Penelitian: Mengurangi Konsumsi Daging, Signifikan Tekan Pemanasan Global

Upaya menekan dampak negatif perubahan iklim, tak bisa hanya dilakukan melalui meja perundingan untuk mengurangi emisi karbon dioksida di udara. Upaya yang selama ini dipandang sebelah mata, seperti mengurangi emisi karbon dari dampa peternakan, mulai harus mendapatkan perhatian lebih besar. Tanpa kita sadari, emisi akibat peternakan hewan penghasil protein hewani adalah salah satu sumber emisi terbesar saat ini selain deforestasi akibat alih fungsi lahan.

Dalam sebuah kajian berjudul “Ruminants, Climate Change and Climate Policy” yang diterbitkan di jurnal ilmiah Nature, Profesor William Ripple dari Akademi Kehutanan di Oregon State University, serta beberapa kolega penelitinya dari Skotlandia, Austria, Australia dan Amerika Serikat memberikan argumentasi keterkaitan antara emisi gas rumah kaca, perubahan iklim, pangan dan isu lingkungan. Mereka menggunakan berbagai literatur dari FAO (Food and Agricultural Organization), UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) dan sejumlah literatur lainnya.

Sapi terak di Papua. Foto: Rhett Butler
Sapi terak di Papua. Foto: Rhett Butler

“Iklim di Bumi ini adalah poin utama perubahan iklim, berbagai pendekatan diperlukan untuk melakukan pencegahan,” ungkap Ripple. “Kita jelas harus mereduksi penggunaan bahan bakar berbasis fosil untuk menekan emisi karbon dioksida. Namun hal itu hanya menyelesaikan sebagian masalah saja. Kita juga harus menekan emisi gas rumah kaca non karbon dioksida untuk menekan perubahan iklim.”

Metana adalah elemen kedua yang dominan dalam gas rumah kaca, dan sebuah laporan terbaru memperkirakan bahwa di Amerika Serikat saja, emisi gas metan dari berbagai sebab memiliki jumah yang jauh lebih besar dibanding yang diperkirakan. Diantara berbagai sumber emisi metana yang ada di sekitar manusia, hewan budidaya untuk sumber protein seperti sapi, domba, kambing dan kerbau lalu ekstraksi bahan bakar fosil serta pembakaran merupakan sumber emisi metana utama dengan jumlah yang besar.

Salah satu cara paling efektif untuk menekan emisi gas metana, menurut para pakar ini adalah dengan mengurangi populasi hewan-hewan ternak, terutama ternak besar. Hewan-hewan ternak ini diperkirakan menjadi sumber tunggal terbesar emisi gas metana yang terkait dengan manusia. Berdasarkan analisis para ahli, emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh hewan ternak seperti sapi dan kambing sekitar 19 hingga 48 kali lebih tinggi dibandingkan produksi tanaman pangan yang mengandung protein tinggi seperti kacang-kacangan, gandum atau kedelai. Sementara, hewan ternak jenis lain seperti babi atau ayam, hanya menghasilkan gas metana yang jauh lebih sedikit dalam sistem pencernaan mereka.

Kendati karbon dioksida adalah elemen dominan dalam gas rumah kaca, namun populasi dunia bisa menekan penyebab pemanasan global dengan jauh lebih cepat jika mereka menekan emisi gas metana melalui pengurangan jumlah hewan-hewan ternak yang menjadi sumber protein, dibandingkan hanya menekan emisi karbon dioksida saja.

Selain itu, para ahli juga melihat bahwa secara global proses produksi hewan ternak memiliki dampak bagi lingkungan. Seperti misalnya saat ini jumlah hewan ternak ruminansi sudah meningkat sekitar 50% dalam 50 tahun terakhir dan diperkirakan ada sekitar 3,6 milyar hewan ternak di seluruh dunia, dan sekitar seperempat luasan lahan di Bumi kini digunakan untuk memproduksi hewan ternak terutama sapi, kambing dan domba. Fakta lainnya, sepertiga dari tanah yang ada tersebut, digunakan untuk menyediakan tumbuhan pakan bagi hewan-hewan ternak.

Peternakan domba di dataran tinggi Peru. Foto: Rhett Butler
Peternakan domba di dataran tinggi Peru. Foto: Rhett Butler

Jadi, dengan mengurangi jumlah produksi hewan ternak di seluruh dunia, maka hal ini menurut para ahli juga akan mengurangi jumlah luasan lahan yang digunakan untuk menumbuhkan tanaman yang akan digunakan sebagai pakan ternak tersebut.

Diantara berbagai pendekatan dari sektor pertanian untuk menekan perubahan iklim, mengurangi permintaan daging dari hasil ternak akan memberikan pengurangan emisi gas rumah kaca lebih signifikan dibandingkan langkah lainnya, misalnya efisiensi pakan ternak atau meningkatkan kandungan hasil tanaman setiap hektarnya. Kebijakan-kebijakan untuk mencapai kedua jenis pengurangan tersebut “memiliki kemungkinan terbaik untuk memberikan keuntungan yang lebih cepat dan bertahan lama bagi iklim”.

Sementara, pakar lain dari University of Scotland yang juga menjadi bagian dari tim peneliti, Pete Smith mengatakan bahwa pendekatan ini masih memberikan keuntungan lainnya. “Mengurangi jumlah hewan ternak bisa memberikan keuntungan ekstra bagi ketahanan pangan, kesehatan manusia dan konservasi lingkungan, termasuk kualitas air, habitat satwa liar dan keragaman hayati,” jelas Smith.

CITATION: William Ripple et al. Ruminants, Climate Change, and Climate Policy. Nature Climate Change, December 2013

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,