menggunakan label FSC pada produk-produknya, yang berkisar dari kertas untuk kardus kemasan selulosa yang digunakan dalam filter rokok. APRIL telah menjadi target kampanye selama bertahun-tahun oleh kelompok-kelompok lingkungan karena konversi skala besar hutan alam dan lahan gambut di Pulau Sumatera untuk Hutan Tanaman Industri mereka.

Sebuah laporan pada bulan September dari Greenpeace menyatakan bahwa minyak sawit merupakan faktor pendorong terbesar dari deforestasi di Indonesia, tak kurang dari sekitar seperempat dari deforestasi di negara ini antara tahun 2009 hingga 2011. Sejumlah lembaga lingkungan kemudian metargetkan beberapa produsen minyak sawit besar karena dugaan menjadi penyebab kerusakan lingkungan, termasuk membuka hutan gambut dan habitat orangutan. Sebuah laporan yang diterbitkan oleh RSPO, memperkirakan bahwa lebih dari 2,1 juta hektar hutan dibuka untuk perkebunan kelapa sawit antara 1990 hingga 2010.

Harrison Ford dalam potongan trailer film Years of Living Dangerously yang pengambilan gambarnya dilakukan di Riau. Foto: Screenshot Years of Living Dangerously/Showtime
Harrison Ford dalam potongan trailer film Years of Living Dangerously yang pengambilan gambarnya dilakukan di Riau. Foto: Screenshot Years of Living Dangerously/Showtime

Superstar Hollywood, Harrison Ford menimbulkan kegemparan saat syuting untuk sebuah segmen di film serial TV terbaru, The Years of Living Dangerously. Ini adalah sebuah film dokumenter yang diproduksi oleh Showtime terkait isu perubahan iklim. Ford mengunjungi lokasi syuting Taman Nasional Tesso Nilo  di Propinsi Riau, Sumatera sebelum bertemu dengan para pemimpin bisnis dan pejabat di Jakarta . Seorang pejabat mengancam akan mendeportasi aktor karena dinilai “menyerang” Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dengan pertanyaan-pertanyaan sulit tentang deforestasi.

Sebuah survei di hampir 200 komunitas di Kalimantan mendokumentasikan penolakan yang luas terhadap deforestasi dalam skala besar. Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal PLoS ONE ini menemukan bahwa orang yang tinggal di dekat hutan menempatkan nilai terbesar pada manfaat yang mereka mampu, termasuk tanaman obat, permainan , air bersih , dan serat .

Pada bulan Oktober , Indonesia dan Uni Eropa menandatangani Perjanjian Kemitraan Sukarela yang lama ditunggu-tunggu tentang Pemerintahan Penegakan Hukum Kehutanan dan Perdagangan (FLEGT – VPA), kebijakan ini adalah sebuah upaya untuk mengakhiri perdagangan produk kayu ilegal dari Indonesia. Di bawah VPA, semua kayu yang diekspor ke Uni Eropa dari Indonesia harus disertifikasi di bawah sistem verifikasi yang diakui negara terkait legalitasnya, atau Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), yang bertujuan untuk melacak balak produk kayu dan memastikan kayu yang dipanen sesuai dengan hukum Indonesia .

Alur kerja SVLK
Alur kerja SVLK

Pada bulan Desember, Presiden Yudhoyono menunjuk Kepala Badan REDD+ yang didirikan pada bulan September. Heru Prasetyo, seorang administrator dan mantan konsultan manajemen sektor swasta, dipilih untuk bertugas melaksanakan program REDD+ di Indonesia, yang bertujuan untuk mengarahkan negara Asia Tenggara jauh dari praktek pengelolaan hutan yang tidak memenuhi koridor ramah lingkungan.

Program Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi (REDD +)  yaitu sebuah program PBB yang bertujuan untuk memberikan kompensasi berbasis kinerja untuk negara-negara tropis untuk melindungi hutan, akhirnya disetujui setelah tujuh tahun diskusi . Teks akhir memuat beberapa pokok penting termasuk ketentuan safeguard; upaya mengatasi deforestasi seperti konversi hutan alam untuk perkebunan, lalu proses pengukuran, pelaporan dan verifikasi (MRV) dari emisi yang berkaitan dengan hutan, lalu tingkat referensi untuk mengukur pengurangan emisi dari deforestasi, serta skema keuangan. Persetujuan formal akan memberikan jalan keluar untuk pasar REDD+ yang sempat terhenti, yang telah mengalami ketidakpastian dan menyebabkan kurangnya permintaan untuk kredit karbon, sehingga menyebabkan penurunan harga karbon offset.

Meskipun mengalami ketidakpastian, beberapa proyek besar REDD+ terus bergerak maju, termasuk proyek Surui di Brazil dan proyek Rimba Raya di Kalimantan Tengah di Indonesia. Pada bulan Maret, Walt Disney Company bahkan membeli kredit karbon senilai 3,5 juta dollar AS kredit karbon yang dihasilkan dari proyek konservasi hutan hujan di Peru. Pada bulan September, WCS mengumumkan bahwa kredit karbon dari proyek REDD+ di Madagaskar timur laut telah disertifikasi untuk dijual.

Citra Kalimantan tengah dari satelit Landsat 8 terbaru.
Citra Kalimantan tengah dari satelit Landsat 8 terbaru.

Teknologi dan Konservasi

2013 juga merupakan tahun kemajuan yang signifikan untuk teknologi yang digunakan dalam konservasi. Pada bulan Februari, NASA berhasil meluncurkan Landsat 8. Satelit observasi Bumi yang akan memberikan citra penting untuk memantau hutan tropis dunia. Ini adalah Landsat kedelapan sejak peluncuran awal pada tahun 1972 .

Pada bulan November, peneliti merilis sebuah alat yang lama ditunggu-tunggu yang mengungkapkan tingkat hilangnya tutupan hutan dan keuntungan dalam skala global. Didukung oleh sistem komputasi besar dan canggih dari Google, peta hutan interaktif ini membentuk dasar baru untuk mengukur deforestasi dan tingkat pemulihan hutan di semua negara di dunia, biomassa dan jenis hutan. Peta ini tidak membedakan antara hutan alam dan perkebunan, tapi database yang adai akan mendukung pengembangan lapisan tambahan, yang dapat digunakan untuk membuat lapisan untuk menganalisis perkebunan kelapa sawit dan kayu, yang memungkinkan pengguna untuk membedakan antara deforestasi, penanaman kembali perkebunan, dan konversi hutan menjadi perkebunan. Secara keseluruhan peta ini menemukan bahwa 2,3 juta kilometer persegi hutan sudah hilang antara tahun 2000 hingga tahun 2012.  Kehilangan hutan tertinggi terjadi di daerah tropis, yang merupakan satu-satunya wilayah di dunia di mana deforestasi meningkat.

Pada bulan Desember , Stanford University mengumumkan kursus online gratis yang mendemokratisasi proses pemantauan hutan dengan menawarkan pelatihan software monitoring deforestasi. Juga pada bulan Desember, sebuah inisiatif kolaborasi yang dikenal sebagai Tropical Ecology Assesment and Monitoring (TEAM) menyatakan telah bermitra dengan HewlettPackard (HP) untuk memahami data dari ribuan perangkap kamera di 14 negara. Program yang dipimpin oleh Conservation International dan Wildlife Conservation Society ini sejauh ini sudah berhasil melacak data pada 275 spesies dalam 17 kawasan lindung.

Para peneliti menggunakan data dari citra satelit resolusi tinggi milik Light Detection and Ranging (LIDAR) dari sensor berbasis pesawat untuk menciptakan peta karbon hutan untuk Panama, dan sekaligus menandai pertama kalinya  seluruh negeri ini berhasil dipetakan secara rinci. Peta itu menunjukkan variasi dalam kepadatan karbon hutan yang dihasilkan dari ketinggian, kemiringan, iklim, jenis vegetasi, dan cakupan kanopi .

Para ilmuwan membangun sebuah aplikasi yang secara otomatis mengidentifikasi spesies dengan vokalisasi mereka. Platform ini, secara rinci dibahas dalam edisi Juli jurnal PeerJ , telah digunakan di Puerto Rico dan Kosta Rika untuk mengidentifikasi katak, serangga, burung, dan monyet .

Seorang polisi hutan di Ujung Kulon menggunakan telepon genggamnya untuk melakukan pengawasan hutan. Foto: Rhett A. Butler
Seorang polisi hutan di Ujung Kulon menggunakan telepon genggamnya untuk melakukan pengawasan hutan. Foto: Rhett A. Butler

Dua teknologi berbasis ponsel yang ditujukan untuk menghentikan pembalakan liar di Brazil dan Indonesia. Di Brazil, pemerintah memasang perangkat nirkabel untuk menjaga pohon, alat ini dikenal dengan nama Invisible Track  yang akan mengirimkan sinyal saat pohon ditebang dan dipindahkan. Di Sumatera, sebuah organisasi yang disebut Rainforest Connection  memasang unit untuk mendengarkan suara tembakan dan gergaji mesin. Setiap suara yang cocok dengan kedua suara tersebut akan memicu alarm peringatan yang disampaikan kepada otoritas lokal, yang memungkinkan melakukan penindakan hukum dengan cepat.

Dan terakhir, revolusi drone atau pesawat tanpa awak untuk tujuan konservasi dilanjutkan dengan puluhan proyek di seluruh dunia. Drone konservasi, yang menggabungkan perangkat lunak pemetaan dengan model pesawat khusus dan helikopter yangdigunakan untuk berbagai aplikasi , termasuk pemantauan, pengumpulan data dan pemetaan resolusi tinggi.

Koh dan Wich saat menguji pesawat tanpa awak mereka di Swiss. Pesawat ini telah dilengkap berbagai kamera, seperti GoPro HD Hero, Canon Ixus 220 HS, dan Pentax Optio WG-1 GPS. Foto: Lian Pin Koh
Koh dan Wich saat menguji pesawat tanpa awak mereka di Swiss. Pesawat ini telah dilengkap berbagai kamera, seperti GoPro HD Hero, Canon Ixus 220 HS, dan Pentax Optio WG-1 GPS. Foto: Lian Pin Koh
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,