,

Gubernur se-Sumatera Berencana Ajukan Gugatan ke MK untuk Kejelasan Pembagian CPO Sawit

Keberadaan Perusahaan Sawit dan Industri Pengolahan CPO dinilai tidak cukup beri pendapatan bagi daerah

Perkebunan sawit dinilai merugikan banyak daerah di Indonesia. Selain menghabiskan hutan, yang menyebabkan kehancuran keragaman hayati, meningkatkan emisi karbon, menyebabkan konflik lahan, ternyata industri pengolah minyak  sawit atau crude palm oil (CPO) dinilai tidak memberikan pendapatan bagi pemerintah daerah.

Terhadap hal tersebut, para gubernur di Sumatra berencana melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar daerah mendapatkan pembagian yang jelas dari hasil penjualan minyak mentah kelapa sawit atau crude palm oil (CPO). Mereka akan menggugat UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Junaidi Hamsyah, Gubernur Bengkulu, mengungkapkan hal tersebut, Minggu (23/3/2014), seperti dikutip dari Sriwijaya Post

“Ide ini awalnya dari masing-masing Gubernur di Pulau Sumatera menyurati Menteri Keuangan, mohon kompensasi dari perusahaan crude palm oil (CPO). Tapi ditolak Menteri Keuangan [karena] tidak ada sumbangan dari pihak ketiga,” kata Junaidi.

Terhadap penolakan tersebut, sebagai solusinya, seluruh gubernur se-Sumatera berkumpul membahas bagaimana caranya daerah mendapatkan bagian dari CPO. “Lewat pengajuan gugatan UU ke MK,” katanya.

Para gubernur ini berencana menggugat UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. UU mengenai aturan dana bagi hasil sumber daya alam. Yang mana di dalam undang-undang tersebut tidak memasukkan sub-sektor perkebunan, termasuk minyak mentah sawit atau CPO.

Junaidi juga berharap gugatan ini akan mendapatkan dukungan dari para gubernur di Pulau Kalimantan, yang mengalami persoalan serupa terkait CPO.

Penyiapan lahan untuk perkebunan sawit. Foto: Aji Wihardandi

Kaya Kebun Tetapi Masih Menjadi Propinsi Miskin

Dari luas Sumatra Selatan sekitar 8,7 juta hektar, sekitar 1 juta hektar digunakan sebagai lahan perkebunan sawit. Dengan luasan lahan sawit sebesar itu, ternyata masyarakat Sumatera Selatan tidak berubah menjadi lebih makmur. “Berdasarkan data tahun 2010 lalu, Sumsel masuk dalam 10 provinsi miskin di Indonesia,” kata Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel Hadi Jatmiko, Senin (24/3/2014).

“Lebih baik lahan yang digunakan untuk perkebunan sawit tersebut dikembalikan menjadi hutan, dan sebagian dijadikan perkebunan pangan, yang jelas akan memberikan dampak yang baik bagi masyarakat dan pemerintah,” kata Hadi.  Melanjutkan pernyataannya, Hadi menyebutkan langkah mengajukan gugatan ke MK dinilai tidak akan efektif karena karakter perusahaan sawit di Sumatera umumnya ekpansif lahan bukan berusaha untuk meningkatkan produktivitas lahan untuk meningkatkan produksi CPO.

“Langkah yang benar, cabut izin dan operasional perusahaan perkebunan maupun pabrik CPO yang bermasalah,” ujarnya.

Konflik sosial perkebunan sawit. Warga delapan desa di Kalimantan Tengah, protes lahan mereka yang diklaim perusahaan sawit. Mereka memblokir jalan masuk ke perusahaan. Foto: Save Our Borneo

Kembalikan Tanah Adat

Salah satu konflik masyarakat dengan perusahaan sawit yang sampai saat ini yang cukup memprihatinkan, apa yang dialami oleh masyarakat adat Tungkalulu yang menetap di Desa Simpang Tungkal dan Desa Peninggalan, Kecamatan Tungkaljaya, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumsel.

Sebab sebanyak 18 ribu warganya kehilangan lahan untuk bertani, dan sebagian kehilangan rumah. Sekitar 20 ribu lahan pertanian milik warga, yang merupakan tanah adat, diambil oleh PT Sentosa Mulia Bahagia (SMB) dan Kawasan Hutan Margasatwa Dangku.

Konflik terjadi pada tahun 2006. Aparat kepolisian mengusir warga yang berada di perkebunan, dan membongkarf semua rumah warga yang berada di lahan konflik .

“Banyak warga stres. Bahkan ada yang bunuh diri akibat stres. Jatuh sakit kemudian mati. Puluhan warga dipenjarakan,” kata Muhammad Nur Djakfar, tokoh masyarakat adat Tungkalulu, Senin (24/3/2014).

Saat ini sebagian warga bertahan hidup menjadi buruh perkebunan sawit dengan gaji sekitar satu juta rupiah per bulan. “Kehidupan mereka sangat miskin. Hampir semua anak mereka tidak sekolah,” kata Nur.

“Jika memang keberadaan perusahaan CPO itu tidak menguntungkan pemerintah, ya, sebaiknya hentikan saja semua operasional perkebunan sawit dan kembalikan tanah adat kami. Apalagi Keputusan MK No.35 mengatakan tanah adat bukan tanah negara,” ujar Nur.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,