, ,

Soal Reklamasi Teluk Benoa, Aktivis Bali Lapor Komnas HAM dan Ombudsman RI

Para aktivis lingkungan Bali yang tergabung dalam Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBali) mendatangi Komnas HAM dan Ombudsman RI di Jakarta, Senin (20/1/14). Mereka melaporkan intimidasi dan mendesak proyek reklamasi Teluk Benoa oleh PT. Tirta Wahana Bali International (TWBI), perusahaan milik Tommy Winata ini, segera dihentikan.

“Kami melapor ke Komnas HAM karena selama kami mengadvokasi mengalami intimidasi. Hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi kami dihambat,” kata Wayan Gendo Suardana, Koordinator ForBALI.

Setiap aksi penolakan reklamasi Tanjung Benoa, katanya, selalu ada kelompok orang tak dikenal mengganggu. Bahkan, mau membubarkan aksi. Mereka berbadan kekar dan mencoba mengintimidasi. Walau pun akhirnya tak terjadi kekerasan karena kepolisian langsung memisahkan.“Atau ketika kami kampanye musik, juga ada intimidasi. Kami merasa hak kami untuk berpendapat dan berekspresi itu dihalang-halangi.”

Gendo meminta, Komnas HAM bertindak. Hal ini disambut baik Komnas HAM. Mereka segera mengeluarkan surat kepada Gubernur Bali pengaduan dari ForBALI. Reklamasi Teluk Benoa di Kabupaten Badung, Bali akan menimbun perairan itu seluas 838 hektar. Ia bisa berakibat pada kerusakan lingkungan hidup dan fungsi ekologis Teluk Benoa, hancur.

Rencana reklamasi ini juga berakibat hak lingkungan hidup sehat warga tak terpenuhi. Padahal itu, dijamin UU No.39 tahun 1999 tentang HAM. Juga UU No. 32 tahun 2009 mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Ini lanjutan dari pertemuan sebelumnya di Denpasar.  Mereka datang kesini karena merasa ada hal perlu disampaikan. Ada yang dipanggil kepolisian daerah.  Jadi dua hal ini jadi fokus penanganan kami,”  kata Nur Kholis, komisioner Komnas HAM.

Kholis mengatakan, Komnas HAM akan mengirim surat kepada  Gubernur Bali. Surat itu akan ditembuskan kepada Polda dan beberapa pejabat dan perguruan tinggi disana. Dengan surat itu, katanya, diharapkan tak ada lagi upaya intimidatif dan mengancam kebebasan berekspresi.“Kita akan rumuskan isi surat seperti apa. Intinya membahas kondisi. Bukan soal menolak atau terima. Tapi bagaimana pro kontra ini dari aspek HAM.”

Kholis mengatakan, Gubernur harus memperhatikan aspirasi masyarakat penolak reklamasi. Dia juga menilai ada dugaaan pelanggaran HAM. “Orang menyampaikan pendapat itu tak  dilindungi kepolisian. Ada dugaan pembenturan antara dua kelompok. Ini kan seharusnya tidak boleh. Kita masih memperdalam soal ini. Pemerintah harusnya menjadi penetralisir.”

Teluk Benoa dan jalan di atas air. Foto: Ni Komang Erviani

Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Nasional mengatakan, ada tiga hal pokok penting diperhatikan.  Pertama, hak atas lingkungan sehat dan bersih. Kedua, potensi kekerasan dan praktik-praktik intimidasi mulai terjadi.  Ketiga, soal hak atas sosial budaya.

“Karena kawasan di Bali itu sarat dengan nilai-nilai budaya.  Dalam konteks ini, Walhi sebagai organisasi yang konsen kepada persoalan lingkungan. Tak sedikit kawasan yang sudah direklamasi justru menjadi bencana.”

Banjir di berbagai kota saat ini, katanya,  karena praktik reklamasi karena pengelolaan lingkungan buruk. “Walhi terus mendukung masyarakat Bali memperjuangkan keberlanjutan hidup. Kami melihat persoalan reklamasi ini bagian upaya dari perlindungan HAM itu sendiri,” ucap Abetnego.

Dia mengatakan, proyek reklamasi gencar di beberapa kota menjadi ancaman besar bagi lingkungan hidup dan rakyat. Sebab, reklamasi ini menyebabkan bencana lingkungan, salah satu banjir.

Sarasdewi, Ketua Prodi Filsafat Universitas Indonesia, mengatakan, selain pelanggaran hukum, proyek reklamasi ini juga melanggar hak sosial budaya masyarakat, khusus preservasi kultural. “Bagi masyarakat Bali, alam memiliki ikatan begitu kuat dengan kehidupan religius.”

Selesai mengadu di Komnas HAM, mereka menuju Ombudsman RI. Laporan ke Ombudsman karena mereka nilai pemerintah mal administrasi karena berupaya proyek tetap berjalan. Dalam pertemuan itu, mereka diterima anggota Ombudsman bidang penyelesaian laporan dan pengaduan, Budi Santoso.

Budi mengatakan, Ombudsman segera menindaklanjuti laporan ForBALI. Mereka akan berkoordinasi dengan Ombudsman Bali, dan pendalaman fakta-fakta pelanggaran hukum dalam reklamasi Teluk Benoa.

Gendo mengatakan, Bali pernah mengalami peristiwa traumatik terkait perusakan lingkungan akibat reklamasi.“Dulu, perusakan lingkungan luar biasa pernah terjadi  akibat reklamasi Pulau Serangan. Sampai saat ini Serangan tak jadi apa-apa. Nah, proyek reklamasi sekarang akan dibangun ini posisi persis sebelah Serangan. Hanya berjarak 500 meter,” ujar dia.

Tahun 1994, Pulau Serangan direklamasi empat kali lipat dari pulau asli. Akibat proyek reklamasi itu, Bali kehilangan habitat penyu,  hutan bakau dan terumbu karang. Nelayan beralih menjadi petani cokelat produksi bahkan menjadi buruh pariwisata.  Banyak akhirnya tak mendapatkan pekerjaan karena bangkrut.

“Mereka dulu bisa mendapatkan Rp50.000 per hari. Kalau ada seratus nelayan sudah berapa total kerugian akibat reklamasi Serangan? Belum lagi kita kehilangan terumbu karang dan rumput laut? Itu belum dihitung dengan kerugian akibat abrasi pantai.”

Pemerintah, seharusnya belajar dari pengalaman reklamasi Serangan. Proyek reklamasi itu tak terlalu bermanfaat. Justru dampak kerusakan lingkungan dirasakan hingga kini. Mereka akan mengadukan kasus ini ke berbagai lembaga negara seperti DPR. “Gubernur Bali beberapa kali mengatakan akan menutup kasus ini.  Termasuk di depan Komisi X. Dia berkali-kali mengatakan tunggu kajian Universitas Udayana. Kalau kajian menyatakan proyek ini tidak layak, akan menolak reklamasi.”

Namun, kala kajian Universitas Udayana menyatakan proyek ini tidak layak, Gubernur ingkar janji Dia mengeluarkan SK kedua dengan tetap membolehkan proyek reklamasi terus berjalan. “Jadi kami mengalami sikap penguasa inkonsisten, cenderung berbohong. Di lokal seperti itu, nasional membuat aturan perundang-undangan dan di bawahnya memobilisasi massa.”

Dua perempuan Bali menari dalam aksi teatrikal pada salah satu demonstrasi yang digelar ForBali di Geduung DPRD Bali pada awal Oktober lalu. Foto: Ni Komang Erviani.
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,