Luapan Lumpur Lapindo Bukan Dongeng Timun Mas

Awang Harun Satyana, seorang geolog menghubung-hubungkan luapan lumpur Lapindo dengan cerita rakyat Timun Mas. Awang seolah mengisyaratkan dulu wilayah Porong pernah menjadi danau lumpur. Hingga ada anggapan tragedi ini fenomena alam yang sudah lama diprediksi terjadi. Ia bak cerita rakyat Timun Mas.

Henri Nurcahyo, seorang penulis menjelaskan lewat buku berjudul ”Rekayasa Dongeng dalam Bencana Lumpur Lapindo.” Buku ini ingin mematahkan upaya dari kalangan tertentu yang berusaha menggiring opini publik mempercayai bahwa bencana lumpur Lapindo sebagai sesuatu hal normal.

Mengapa sampai ada idiom lumpur dalam Timun Mas? Menurut dia, ada anggapan Porong itu dulu danau lumpur purba. Sejak zaman Airlangga, Sungai Porong itu ada untuk mengatasi lumpur.

“Sekarang dikait-kaitkan dengan cerita Timun Mas. Ini penghayatan dan dramatisasi raksasa tenggelam dalam lautan lumpur. Cerita jadi menarik. Raksasa simbol angkara murka, timun mas sebagai simbol masyarakat yang tertindas,” katanya dalam acara bedah buku di Jakarta, Selasa (8/4/14).

Henri mengatakan, buku itu ditulis dengan ide dan biaya cetak sendiri. Tidak diedarkan ke toko buku, tetapi dari perkumpulan ke perkumpulan. Buku ini berisi 11 bab mengupas mendalam mengenai lumpur Lapindo dan keterkaitan dengan cerita Timun Mas. Dongeng Timun Mas, katanya, telah dimanipulasi untuk mencari kebenaran atas luapan lumpur Lapindo.

Menurut Henri, dongeng bukan tidak mungkin, bisa saja reportase sejarah. Dalam menafsirkan dongeng Timun Mas bisa diartikan sebagai  kekuatan besar menindas yang lemah. Raksasa menindas timun. Hanya semacam simbol filosofi jangan sewenang-wenang kepada rakyat jelata. Karena rakyat jelata bisa mengalahkan raksasa.

“Simbol danau lumpur menjadi sesuatu yang memiliki kekuatan luar biasa hingga bisa mengalahkan raksasa. Atau bisa juga diartikan raksasa kuat jangan berbuat sewenang-wenang kepada rakyat, karena akan dibalas oleh alam.”

Anak-anak korban lumpur Lapindo, menyerahkan cinderamata patung SBY ke Presiden, di Jakarta, Senin(29/4/13). Sampai kini, penyelesaian bagi korban Lapindo, tak jelas. Masalah disederhanakan hanya urusan ganti rugi tanah–yang juga belum diselesaikan. Masalah pengabaian hak warga atas kehidupan mereka, kesehatan mereka, pendidikan maupun pemulihan lingkungan, luput dari bahasan pemerintah. Foto: Sapariah Saturi

Ada banyak versi cerita rakyat Timun Mas.  Beberapa versi ada yang tidak menyebut cerita mengenai danau lumpur. Kalaupun ada yang menyebut mengenai Danau lumpur, cerita itu bukan dari Sidoarjo tetapi dari Jawa tengah. Danau lumpur yang dipercayai dalam cerita itu berada di di Bleduk Kawu, Grobogan, Purwodadi. Sementara hutan Bambu yang dimaksud adalah Alas Roban. “Mengaitkan cerita Timun Mas dengan lumpur Lapindo sama sekali tidak relevan.”

“Kalau dongeng Timun Mas menggambarkan keadaan Lapindo sekarang, lantas siapa raksasanya? Mengapa yang tenggelam hanya rakyat jelata, dalam hal ni Timun Mas? Sementara raksasa masih berdiri kokoh?” ujar Henri.

Mengaitkan dongeng Timun Mas dengan lumpur Lapindo merupakan othak-athik gathuk, atau mengait-ngaitkan sesuatu yang sebenarnya tidak ada hubungan. Tidak logis.

“Othak-athik gathuk merupakan kearifan lokal untuk mencari kebenaran. Banyak baru diakui setelah kejadian berlalu. Banyak kearifan lokal yang lahir dari othak-athik gathuk. Tetapi mengaitkan dongeng Timun Mas dengan lumpur Lapindo merupakan penyelewenangan terhadap othak-athik gathuk.”

Lapindo mengarahkan segala tim ahli untuk membuat cerita bahwa lumpur itu karena gempa. Tujuannya, memunculkan opini publik hal itu wajar-wajar saja. “Apakah ilmu geologi tidak cukup canggih? Apakah Ikatan Ahli Geologis indonesia tidak mempunyai komitmen?” Menurut Henri,  sampai sekarang IAGI tak pernah mengeluarkan sikap soal Lapindo.

Hendri Siregar, Koordinator Jatam mengapresiasi buku ini. Tulisan itu luar biasa. Mudah dicerna dengan kalimat tidak bertele-tele tetapi saling keterkaitan.

Hendrik mengatakan,  mengaitkan dongeng Timun Mas dengan Lumpur Lapindo merupakan hal aneh.

Menurut dia, Mahkamah Konstitusi 27 Maret 2014 menyatakan pemerintah harus menanggung ganti rugi Lapindo termasuk yang di luar peta terdampak. Banyak anggaran sudah dikeluarkan. “Pemerintah sampai saat ini tidak pernah menagih dana talangan kepada Lapindo.”

Bencana lumpur Lapindo, katanya, tak hanya berbicara soal ganti rugi juga kehidupan sosial, pendidikan, dan mata pencaharian warga yang diabaikan.

Dalam aspek kesehatan, masyarakat terserang ISPA, gangguan paru-paru karena terlalu banyak menghirup gas beracun. “Penggunaan nama juga berdampak buruk. Bukan lumpur Sidoarjo, harusnya lumpur Lapindo.”

Hendrik mengatakan,  tidak akan terjadi danau lumpur kalau tak ada pengeboran. “Ini human error, tidak ada relevansi dengan dongeng tempo dulu. Seolah-olah kejadian ini sudah memang harus terjadi. Ini tak masuk logika. Kalau dibiarkan begitu saja dongeng Timun ini bisa jadi pembenaran,” kata Hendrik.

Kurniawan Sabar, Devisi Kampanye Walhi Nasional mengatakan,  buku ini ditulis dengan ide sederhana namun memberikan gambaran jelas mengenai lumpur Lapindo.

“Penulis  berupaya memberikan counter opini. Buku ini memberikan gambaran utuh mengenai kasus Lapindo.”

Dalam menggunakan kearifan lokal, othak athik gathuk sama dengan cocologi dalam istilah Makassar. Yakni, mencocok-cocokan sesuatu yang sebenarnya tak berhubungan.

Massa mengarak ogoh-ogoh Aburizal Bakrie dalam peringatan 7 tahun bencana semburan lumpur Lapindo. Foto: Tommy Apriando
Artikel yang diterbitkan oleh
,