,

Perburuan Hiu dan Lumba-lumba Menggila di Tanjung Luar

Perburuan hiu, pari manta dan lumba-lumba di Tanjung Luar, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) menggila. Bahkan, di daerah ada tempat pelelangan ikan (TPI) hiu.  Lumba-lumba dibantai dan menjadi umpan hiu. Populasi mereka makin terancam.

Pramudya Harzani, Dewan Pengawas Jakarta Animal Aid Network (JAAN),  mengatakan, pasar ikan di Tanjung Luar, khusus menjual dan pelelangan hiu.  “Mau dari Sulawesi, Flores atau wilayah lain kapal-kapal merapat ke Tanjung Luar untuk dropping hiu,” katanya di Jakarta, Jumat (14/2/14).

Dia mengatakan,  di Tanjung Luar,  ada kelompok masyarakat yang mempunyai jaringan ke Surabaya, Jakarta, Bali bahkan Hongkong dan China. “Eksploitasi hiu market terbesar China. JAAN investigasi soal penjualan hiu di Tanjung luar selama dua tahun. Kita mencoba menghitung yang resmi masuk ke pelelangan ikan.”

Di luar itu, ada penjualan hiu  tetapi ukuran tak sesuai kriteria hingga tidak masuk TPI. Yang masuk ke TPI, katanya, hanya ukuran satu sampai empat meter.

Selama 2012,  ada 3.036 hiu masuk ke TPI, dengan nilai transaksi keuangan Rp1.342.010.000, tahun 2013 ada 2.527 hiu masuk, nilai transaksi Rp1.114.780.000.  “Kalau hiu di bawah satu meter masuk data, angka sangat fantastis! Yang dijual hiu potensial, banyak betina hamil,  dan usia produktif tapi sudah ditangkap dan dijual,” ucap Pram.

Menurut dia, transaksi keuangan dari penjualan hiu tak sebanding dengan kerugian. Ada 5.000 penduduk di Tanjung Luar, sebagai nelayan. Uang hasil segitu tidak membuat mereka sejahtera. “Makin lama, populasi hiu kian berkurang. Kini mereka harus berlayar hingga ke Australia untuk mendapatkan hiu.”

Ada sekitar 70 kapal aktif di sana. Jumlah ini signifikan menghabiskan populasi hiu. “Mekanisme pasar di Tanjung Luar sudah terbentuk sejak 30 tahunan, pasar sempit. Hanya orang-orang tertentu saja bisa mengikuti pelelangan di sana. Orang baru tidak bisa masuk,” kata Pram.

Dari sekitar 470 jenis hiu di dunia, 117 jenis ada Indonesia. Ini kekayaan yang harus dilestarikan.

Pembantaian Lumba-lumba

Femke Den Haas, Wildlife and Marine Protection JAAN, mengatakan, soal perburuan hiu sudah menyebar kemana-mana. Hanya saja, orang tidak tahu disana juga ada pemburuan lumba-lumba. Kata Femke, di Tanjung Luar, lumba-lumba ditangkap,  dibantai dan darah disebarkan ke laut sebagai umpan hiu.

“Ini sebenarnya isu lama. Kita sudah menyelidiki dua tahun dan menjadi isu internasional. Termasuk jadi perhatian lembaga interansional Eart Island Intitute yang bertanggungjawab atas pelabelan Dolphine Save.”

Dolphine save adalah pelabelan yang mengizinkan industri tuna ekspor ke berbagai negara seperti Amerika atau Eropa.  Dolphine Save mengharuskan pelaku industri tuna ramah pada populasi lumba-lumba. Tanpa ada, label ini, banyak negara akan menolak.

“Dolphine Save di Indonesia goyang hanya karena satu tempat yaitu Tanjung Luar.  Dimana lumba-lumba ditangkap dan dibantai hanya untuk umpan  hiu. Jadi korban dobel. Lumba-lumba jadi korban, hiu juga.”

Mekanisme pasar di TPI Tanjung Luar. Sumber: JAAN cs
Mekanisme pasar di TPI Tanjung Luar. Sumber: JAAN cs

Industri tuna Indonesia juga goyang karena ada isu ini. Sebab, industri tuna sangat tergantung Dolphine Save. “Maka kami melaporkan, sudah rapat dengan Kementerian Perikanan. Harapan ada tindak lanjut aupaya tidak terjadi lagi. Kita menunggu dua tahun, tapi aksi benar-benar belum ada”

Di Indonesia, katanya, belum ada pembatasan ekspor hiu. Keadaan ini memicu penangkapan hiu marak diikuti pengawasan sangat lemah bahkan tidak ada.

Tahun 2012, pemerintah Indonesia berjanji memberikan bantuan kepada nelayan di Tanjung Luar untuk mendapatkan pencaharian alternatif selain berburu hiu.  Namun, tak ada realiasi hingga kini.

Alternatif Mata Pencaharian

Delphine Robbe, Koordinator Gili Eco Trust, mengatakan, sebenarnya keuntungan nelayan jauh lebih tinggi jika memanfaatkan potensi alam untuk ecotourism.

“Banyak wisatawan mancanegara berani membayar mahal untuk menyelam di perairan laut Indonesia dengan harapan bisa melihat hiu dan pari manta.”

Menurut Delphine, nelayan di Tanjung Luar, sangat memprihatinkan meskipun ada pihak yang ingin membantu, tetapi tak bisa berhenti memancing hiu.

“Di sana ada mafia.  Mereka sudah terlanjur terlilit utang kepada mafia. Mereka tidak bisa berhenti memancing hiu. Cicilan utang mereka dibayar dengan hiu.”

Padahal, jika bisa menggarap jadi obyek wisata, keuntungan jauh lebih menjanjikan. Dia mencontohkan,  warga Lombok kini banyak berdatangan ke Gili bekerja di sektor wisata. “Penghasilan mereka jauh lebih besar.”

Alternatif lain, dengan mendorong masyarakat di Tanjung Luar memulai budidaya perikanan atau membuka dive shop. Bisa juga menyewakan kapal mereka kepada wisatawan.“Kita ada dana, tapi tak bisa begitu saja keluarkan karena mereka masih di dalam mafia atau sistem perdagangan hiu. Kita minta tolong pemerintah atau yayasan lain supaya bisa mendapat proyek baru untuk Tanjung Luar.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,