Walhi: Penahanan Aktivis Anti-Reklamasi Langgar Undang-Undang

Sejak adanya proses hukum terhadap empat pejuang lingkungan hidup Sidakarya pada awal Maret 2014 lalu oleh Polda Bali atas laporan dari Gubernur Bali, ternyata hal ini mendapat respon cepat dari lembaga-lembaga masyarakat sipil yang konsen akan persoalan lingkungan dan Hak Asasi Manusia.

Direktur WALHI Bali, Suriadi Darmoko kepada Mongabay-Indonesia menyampaikan, berdasarkan surat dan rilis yang ditembuskan ke Walhi Bali, setidaknya ada tiga organisasi nasional yang selama ini dikenal sangat konsen dan berpengaruh dalam hal-hal kebijakan hukum dan hak asasi manusia termasuk Lingkungan hidup di Indonesia memberi respon cepat atas kasus penangkapan aktivis lingkungan di Bali yang memperjuangkan lingkungan. Dukuungan di dapat dari NGO IHCS (Indonesian Human Right Committee for Social Justice), WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) dan KontraS (komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan).

“Tidak hanya itu, 27 organsisasi WALHI Se-Indonesia juga memberikan respon cepat atas  kasus kriminalisasi empat pejuang lingkungan tersebut” ungkap Suriadi.

IHCS dalam rilis dukungannya yang disampaikan oleh wakil ketua IHCS, Ridwan Eharmawan, SH menyatakan penahanan empat pejuang lingkungan dinilai memprihatinkan, padahal dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup sangat jelas dicantumkan, jaminan imunitas (kekebalan Hukum) bagi setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara Pidana dan digugat secara Perdata sebagaimana termaktub dalam Pasal 66 UU tersebut. Pun demikian, Pasal 70 ayat (1), (2) dan (3) yang menjelaskan tentang jaminan seluas-luasnya bagi Hak dan Kesempatan Masyarakat berperan serta dalam pengelolaan lingkungan hidup, lengkap dengan bentuk-bentuk peran dan fungsinya.

Hutan mangrove di Tanjung Benoa ini akan terancam hilang jika reklamasi dilakukan. Foto: Tommy Apriando.
Hutan mangrove di Tanjung Benoa ini akan terancam hilang jika reklamasi dilakukan. Foto: Tommy Apriando.

“Kami serukan kepada Kepolisian Daerah Bali, segera membebaskan para pejuang Lingkungan Hidup Bali secepatnya, karena apa yang dilakukan masyarakat Bali menolak reklamasi Teluk Benoa cermin ketaatan warga negara kepada hukum dan peraturan perundang-undangan khususnya UU No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang didalamnya juga menjamin Imunitas bagi mereka,” ujar Ridwan Dharmawan,SH.

Begitu juga WALHI Nasional. Dalam surat bernomor 191/DE/WALHI/III/2014 perihal desakan pembebasan empat pejuang lingkungan hidup di Bali, yang ditandatangani Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Nasional WALHI menyatakan memberikan perhatian khusus atas penahanan terhadap I Wayan Tirtayasa, I Wayan Saniyasa, I Wayan Adi Jayanatha dan I Made Murdana yang di kriminalisasi.

“Penolakan reklamasi oleh masyarakat Sidakarya sungguh beralasan jika melihat pada proyek-proyek reklamasi sebelumnya, seperti proyek reklamasi di antaranya: (1) Pulau Serangan Bali, (2) Teluk Manado, (3) Teluk Jakarta yang telah berdampak pada kerusakan lingkungan hidup, pencemaran laut, kerusakan pantai dan telah menyebabkan bencana banjir, abrasi dan krisis air bersih” ungkap Abetnego dalam surat desakannya.

“Eksekutif Nasional WALHI memprotes keras Kepolisian Republik Indonesia Daerah Bali (Polda Bali) yang melakukan kriminaslisasi terhadap empat pejuang lingkungan hidup di Bali”, tambah Abetnego.

WALHI nasional beserta 27 pimpinan wilayahnya yang tersebar di Indonesia juga melayangkan protes kepada Kapolri Jenderal Polisi Sutarman. Dalam surat dengan nomor Istimewa perihal desakan pembebasan empat pejuang lingkungan hidup di Bali, WALHI seluruh Indonesia mengemukakan bahwa dalam konteks hukum, pihaknya menilai bahwa tindakan kriminalisasi terhadap orang-orang yang berjuang untuk tujuan memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dapat dituntut secara perdata maupun pidana. Hal ini termuat dalam dalam UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 66.

Ditegaskan oleh Abetnego “Eksekutif Nasional Walhi beserta seluruh eksekutif daerah Walhi di seluruh Indonesia memprotes keras kepolisian republik indonesia yang melakukan kriminalasasi terhadap empat pejuang lingkungan hidup di Bali”.

Pada surat yang telah dikirim melalui faksimili pada tanggal 17 Maret 2014 dan dikirim secara langsung dan juga pos pada 21 Maret 2014 kepada Kapolri dan Kapolda Bali, surat yang ditandatangani oleh Eksekutif Nasional WALHI beserta 27 Eksekutif Daerah WALHI di seluruh Indonesia menyatakan memprotes keras Kepolisian Republik Indonesia yang melakukan kriminaslisasi terhadap empat pejuang lingkungan hidup di Bali.

WALHI menuntut agar empat pejuang lingkungan hidup dibebaskan tanpa syarat dan meminta Kepolisian Republik Indonesia menghormati dan menghargai hak-hak warga Negara dalam mendesakan kepentingan lingkungan hidup sebagaimana dilindungi oleh undang-undang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.

Sementara itu, KontraS melalui surat terbuka No: 142/SK-KontraS/III/2014 tentang penghentian proses pidana dan perlindungan hak atas ekonomi, sosial, dan lingkungan baik bagi masyarakat di sekitar Teluk Benoa, Bali yang dilayangkan kepada Kapolda Bali. Surat tersebut ditandatangani langsung oleh Ketua KontraS Jakarta, Haris Azhar.

Menurut Haris Azhar, penangkapan yang tidak disertai dengan surat penangkapan adalah bentuk penangkapan sewenang – wenang yang bertentangan dengan Pasal 18 ayat [1] KUHP, dan merupakan pelanggaran HAM sebagaimana diatur dalam dan hukum. Tindakan ini bertentangan dengan Pasal 9 ayat [1] dan [2] Kovenan Hak Sipil Politik yang telah diratifikasi pemerintah ke dalam UU No 12 tahun 2005, dan pasal 34 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, serta Pasal 15 ayat [1] Perkap No 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

KontraS mengkhawatirkan penangkapan yang tidak disertai dengan surat penangkapan adalah bentuk penangkapan sewenang – wenang yang bertentangan dengan Pasal 18 ayat [1] KUHP, dan merupakan pelanggaran HAM. Tindakan ini bertentangan dengan Pasal 9 ayat [1] dan [2] Kovenan Hak Sipil Politik yang telah diratifikasi pemerintah ke dalam UU No 12 tahun 2005, dan pasal 34 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, serta Pasal 15 ayat [1] Perkap No 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Haris menegaskan penangkapan terhadap I Wayan Tirtayasa dkk adalah upaya kriminalisasi untuk membungkan suara kritis masyarakat dalam mempertahankan hak – haknya atas tanah, air, dan lingkungan yang sehat, lebih jauh penangkapan ini juga menunjukan pembungkaman kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, sebagaimana diatur dalam Pasal 28E ayat [3], Pasal 14 ayat [2] UU No 39 tahun 1999 tentang HAM, Pasal 19 ayat (1) dan (2) Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik”

Untuk itu KontraS mendesak Kapolda Bali menghentikan segera proses pidana terhadap Saudara I Wayan Tirtayasa dkk.

“Mendesak Polda Bali untuk bersikap netral dalam permasalahan ini, dengan mengedapankan hajat hidup orang banyak atas lingkungan yang baik di Bali, ketimbang dengan pengaduan pihak – pihak yang telah mengeluarkan kebijakan yang tidak sesuai dengan UU dan kepentingan masyarakat di Bali, khususnya di sekitar Teluk Benoa,” kata Haris dalam surat terbukanya.

“Tidak hanya itu, Kontras juga meminta Kapolda menindak tegas anggota kepolisian yang melakukan penangkapan terhadap yang bersangkutan tanpa memberikan surat penangkapan, dengan melakukan mekanisme internal di Kepolisian”

Direktur Eksekutif Walhi Bali, Suriadi Darmoko menambahkan, bahwa masih banyak lembaga-lembaga sipil di Indonesia yang menyatakan keprihatinannya dan segera akan melayangkan protes atas peristiwa kriminalisasi pejuang lingkungan hidup dari Sidakarya ini. Bahkan beberapa organisasi mengatakan akan menggunakan mekanisme internasional dalam menyikapi persitiwa ini.

“Beberapa organisasi sipil di Indonesia menghubungi Walhi dan menyatakan keprihatinannya, mereka akan segera melayangkan nota protes dan bahkan akan menempuh upaya pengaduan dengan mekanisme internasional,” tutup Suriadi.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,