Konservasi Mangrove Balikpapan dan Keseimbangan Ekspansi Pembangunan

Upaya konservasi mangrove diakui menjadi dilema tersendiri di tengah geliat industri pembangunan. Hal ini diungkapkan Dirjen Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial, Kementerian Kehutanan, IB Putera Parthama, PhD, usai pembukaan workshop AMNET di Hotel Gran Senyiur, Balikpapan,  beberapa waktu lalu.

“Soal mangrove ini memang selalu ada dua sisi yang berlawanan. Di satu sisi kita perlu community development yang sedikit mengorbankan fungsi ekologis, tapi di sisi lain kita juga nggak mau kepentingan ekologis ini benar-benar terkorbankan,” ujarnya.

Putera mengatakan, pihaknya tidak pernah mengharamkan pembangunan infrastruktur berjalan. Namun hal itu harus terencana, tidak liar seperti yang terjadi di banyak daerah. “Untuk pengembangan infrastruktur saya kira ada jalan tengah. Bagimana kita menyeimbangkan pembangunan tersebut harus green,” terangnya.

Salah satu contohnya, kata Putera, seperti proyek pembangunan jalan tol Mandara di Bali. Pembangunan jalan tol di atas laut tersebut menurutnya telah sesuai dengan visi go green, tanpa mengabaikan ekosistem mangrove di sekitarnya.

“Jadi proyeknya tolnya jalan, mangrovenya juga jalan. Sebenarnya bisa dicari kompromi itu, yang penting harus terencana, misalnya dari sekian mangrove yang ada berapa yang boleh dialokasikan untuk itu. Kan nggak boleh juga kita menghambat pembangunan. Yang penting harus ada penanaman kembali,” jelasnya.

Salah satu kunci untuk mengontrol pembangunan adalah dengan pemberian izin Amdal. Pemerintah Daerah, kata Putera, tidak boleh asal-asalan dalam memberikan izin Amdal. Kemudian bagaimana perusahaan membuat komitmen untuk tetap menjaga dan melestarikan lingkungan di sekitarnya. “Tiap perusahaan itu kan ada Amdal, nah izin itu harus beneran, jangan asal-asalan,” tandasnya.

Lembaga Jepang, JICA diakui telah berkontribusi dalam membuat master type mangrove yang dihasilkan di Bali. Tadinya kawasan pantai Bali hancur akibat tambak, kemudian secara perlahan dipulihkan dengan bantuan dari JICA.

“Sekarang kawasan pesisir di sana (Bali) sudah jadi hutan lagi. Itu bisa dilakukan asal ada komitmen dan ada uang. Nah JICA di sini mensupport dananya. Tapi saya nggak tahu berapa jumlahnya,” kata Putera.

Kepala Perwakilan Kantor JICA Indonesia Arai Yuki, secara singkat mengatakan bahwa kerjasama yang sudah terjalin selama 20 tahun lebih itu sudah cukup baik. Namun dia tidak mengingat berapa banyak anggaran yang telah dikucurkan untuk konservasi mangrove di Indonesia.

Industri yang terus mengancam keberadaan mangrove di Balikpapan. Foto: Hendar
Industri yang terus mengancam keberadaan mangrove di Balikpapan. Foto: Hendar

“Yang pasti kesuksesan pengelolaan konservasi mangrove di Bali itu bisa jadi contoh bagi daerah lain. Memang kita belum ada program untuk di Kaltim, tapi ke depan bisa diupayakan,” ujarnya.

Terpisah, Asisten II Setkot Balikpapan Sri Sutantinah, menjamin pemerintah kota tetap komitmen dalam melestarikan kawasan mangrove. Meski juga tidak menutup mata terhadap pembangunan yang sedang dan akan berjalan.

“Industri butuh area, tapi kelestarian lingkungan juga perlu diperhatikan. Jadi, antara ekosistem dengan insdutri harus tetap bersinergi. Tidak boleh yang satu mengalahkan yang lain, semua kita kembali lagi pada hakekat hidup manusia, perlu keseimbangan,” ujar wanita yang akrab disapa Tantin ini.

Dengan keseimbangan tersebut, sejatinya tidak boleh ada efek samping dari kegiatan pembangunan. Pemkot Balikpapan, kata Tantin, sudah mengaturnya melalui Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

“Aturan kita sudah jelas tertuang di RTRW, bahwa di situ tetap ada kawasan budidaya yang dipertahankan. Jadi aktivitas nelayan tetap akomodir dan kelangsungan ekosistem laut juga tetap terjamin. Ini salah satu konsep keseimbangan yang kita terapkan,” pungkasnya.

Balikpapan Segera Siapkan Perda Kawasan Konservasi Daerah

Luasnya lahan hutan mangrove yang ada di teluk Balikpapan hingga mencapai 3000 hektar, mengakibatkan perlindungan atas kawasan tersebut semakin rentan atas pemanfaatan kawasan. Untuk itu pemerintah Kota Balikpapan akan mempersiapkan peraturan untuk mencegah kehancuran mangrove dalam bentuk peraturan daerah (perda) kawasan konservasi daerah.

Hal ini dikatakan Walikota Balikpapan Rizal Effendi saat di temui usai mengunjungi mangrove center Graha Indah Balikpapan Barat bersama Menteri Lingkungan Hidup Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, M.B.A, di Mangrove Center Graha Indah beberapa waktu lalu.

“Tentu arah kita akan membuatkan peraturan tersendiri untuk melindungi Mangrove yang ada di teluk Balikpapan, hal ini akan merupakan potensi yang baik, dan tentunya harus kita jaga mangrove ini, sehingga nantinya mangrove ini perlu kita lindungi,” kata Rizal.

Ditambahkannya, pemerintah kota akan secepatnya akan melakukan pengkajian mengenai recana peraturan tentang penyelamatan mangrove tersebut. “Kami akan melakukan kajian, meski telah ada perwali namun hal tersebut perlu di pertegas lagi,” ujar Rizal

Sementara itu Menteri Lingkungan Hidup Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, M.B.A, mendukung atas rencana Walikota Balikpapan untuk mengeluarkan Peraturan Daerah mengenai konservasi Mangrove di Kawasan Kota Balikpapan. “Kami kementerian tentunya akan mendukung pemerintah kota untuk secepatnya membuat perda Peraturan Daerah mengenai Kawasan Konservasi Daerah, kami akan dorong pemerintah daerah tenang peraturan tersebut.

Hal senada juga dilontarkan Agus Bei, selaku ketua Mangrove Center Graha Indah, menurut dia, penetapan kawasan merupakan upaya terakhir untuk melakukan penyelamatan mangrove dan teluk Balikpapan.

“Kami ini hanya masyarakat biasa yang memiliki niat untuk melakukan penyelamatan lingkungan dan menjaga lingkungan mangrove, selain itu kami tidak punya wewenang apapun, bila ada yang akan mengambil atau merusak mangrove yang notabennya itu merupakan tanah mereka kami tidak bisa berbuat apa-apa, karena tidak ada ketetapan mengenai kawasan mangrove ini,” ungkap Agus.

Masyarakat sekitar yang masih membutuhkan keberadaan hutan mangrove di Balikpapan. Foto: Hendar
Masyarakat sekitar yang masih membutuhkan keberadaan hutan mangrove di Balikpapan. Foto: Hendar

Bila melihat kebelakang tentang upaya masyarakat Graha Indah  menyelamatkan Mangrove di daerahnya, tentunya pemerintah sudah bisa berkaca, Agus Bei selama 13 tahun menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk menyelamatkan mangrove di kawasan RT 85, karena sebelumnya mangrove yang gundul oleh orang yang tidak bertanggung jawab, mengakibatkan tidak adanya penahan angin, sehingga hampir 300 rumah terserang angin putting beliung pada tahun 2001.

Hal ini yang mendasari Agus Bei untuk melakukan penyelamatan terhadap hutan mangrove yang ada di kawasan tersebut, hingga saat ini. “Kami dahulu selain panas dan gersang, kami terkena angin putting beliung, rumah rusak, sehingga kami punya niatan untuk menjaga mangrove ini melestarikannya, karena kami tau kalau rusak maka kami juga yang terkena dampaknya. Selama  13 tahun kami bekerja tanpa pamrih untuk menyelamatkan mangrove ini,” kata Agus.

Sementara itu sebanyak 25 Peserta Delegasi ASEAN mengikuti Workshop Konservasi Mangrove. Delegasi negara-negara ASEAN menghadiri workshop ketiga sekaligus pertemuan pertama untuk ASEAN Mangrove Network (AMNET). Kegiatan dipusatkan di Hotel Gran Senyiur Balikpapan, pada bulan, lalu

Turut hadir Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial, Kementerian Kehutanan, IB Putera Parthama, PhD, Kepala Perwakilan Kantor JICA Indonesia Arai Yuki, dan beberapa praktisi mangrove di Indonesia. Acara pembukaan juga dihadiri Ketua DPRD Balikpapan Andi Burhanuddin Solong dan Asisten II Setkot Balikpapan Sri Sutantinah.

Melalui kegiatan tersebut, 25 orang peserta dari delegasi negara ASEAN saling belajar dan bertukar informasi mengenai pentingnya konservasi hutan mangrove. SMU Negeri 8 Balikpapan mewakili Indonesia untuk berbagi pengalaman dalam hal edukasi konservasi mangrove.

Dirjen Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial, Kemenhut, IB Putera Parthama, mengatakan, pertemuan pertama AMNET diadakan paralel dengan penyelenggaraan workshop, yang dihadiri oleh perwakilan lembaga pemerintah pengelola mangrove dari negara ASEAN. Pertemuan itu juga membahas tentang mekanisme jaringan dan rencana kegiatan 5 tahun ke depan. Jaringan dibentuk dalam format ASEAN Regional Knowledge Network (ARKN) yang bertujuan mengembangkan kajian pengetahuan dalam lingkup regional, selain untuk memperluas pengetahuan mengenai pengelolaan ekosistem mangrove di ASEAN.

“Kita juga didukung penuh oleh JICA MECS. Kerjasama ini sudah berlangsung lama, mereka mensupport dari segi pendanaan,” ujarnya.

Pada workshop regional pertama digelar di Surabaya pada November 2012 lalu. Kemudian disusul workshop kedua yang digelar di Bangkok dan Provinsi Trat, Thailand, pada Desember 2013 lalu.

Berbagai upaya, kata Putera, telah dilakukan untuk konservasi ekosistem mangrove dan pemanfaatan berkelanjutan di negara Asia Tenggara. Salah satunya rehabilitasi pada daerah yang over-eksploitasi dan penggunaan sumber daya berkenalnjutan untuk pengentasan kemiskinan.

“Semua upaya tersebut sungguh menghasilkan pembelajaran yang berharga, yang sebaiknya disebarkan bagi praktisi lain baik dalam negeri maupun negara tetangga,” tandasnya.

Salah satu sudut hutan Mangrove di Graha Indah Balikpapan, yang menyimpan potensi wisata. Foto: Hendar
Salah satu sudut hutan Mangrove di Graha Indah Balikpapan, yang menyimpan potensi wisata. Foto: Hendar

Perluasan Mangrove Terkendala Pembebasan Lahan

Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Balikpapan Ketut Astana, menyatakan penambahan luas hutan mangrove di Balikpapan belum berbanding lurus dengan kerusakan yang terjadi. Hal ini disebabkan minimnya pengawasan serta masih kurangnya kesadaran masyarakat untuk melestarikan mangrove.

“Kita punya beberapa kawasan seperti mangrove centre di Kariangau, kawasan pendidikan di SMA 8, dan ada juga di Teritip. Tapi memang penambahannya belum berbanding lurus, kalaupun ada tempat yang kita siapkan itu juga masih terkendala di pembebasan lahan. Contohnya di SMA 8, kita sudah blok tapi belum dibebaskan,” katanya

Terpisah, Sekretaris BLH Panti Suhartono menyebut luas lahan mangrove di Balikpapan sekitar 3.150 hektare (Ha). Kawasan itu terbentang di wilayah Barat dengan luas 2.500 Ha dan sisanya di wilayah Timur sekitar 350 Ha. “Ini baru gambaran global, belum hasil penelitian. Dengan total panjang pantai kita kurang lebih 81 kilometer, sudah termasuk Teluk Balikpapan,” ujarnya.

Dalam tahun ini, BLH belum memprogramkan penambahan luas mangrove lantaran masih terkendala pembebasan lahan. Namun upaya merehabilitasi mangrove yang rusak terus dilakukan.

“Contohnya di Margomulyo, tadinya rusak, gersang, tapi sekarang sudah mulai bagus. Kerusakan itu mungkin disebabkan pemotongan/ditebang oleh oknum warga untuk kebutuhan kayu bakar. Di Somber juga begitu, sebagian ada yang rusak karena ditebang. Memang arang yang dihasilkan batang mangrove ini cukup padat, sehingga banyak warga yang menjadikannya kayu bakar,” jelasnya.

Kendati demikian, pemerintah sudah melarang aktivitas penebangan liar hutan mangrove. Upaya ini juga dibarengi dengan melakukan sosialisasi dan pendidikan konservasi ke masyarakat. Menurut Panti, kerusakan yang terjadi hampir 10 persen setiap tahunnya. “Memang kita belum lakukan penelitian, tapi sekadar gambaran ya 10 persen yang rusak setiap tahunnya,” jelasnya.

Kepedulian BLH, kata Panti, tidak hanya terfokus pada kegiatan sosialisasi dan pendidikan konservasi, namun juga memperketat izin Amdal bagi perusahaan-perusahaan baru. Meski diakui, pembangunan juga menjadi dilema tersendiri di tengah upaya konservasi tersebut.

“Memang ini dilema, tapi kita tidak bisa mengentikan pembangunan berjalan. Prinsipnya, kami pertegas di izin Amdal, bahwa aktivitas pembangunan baik di pesisi maupun di teluk harus tetap memperhatikan lingkungan sekitarnya. Kita juga perlu menggandeng aparat Pol Air, dan berharap peran serta  masyarakat lokal agar lingkungan itu tetap terjaga, kalau hanya mengandalkan pemerintah sendiri kita nggak ada kekuatan,” pungkasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,