Ramai-ramai Dorong Perda Masyarakat Adat di Sumatera Selatan

Wacana pembuatan peraturan daerah (perda) mengenai masyarakat adat di Sumatera Selatan (Sumsel) mendapat tanggapan dari berbagai kalangan. Dari pekerja budaya, anggota dewan, akademisi, praktisi hukum. Mereka sepakat dengan inisiatif dari Pemerintah Musi Banyuasin ini,  demi menjaga hak dan tradisi masyarakat adat tetap terjaga.

Yudhy Syarofie, pekerja budaya di Palembang mengatakan,  dengan perda ini, memberikan peluang bagi masyarakat adat Sumsel menunjukkan identitas kembali. “Banyak tradisi masih tersimpan di masyarakat adat. Tradisi itu tidak mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah. Bahkan mereka tidak dapat mempertahankan tradisi itu, lantaran mereka terdesak berbagai kebijakan pembangunan,” katanya, Selasa (18/3/2014).

Bahkan, katanya, sebaiknya perda masyarakat adat ini lahir dari Pemerintah Sumatera Selatan agar menjangkau semua masyarakat adat di Sumsel.  “Keinginan Kabupaten Muba melahirkan perda ini luar biasa, tapi hanya sebatas wilayah Muba.”

Masyarakat adat, katanya, kehilangan tanah adat. Mereka dari dusun, harus pindah ke kota besar, lantaran tak memiliki lahan bertani, atau di dusun mereka memilih pekerjaan lain. “tTradisi tidak dapat mereka pertahankan lagi,” kata Yudhy.

Julian Junaidi, akademisi dari jurusan sosial dan ekonomi Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, mengatakan, perjuangan masyarakat adat mendapatkan akses keadilan terhadap sumber daya alam di Kabupaten Muba, seperti tanah, sebaiknya dimulai dari provinsi.“Hingga perjuangan masyarakat adat menjadi lebih mudah untuk mendapatkan akses keadilan, terutama soal tanah.”

Salah satu penyebab kemiskinan masyarakat Sumsel, diperkirakan mencapai 40 persen dari 7 juta jiwa, karena tidak mendapatkan akses keadilan,  terutama di pedesaan. “Penyebab kemiskinan di desa atau dusun akibat akses tanah hilang.”

Namun, perda masyarakat adat ini, katanya, hendaknya bukan sebatas pengakuan tradisi dan budaya. “Terpenting, pengakuan hak atas tanah adat.”

Keinginan Politik

Muhammad F. Ridho dari DPRD Sumsel menyambut baik wacana perda ini. Perda masyarakat adat di Sumsel, katanya,  sangat diperlukan terkait jutaan masyarakat, khusus di dusun, yang bisa dikatakan hampir semua masyarakat adat. “Melalui perda itu diharapkan mampu mempertahankan nilai-nilai budaya luhur yang selama ini dijaga hukum adat.”

Abdul Aziz Kamis, aktivis pemberdayaan masyarakat desa dan pernah menerbitkan media Tabloid Desa, mengatakan peraturan daerah itu dapat dilahirkan tanpa harus menunggu UU Masyarakat Adat.

“Kalau para anggota dewan itu mendukung, gunakan saja hak inisiatif. Tidak harus menunggu UU. UUD 1945 lebih dari cukup. Terbukti sudah ada daerah yang melahirkan peraturan daerah terkait masyarakat adat.”

Azis menilai,  para anggota dewan dan pemerintah Sumsel pada dasarnya tidak memiliki keinginan politik membela masyarakat adat. Mereka tidak begitu peduli keberadaan masyarakat adat, yang sebenarnya melahirkan mereka dan keluarga.

“Kenapa? Karena mereka sudah kehilangan akar budaya,” kata Aziz.

Eti Gustina, praktisi hukum, membenarkan jika sebuah peraturan daerah turunan dari UU. “Tetapi tetap mempunyai peluang kalau itu menggunakan inisiatif dari daerah. Itu tergantung mau atau tidaknya pemerintah daerah melahirkannya,” katanya.

Rustandi Adriansyah, Ketua BPH Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumsel menjelaskan, dasar hukum masyarakat adat di Sumsel sudah diakui pemerintah daerah. “Di Sumsel ini ada lembaga adat. Bukan hanya di kabupaten dan kota, juga di provinsi. Perda mengenai masyarakat adat dapat diwujudkan dengan inisiatif pemerintah daerah, tidak harus menunggu UU.”

Dengan perda ini, katanya, bisa menjadi solusi menghentikan konflik antara masyarakat adat dengan berbagai perusahaan dan pemerintah, terutama mengenai penguasaan lahan. “Ini juga mengatasi persoalan kemiskinan dan penjagaan lingkungan hidup yang kian kritis.”

Saat ini,  sekitar satu juta warga adat dari 119 marga di Sumsel terlibat konflik lahan dengan perkebunan sawit sejak 1990-an. Mereka kehilangan lahan, korban jiwa, kriminalisasi, sampai hutan suaka kehilangan keragaman hayati. “Data ini belum seluruh Sumsel. Belum ditambah masyarakat adat yang berkonflik dengan perusahaan lain, seperti pertambangan.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,