, , ,

Kearifan Masyarakat Adat Bulutana Menjaga Air dan Hutan

Siang itu, Kamis (13/2/14), matahari bersinar terik, namun udara tetap terasa dingin. Berkendara roda dua, kami memasuki kawasan adat Bulutana. Sebuah perkampungan di pegunungan Bawakaraeng, Kelurahan Bulutana, Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan (Sulsel). Hanya berjarak sekitar enam kilometer dari Malino, salah satu kawasan wisata alam tersohor di Sulsel.

Meski masih di sekitaran Malino, komunitas adat Bulutana kurang begitu dikenal. Orang-orang hanya mengenal air terjun Takapala atau Tangga Seribu, termasuk kawasan adat Bulutana ini.

Perjalanan menuju kawasan ini bukanlah perkara mudah. Jalan berkelok-kelok mendaki, dengan jurang menganga di kiri kanan jalan. Sebagian jalan masih pengerasan berbatu cadas.  Saat hujan, daerah ini lebih sulit dilalui dan harus ekstra hati-hati jika tak ingin tergelincir ke jurang.

Di sini, sepanjang hari terasa dingin. Ia berada di ketinggian 1.200 m dpl. Beberapa dusun sekitar, termasuk kawasan adat Bulutana, seperti Dusun Tappidi, di ketinggian 1.400 m dpl. Di lokasi ini, pemandangan indah, lembah  dan pegunungan hijau berikut sungai-sungai, terselimut kabut.

Ketika kami memasuki Butta Toa, kawasan adat utama Bulutana, suasana sangat sepi. Hanya beberapa orang lalu lalang, seperti baru pulang dari sawah. Pakaian penuh lumpur dan membawa cangkul.

Balla lompoa atau rumah besar, ini pertama kami datangi. Ia salah satu dari dua rumah utama dari komunitas ini. Balla berarti rumah, lompoa adalah besar. Rumah ini kediaman Gallarang, pemimpin eksekutif adat, posisi tepat di bawah Karaeng, sang pemimpin utama.

Muhammad Arief, Ketua Dewan Adat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kabupaten Gowa, juga salah satu tokoh adat Bulutana, mengatakan, galllarang, balla lompoa ini tak hanya tempat kediaman, juga pusat aktivitas ritual adat dan keagamaan masyarakat adat Bulutana.

“Di sinilah pusat berbagai macam ritual adat, maka disebut balla lompoa. Bangunan utama lain balla jambu, tempat kediaman Karaeng Bulu, yaitu pemimpin adat tertinggi di komunitas adat ini,” katanya.

Rumah ini terbuat dari kayu dan bambu. Meski terlihat sedikit reyok dengan cat mulai kusam dan terkelupas, namun sangat kokoh.

Umurnya diperkirakan ratusan tahun. Sebagaimana rumah adat Bugis–Makassar umumnya berbentuk rumah panggung. Bagian atas rumah sebagai lumbung beras, sekaligus tempat penyimpanan sejumlah pusaka adat yang masih tersisa, seperti parang, tombak, piring-piring tua, dan sejumlah perlengkapan ritual lain.

Balla Jambu, merupakan rumah kediaman pemimpin adat Bulutana, Karaeng Bulu,  ia memiliki nilai sakral tersendiri bagi warga. Umur rumah  diperkirakan ratusan tahun. Foto: Wahyu Chandra
Balla Jambu, merupakan rumah kediaman pemimpin adat Bulutana, Karaeng Bulu, ia memiliki nilai sakral tersendiri bagi warga. Umur rumah diperkirakan ratusan tahun. Foto: Wahyu Chandra

Komunitas adat ini satu dari puluhan dan mungkin ratusan yang masih tersisa di Kabupaten Gowa. Kabupaten Gowa dikenal memiliki banyak komunitas adat, beberapa bahkan di kawasan pegunungan sama.

Komunitas ini tersebar di tiga kelurahan atau desa di Tinggimoncong, masing-masing Kelurahan Bulutana, Pattapang dan Bontolerung. Ketiga daerah ini dulu satu kawasan disebut Bulutana, hingga dimekarkan beberapa tahun silam.

Salah satu ciri utama komunitas ini adalah gotong-royong mereka sangat tinggi. Arief mengatakan, Karaeng Bulu sebelumya dikenal dengan nama H.Ganju Karaeng Bulu, pemimpin adat Bulutana, sebagai pencetus istilah gotong-royong di Indonesia.

Sikap gotong royong ini, kata Arief, misal saat pencetakan dan pengelolaan sawah. “Biaya mencetak sawah mungkin sangat mahal di tempat lain. Di sini tak mengeluarkan biaya sepersen pun. Orang-orang saling membantu, termasuk dalam penyiapan makanan. Juga pengelolaan sawah, gotong royong sangat terasa.”

Komunitas ini juga dikenal karena kepedulian terhadap hutan dan sungai. Sebagai daerah pertanian, dengan hasil utama padi, kopi dan cengkih, ketergantungan mereka terhadap air sangat tinggi. Mereka pun menyadari, suplai air hanya tersedia memadai jika hutan terjaga, khusus di sekitar sungai.

Dalam sturktur adat, ada salah satu bagian khusus menangani pengairan, disebut pinati. Pinati ini memiliki banyak peran vital dalam kaitan ketersediaan dan distribusi air, termasuk menengahi konflik air antara petani. Pinati juga memiliki wewenang memutuskan sanksi bagi mereka yang melanggar hukum adat terkait air dan hutan.

Untuk menjaga agar hutan sekitar sungai tetap terjaga, komunitas ini memiliki cara unik, dengan menanami tanaman kopi atau tanaman perkebunan lain.“Dengan tanaman kopi dan tanaman lain, tak akan ada yang berani menebang pohon. Pasti mereka berpikir daerah dengan pohon-pohon itu pastilah dimiliki seseorang.”

Dalam pengelolaan hutanpun, mereka memiliki aturan tersendiri. Menebang pohon suatu yang sakral, baru bisa setelah mendapat izin dari Dewan Adat.

“Dalam permintaan izin ini harus disebutkan jumlah pohon yang akan ditebang. Kalau misal mereka meminta dua, hanya dua pohon yang boleh ditebang, tak boleh lebih.”

Bulutana juga memiliki kawasan hutan keramat bernama parangtajju. Di kawasan hutan ini seluruh aktivitas, selain ritual adat dan keagamaan, sangat dilarang. Tidak hanya menebang pohon, bahkan menanam pohon pun tidak diperkenankan. Termasuk terlarang membuang kotoran. Hutan ini dibiarkan tak tersentuh sedikit pun sejak dahulu kala, hingga tetap alami dan terjaga.“Tempat itu disucikan hingga tak ada najis sedikit pun bisa menyentuh.”

Di tempat itulah, biasa warga datang berdoa atau bernazar atau membayar nazar. “Mungkin dulu nenek moyang kami ada yang kebetulan berdoa di tempat itu dan langsung dikabulkan, hingga tempat itu dianggap sebagai tempat terbaik untuk berdoa,” katanya.

Meski ketersediaan air di Bulutana masih melimpah, di masa lalu, kata Arief, jauh lebih baik, ketika tanaman pinus belum masuk ke kawasan itu.“Sumber air mulai terasa berkurang seiring datang proyek penanaman pinus di kawasan ini sekitar 1970-an. Pinus ini kan dikenal sebagai tanaman rakus air.”

Rumah adat Bulutana, Balla Lompoa yang berarti rumah besar, masih kokoh berdiri hingga sekarang. Rumah ini  tempat kediaman Gallarang, sebagai pemimpin eksekutif adat, yang posisi tepat di bawah Karaeng, sang pemimpin utama. Foto: Wahyu Chanda
Rumah adat Bulutana, Balla Lompoa yang berarti rumah besar, masih kokoh berdiri hingga sekarang. Rumah ini tempat kediaman Gallarang, sebagai pemimpin eksekutif adat, yang posisi tepat di bawah Karaeng, sang pemimpin utama. Foto: Wahyu Chanda

Daerah Malino dan sekitar, termasuk beberapa kawasan Bulitana dikenal dengan pinus. Bahkan, ada dinamai Hutan Pinus, dan menjadi lokasi wisata alam yang ramai dikunjungi, khusus akhir pekan atau hari libur lain.

Keberadaan pinus di daerah ini juga kerap menimbulkan konflik antara Dinas Kehutanan dengan warga. Penebangan satu pohon pinus oleh warga segera berujung pada penangkapan, meski berada di lahan warga.

“Warga di sini takut menebang pinus meski itu tumbuh di lahan mereka. Bahkan ada warga yang segera mencabut pinus jika menemukan tumbuh tidak sengaja di lahan mereka. Takut bermasalah di kemudian hari.”

Ancaman lain, terkait ketersediaan air di Bulutana adalah terkait tingginya aktivitas kunjungan wisata akhir pekan di Malino. Ia memerlukan air cukup tinggi.

PDAM sudah kewalahan mensuplai air dan sempat berniat mengambil air dari Bulutana. “Dulu PDAM mau mengambil air dari sungai di Bulutana, langsung ditolak warga. Jika air kami diambil bagaimana kami bisa mengaliri lahan pertanian kami?”

Hutan terjaga dan ketersediaan air di sekitar Bulutana ini sangat berbeda dibanding kawasan lain di sana. Misal, di Bulubalea, Kanreapia, hanya berjarak delapan km dari Malino. Di Bulubalea, hampir seluruh lahan menjadi pertanaman berbagai hortikultura (sayuran).

Menurut Arief, kondisi alam di Bulubalea, sangat rusak akibat aktivitas pertanian hortikultura tinggi. Tak hanya daerah datar, hutan di atas gunung pun digunduli menjadi lahan tanam kentang, kol, sawi, bawang merah, dan sejumlah tanaman hortikultura.

“Setelah lahan tak lagi produktif, akan ditinggalkan begitu saja sebagai gundul. Mencari lahan baru, hutanpun mulai dibabat.”

Ada juga Balla Jambu. Ini rumah adat kediaman Karaeng Bulu. Dia merupakan otoritas tertinggi di komunitas Bulutana. Daeng Sikki, Ketua Rukun Keluarga, ditugaskan mendiami dan menjaga rumah ini. Karaeng Bulu lebih banyak di Sungguminasa, ibukota Kabupaten Gowa.

Karaeng Bulu sekarang adalah cucu Karaeng Bulu sebelumnya, H.Ganyu Karaeng Bulu. Proses pergantian Karaeng ataupun jabatan-jabatan adat bersifat Benteng Tatimpung, atau hanya bisa digantikan setelah yang bersangkutan meninggal.

Meski tak menetap di Bulutana, di waktu-waktu tertentu, Karaeng Bulu wajib datang memimpin ritual-ritual adat.

Sikki bercerita singkat tentang keberadaan balla jambu. Umur rumah ini diperkirakan ratusan tahun dan dibangun bersamaan dengan balla lompoa.

Ada yang menarik dari kedua rumah ini ada ukiran Toraja di tiang-tiang utama. Sikki maupun Arief memperkirakan, ada hubungan kekerabatan antara mereka dengan suku Toraja di masa lalu.

Menurut Sikki, kawasan Butta Toa, tempat mereka berdiam dulu salah satu benteng pertahanan Belanda.  Dari catatan Hariadi Siswantoro, dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sulsel, pada 1927, Gubernur Caron di masa Belanda, membangun pesanggrahan di Malino sebagai tempat peristirahatan para petinggi mereka. Di Malino ini pula, pada 1946, diselenggarakan konferensi Negara Indonesia Timur,  yang menggagas pemisahan diri dari Republik Indonesia. Ini sebagai politik adu domba kolonial Belanda.

Keberadaan Butta Toa ini sebagai benteng pertahanan Belanda dibuktikan dengan sebuah bunker pertahanan berisi meriam besar dengan moncong mengarah ke pusat Kota Malino.

Lokasi meriam ini berada di tepi jurang dan tertutupi semak belukar, dengan kondisi yang sudah tidak utuh lagi. Sebagian besar bagian telah dicabuti warga dan dijual.

Lahan pertanian masyarakat Bulutana yang dikerjakan dengan gotong royong dengan tetap menjaga kawasan hutan. Foto: Wahyu Chandra
Lahan pertanian masyarakat Bulutana yang dikerjakan dengan gotong royong dengan tetap menjaga kawasan hutan. Foto: Wahyu Chandra

Kami juga bertemu Bahtiar Daeng Dolla, pemuka adat Bulutana. Dalam stuktur adat, Daeng Dolla sebagai salah seorang Bakulompoa atau Majelis Adat. Bakulompoa inilah memiliki wewenang besar mengangkat Karaeng ataupun Gallarang dan pemangku adat lain.

Dia mengatakan, jika stuktur pemerintahan sekarang Bakulompoa ini bisa disamakan dengan Majelis Perwakilan Rakyat (MPR). Dalam stuktur adat berada di bawah Karaeng ataupun Gallarang, namun memiliki wewenang besar dalam mengangkat atau memecat mereka.

Struktur adat Bulutana memiliki 12 perangkat adat, hingga komunits ini dikenal Adat 12. Konon Adat 12 ini pertama kali disusun Karaeng Bulu pertama, ratusan tahun silam.

Karaeng Bulu pertama ini, salah seorang dari sembilan adat utama yang membentuk Kerajaan Gowa, dikenal dengan istilah Batesalapang. Karaeng Bulu pertama kali di Bulutana adalah perintah dari Karaeng Gowa untuk membangun benteng di daerah itu.

“Itulah kenapa tempat ini disebut Bulutana berarti tempat atau tanah milik Karaeng Bulu. Setelah ditugaskan di sini, Karaeng Bulu memutuskan menetap dan membentuk masyarakat sendiri,” kata Dolla.

Stuktur adat yang terlembagakan dalam 12 bersifat fungsional, selain mengatur tatanan sosial masyarakat, juga berperan pada setiap ritual. Tiga posisi utama dalam adat adalah Karaeng, Gallarang dan Bakulompoa.

Dalam Adat 12 ini dikenal jabatan adat Pang’ Erang (bukan Pangeran), berfungsi sebagai penjemput tamu dalam setiap ritual. Ada juga appamama atau pengatur rumah tangga kerajaan, yang mengurus segala kebutuhan logistik ritual. Terdapat pula palekka sempe’, bertugas mengatur dan menyiapkan piring-piring dalam setiap pergelaran ritual adat.

Untuk urusan pengairan dijabat oleh Pinati. Dikenal pula Pamenca’ pellengngu bertugas membawa tombak kerajaan. Ada juga Sanro atau dukun adat, biasa berperan menyiapkan ritual dan memimpin doa-doa. Penabuh gendang juga memiliki peran adat, disebut Pagganrang.

Ketika ada warga yang meninggal berita ini wajib disampaikan langsung ke Karaeng dan Gallarang. Penyampai pesan ini juga termasuk dalam Adat 12 ini, dikenal dengan jabatan Mare-mare. Ada dua orang untuk jabatan ini. Ada Mare-mare khusus menyampaikan pesan ke Karaeng, ada juga ke Gallarang. Pergantian seluruh jabatan adat ini juga berifat Benteng Tatimpung.

Pemetaan Partisipatif

Komunitas adat Bulutana saat ini dalam proses pemetaan partisipatif, difasilitasi AMAN Sulsel. Sekitar 20 warga terlibat dalam workshop pemetaan, dari 13–14 Februari 2014. Mereka diajarkan mengenal peta dan tata ruang serta simulasi pemetaan di sekeliling desa. Proses pemetaan baru beberapa bulan lagi.

Sardi Razak, Ketua AMAN Sulsel berharap, hasil pemetaan partisipasi warga ini makin memperkuat posisi tawar mereka ketika berhadapan dengan Dinas Kehutanan. “Mereka akan punya acuan dan posisi kuat. Apalagi dengan Keputusan MK yang makin memperkuat posisi mereka dalam pengelolaan hutan.”

Lahan pertanian masyarakat adat Bulutana. Foto: Wahyu Chandra
Lahan pertanian masyarakat adat Bulutana. Foto: Wahyu Chandra
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,