,

Tewasnya Warga SAD: Komnas HAM Investigasi, Greenpeace Desak Wilmar Setop Beli Sawit Ganda

KPA menilai tewasnya warga Suku Anak Dalam di tangan aparat TNI dan sekuriti perusahaan sawit sebagai bukti pemerintah abai melindungi warga.

Konflik Suku Anak Dalam (SAD) dan perusahaan sawit, PT Asiatic Persada (AP), anak usaha Ganda Group, menelan korban jiwa. Pada 5 Maret 2014, Pujiono (40), seorang petani SAD tewas dan lima warga lain luka-luka karena dianiaya aparat TNI dan sekuriti AP.  Menyikapi kasus ini, awal pekan depan, Komnas HAM akan investigasi ke lapangan.

“Kami sedang siapkan (turun lapangan). Kami upayakan turun lapangan bersama Kompolnas, LPSK dan Ombudsman RI,” kata Sandra Moniaga, Komisioner Komnas HAM kepada Mongabay, Kamis (6/3/14).

Greenpeace pun mengutuk aksi kekerasan aparat TNI dan sekuriti AP serta meminta Wilmar berhenti membeli sawit dari konsesi Ganda. Greenpeace juga mendesak pemerintah menginvestigasi kasus ini hingga tuntas.

“Greenpeace meminta Ganda Group dan Wilmar segera menanggapi cepat peristiwa tragis ini dan memastikan proses memadai untuk penyelesaian konflik ini,” kata Annisa Rahmawati, Jurukampanye Hutan Greenpaece Asia Tenggara, Jumat (7/3/14).

Ganda, katanya,  memiliki hubungan perdagangan dekat dengan Wilmar, begitu juga hubungan pribadi dengan si pemilik,  Martua Sitorus. AP dimiliki Wilmar hingga Maret 2013 dan dijual ke Ganda Group.

“Kami mendesak Wilmar berhenti membeli dari konsesi apapun di bawah Ganda Group sampai batas waktu tertentu. Juga mendesak pemerintah  investigasi tuntas.”

Menurut Annisa, sawit yang berasal dari perusahaan terkait praktik jahat seperti ini seharusnya tidak boleh masuk ke pasar.

“Kami menyampaikan belasungkawa kepada keluarga korban dan masyarakat. Kami khawatir kematian tragis ini merupakan kulminasi hubungan antara banyak tindakan merusak lingkungan dan sosial dengan grup Ganda,” ucap Annisa.

Masyarakat SAD, katanya,  berjuang mendapatkan pengakuan hak atas lahan mereka selama lebih dua dekade. Ganda, pemilik konsesi saat ini, mempunyai rekam jejak masalah lingkungan dan sosial di dalam konsesi perkebunan sawit mereka. “Operasi perusahaan seperti ini, memberikan reputasi negatif terhadap sawit Indonesia.”

Dia mencontohkan,  sejak awal 2014, peta satelit NASA mendeteksi 63 titik api di konsesi lahan gambut milik grup ini di Kalimantan. Perusahaan ini juga beroperasi lahan gambut dalam dan membuka hutan alam di Papua.

Kondisi di tenda pengungsian Suku Anak Dalam. Foto: Perkumpulan Hijau

Pemerintah dan Negara Abai Lindungi Warga

Sementara itu, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai, petani tewas dan luka-luka ini wujud kelalaian pemerintah melindungi warga. “Negara abai, bahkan aparat yang seharusnya menjadi garda terdepan melayani rakyat justru menjadi pelopor menggusur warga SAD,” kata Iwan Nurdin, Sekretaris Jenderal KPA dalam pernyataan kepada media.

Dia mengatakan, pengusutan kasus penggusuran atas 3.000 warga SAD sejak 7 Desember 2013 belum tuntas, sudah ditambah jaminan keamanan dan perlindungan negara terhadap warga absen.

Iwan mengatakan, berbagai cara penyelesaian sengketa antara warga SAD dan AP telah ditempuh, tetapi tak menemui jalan keluar yang memenuhi rasa keadilan. “Kini upaya penyelesaian konflik agraria runtuh, karena lahir korban jiwa dari petani SAD.”

KPA pun menuntut, menangkap dan mengadili pelaku kekerasan, penculikan dan penggusuran terhadap SAD di Jambi, serta mengembalikan lahan yang selama ini diklaim AP. “Pulihkan hak atas tanah SAD, jamin keselamatan dan keamanan SAD dari segala ancaman penggusuran, pengusiran dan kekerasan,” ujar dia.

KPA mendesak, pelaksanaan reforma agraria demi penyelesaian konflik yang banyak menimbulkan korban jiwa dan menyengsarakan kaum tani, buruh dan nelayan.

Perampasan tanah, dan kekerasan terhadap SAD di Jambi berlangsung sejak 7 Desember 2013 hingga Maret 2014. Sekitar 700 rumah gubuk SAD sudah dihancurkan aparat keamanan dan perusahaan sawit AP.  Sekitar 3000 jiwa lebih warga SAD sejak itu terusir dari tanah mereka dan tak bisa pulang.

Pada 8 Januari 2014, ribuan pengungsi SAD pernah diusir dari kantor Pemprov Jambi. Syahrasadi, Sekretaris Daerah Jambi, kala itu mengatakan,  memberi waktu 3 x 24 jam bagi warga SAD yang berunjuk rasa segera meninggalkan Jambi.

Pemprov mengklaim akan evaluasi. “Ini sudah berlarut-larut. Sudah meresahkan masyarakat Jambi dan aparat penegak hukum secara keseluruhan. Kami meminta Pemkab Batanghari menjemput warga ke sini. Apabila tidak ditaati, kami serahkan kepada aparat TNI dan Polri untuk mengambil tindakan.”

Pada 22 Februari 2014, ribuan SAD pun kembali ke lahan adat mereka di Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Batanghari. Namun, di sana mereka dihalangi ratusan pasukan gabungan TNI dan Polri di jalan masuk menuju lokasi tanah adat.  Merekapun mendirikan tenda di pinggir jalan dusun Sosial I, II, dan Bungku.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,