, , ,

PT Nusa Halmahera Mineral Dilaporkan ke KLH, ESDM dan Komnas HAM

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara (Malut) melaporkan kasus pencemaran Teluk Kao dan beberapa sungai karena operasi tambang emas, PT. Nusa Halmahera Mineral (NHM) ke Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Kementerian Energi dan  Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Komnas HAM.

Dalam surat itu, dijelaskan berbagai permasalahan lingkungan yang dialami warga sekitar. Dari sungai tercemar, sampai penyakit aneh yang sudah diderita belasan warga. “Belum ada respon dari pemerintah baik itu KLH dan ESDM. Komnas HAM ada balas email, katanya mereka akan dipelajari kasus ini,” kata Munadi Kilkoda, Ketua BPH AMAN Malut, akhir Desember 2013.

Dia menilai, sensitivitas pemerintah terhadap kasus seperti ini tak ada sama sekali. “Kasus yang dialami Suku Pagu ini masalah klasik. Saat ini, sudah ada 13 warga berpenyakit karena limbah, tapi terkesan dibiarkan.”

Menurut dia, negara mengabaikan tugas dan tanggungjawab dalam melindungi masyarakat di sekitar Teluk Kao. Sebaliknya, malah melegitimasi praktik pertambangan NHM ini yang jelas-jelas mematikan masyarakat.  “Intinya ada pengabaian pemerintah terhadap UU Lingkungan Hidup,” ujar dia.

NHM pemegang kontrak karya berdasarkan Keputusan Presiden RI No. B.143/Pres/3/1997 tertanggal 17 Maret 1997. Ia beroperasi di wilayah adat Suku Pagu, Malifut (Teluk Kao), Halmahera Utara, Malut dan menimbulkan masalah serius karena merusak lingkungan.

Terjadi pencemaran air sungai dan air laut di Teluk Kao, hingga kehidupan masyarakat adat Hoana Pagu dan masyarakat lokal sekitar tambang terancam. “Perlu kami sampaikan 29.622 ribu hektar konsesi NHM wilayah adat Suku Pagu,” katanya mengutip surat itu.

Disebutkan pula, penelitian Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 2010, menemukan masalah serius terkait keberlanjutan ekosistem di Teluk Kao. Dari penelitian itu, beragam ikan yang hidup di sana sudah tercemar, antara lain mercuri dan sianida.

Berdasarkan keterangan warga dan dokumentasi oleh AMAN, pada 2010, 2011, dan 2012, pipa limbah (tailing) milik perusahaan jebol dan limbah mengalir ke Sungai Kobok dan Ake Tabobo serta beberapa anak sungai yang bermuara ke Teluk Kao.

Sejak pipa jebol, masyarakat mulai ketakutan mengkonsumsi ikan dari Teluk Kao. Mereka takut menggunakan air sungai, dan mulai kesulitan mencari udang, kerang dan ikan di air sungai itu. Padahal, sebelum perusahan tambang datang, ikan dan sejenisnya mudah diperoleh.

Hasil perkebunan mereka seperti kelapa dan tamanan bulanan lain di sekitar Sungai Kobok tak produktif lagi. Mereka juga mengalami krisis air bersih hingga setiap bepergian ke kebun harus membawa air dari kampung.

Warga beberapa desa yang mengalami krisis air bersih seperti Desa Balisosang, Bukit Tinggi, Dusun Beringin dan Kobok. Mereka harus membeli air gelong seharga Rp15.000 per gelong.

Limbah NHM yang mengalir ke Sungai Kobok. Foto: AMAN Malut

Terbaru, penelusuran AMAN Malut, pada 1-8 Desember 2013, menemukan 13 warga di beberapa desa seperti di Sosol, Balisosang atau Tomabaru, Tabobo, Dum–Dum, Dusun Beringin dan Dusun Kobok yang berdekatan dengan NHM mengalami penyakit aneh. Mereka mengalami benjol–benjol dan gatal–gatal di sebagian besar tubuh. Warga jarang berobat ke Puskermas tau rumah sakit karena tak memiliki kemampuan ekonomi. “Kebanyakan memilih obat kampung.”

Dari hasil wawancara dengan warga termasuk pemerintah desa mengatakan, warga yang mengidap penyakit aneh itu karena mengkonsumsi ikan dari Teluk Kao dan menggunakan air Sungai Kobok serta Ake Tabobo. Kedua sungai ini diduga sudah tercemar limbah NHM.

Surat itu juga menceritakan, kriminalisasi yang dialami warga. Perusahaan juga menggunakan Brimob untuk menjaga dan mengawasi pertambangan. Pada 2013, seorang warga, Rusli Tunggapi, tertembak. Awal tahun lalu, tiga warga adat Hoana Pagu di Desa Sosol mengalami kekerasan oleh brimob. Pada 2012, sebanyak 30 warga adat Pagu ditahan karena aksi protes di perusahan. “Kami yakin dan percaya, kriminalisasi ini akan terus terjadi.”

Untuk itu, AMAN Malut menyampaikan beberapa tuntutan. Pertama, pemerintah pusat lewat Kementerian Lingkungan Hidup, harus segera mengambil tindakan hukum berdasarkan dengan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup. AMAN mendorong dilakukan audit lingkungan pada NHM.

Kedua, meminta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), meninjau Kontrak Karya NHM dan tak memperpanjang lagi kontrak yang akan berakhir 2016.

Ketiga, mendesak Komnas HAM memantau kasus yang mengancam masa depan masyarakat di sekitar NHM ini. Keempat, mendesak Pemerintah Malut dan Pemerintah Kabupaten Halmahera Utara, mengambil langkah–langkah cepat. Saat ini, era otonomi seharusnya daerah menyikapi persoalan yang terjadi, termasuk memberikan sanksi hukum kepada NHM maupun pertolongan bagi warga yang sakit.

Kelima, menuntut NHM, mengganti kerugian ekonomis dan ekologis akibat kelalaian dari aktivitas pertambangan mereka. Mereka harus bertanggungjawab terhadap semua masalah.

Warga mengalami penyakit benjol di muka. Foto: AMAN Malut
Peta PT NHM. Sumber: AMAN Malut
Wilayah tambang PT NHM dari citra satelit. Sumber: AMAN Malut
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,