,

Gelaran Sumpah Adat untuk Cegah Hilangnya Hutan Adat Dayak Benuaq Muara Tae

Telepon itu berdering di tengah malam.  Suara Petrus Asuy tetua masyarakat adat dari Muara Tae, Kalimantan Timur terdengar dari ujung gagang telepon.  “Buldozer semakin banyak, mereka membongkar hutan untuk dijadikan kebun kelapa sawit, bulldozer semakin menggila,” jelasnya kepada Ruwi.

“Dapatkah kamu mengirimkan orang untuk membantu menjaga hutan Muara Tae?” tanya Asuy.  Ruwi menjawab dia tidak dapat memastikan, tetapi berjanji untuk mencari tahu.  Meskipun di dalam hatinya dia pun turut bimbang mendengar kabar situasi yang terjadi.

Ambrosius Ruwindrijarto, peraih penghargaan Magsaysay Award 2012, bersama beberapa orang voluntir lainnya saat ini sedang menggalang dukungan publik untuk mencegah hilangnya hutan alam yang menjadi mata pencarian suku Dayak Benuaq Muara Tae.  Di lapangan, deru buldozer masih menjadi ancaman serius keutuhan sisa hutan di wilayah sengketa.

Ketika sebagian masyarakat telah pasrah untuk menerima takdir, mereka berupaya untuk menerima realitas kehadiran perusahaan, sambil berharap perubahan berarti turut mengubah peruntungan ekonomi mereka.

Namun bagi Asuy dan sebagian masyarakat lainnya yang tergabung dalam Sempekat Pesuli Lati Takaaq (Sepakat Mengembalikan Hutan Adat Kita)/SPLT, mereka tetap kukuh bertahan menjaga tegakan hutan alam yang dimiliki kampung adat tersebut.   Bagi mereka hutan bukan saja ekosistem tutupan tajuk, tetapi bagian dari adat dan simbol keberadaan mereka.

Beberapa hari sebelumnya, Asuy dan kelompoknya menghentikan bulldozer yang sedang bekerja di selatan hutan.  Bulldozer berhenti setelah Asuy berbicara dengan operator mesin.  Di hari berikutnya para pekerja perusahaan kembali dengan ditemani oleh aparat kepolisian.  Asuy dan kelompoknya meminta mereka untuk tetap berhenti bekerja hingga pihak perusahaan setuju untuk melakukan proses pembicaraan dengan masyarakat Muara Tae.

Konflik masyarakat adat dan perusahaan. Masyarakat Muara Tae di Kaltim, menghentikan buldozer perusahaan yang beroperasi di wilayah adat, September 2012. Foto: Margaretha Seting Beraan, AMAN Kaltim

Gelar Sumpah Adat Tentukan Pemilik Lahan

Di luar proses hukum yang masih berjalan, kelompok SPLT berencana untuk menggelar acara Dayak Benuaq Berinuk (Dayak Benuaq Berkumpul) sebuah upaya transendental-spiritual untuk meminta petunjuk roh leluhur untuk menentukan siapa pihak sah yang berhak atas tanah tersebut.

“Rencananya dimulai sekitar tanggal 10 Mei 2014, hingga 64 hari kedepannya.  Tidak saja warga Muara Tae, tetapi lima kampung lainnya termasuk Muara Ponak diundang, pihak perusahaan hingga Bupati akan diajak bersumpah secara adat,” jelas Ruwi melalui telepon kepada Mongabay Indonesia.

Ruwi mengaku bahwa ia bersama para voluntir individu sedang membantu persiapan Ritual Sumpah Adat ini melalui penggalangan donasi dana secara individual.  Tidak saja dana, mereka juga melakukan penggalangan berbentuk upaya spiritual lewat doa dan meditasi.

Bagi masyarakat Dayak Benuaq, sumpah adat merupakan ritual sakral. Tidak sembarangan dilakukan, mereka percaya tulah dan hukuman bencana akan jatuh kepada pihak yang bersalah.

Dari target sekitar Rp 160 an juta, saat ini sekitar separuhnya terkumpul.  Biaya ini digunakan untuk membiayai pembelian kerbau, babi, ayam, konsumsi, mendatangkan benda-benda pusaka, pawang dan kehadiran para tetua. Dengan ritual sumpah adat dipercaya roh para leluhur akan memberikan petunjuk siapa pemilik sah lahan sengketa yang pada akhirnya akan memperjelas kepemilikan secara adat.

Warga Muara Tae mengawasi operasi bulldozer. Sumber: Indiegogo team

Konflik Lahan Muara Tae

Muara Tae, sebuah kampung komunitas suku Dayak Benuaq yang berada di Kecamatan Jempang, Kabupaten Kutai Barat, Kaltim sejak bertahun-tahun tidak pernah tenang dirundung berbagai persoalan konflik lahan.

Dimulai sejak tahun 1971 ketika perusahaan HPH PT Sumber Mas membuka areal konsesi hutan di sana yang diteruskan dengan penanaman HTI.  Sejak tahun 1995 perusahaan perkebunan PT London Sumatra masuk disana yang berujung konflik dan penangkapan warga oleh polisi pada tahun 1999.  Selain konflik lahan dengan perusahaan sawit, di bagian lain bentang di Kecamatan Jempang juga telah berubah menjadi area konsesi tambang batubara yang konsesinya dimulai sejak keberadaan PT Gunung Bayan Pratama Coal sejak tahun 1993.

Pada tahun 2011, dua perusahaan sawit yaitu PT Munthe Waniq Jaya Perkasa (PT MWJP) dan PT Borneo Surya Mining Jaya (PT BSJM) beroperasi untuk membuka perkebunan sawit di lima kampung yang berada di kecamatan Siluq Ngurai yaitu Kenyanyan, Rikong, Kiaq, Tendik dan Muara Ponak.  Namun demikian blok hutan adat Utaq Melinau seluas 638 hektar yang terletak di perbatasan antara dua kampung yaitu Muara Ponak dan Muara Tae masih bersengketa.

Bagi masyarakat Muara Tae, wilayah tersebut dianggap masih merupakan bagian dari wilayah yang telah digarap turun temurun, mereka beranggapan lahan tersebut telah dilepaskan secara sepihak oleh masyarakat Muara Ponak kepada pihak perusahaan perkebunan.  Hingga saat ini, kedua komunitas bersikukuh bahwa blok hutan tersebut adalah bagian dari wilayah adat mereka.  Adapun blok hutan tersebut berada di sepanjang jalan yang dibuat oleh perusahaan kayu PT Roda Mas pada tahun 1978.

Pada tahun 2012, Bupati Kutai Barat mengeluarkan SK Bupati no. 146.3 yang menetapkan batas wilayah antara kampung Muara Ponak, Kecamatan Siluq Ngurai dengan kampung Muara Tae kecamatan Jempang.  Dalam SK tersebut, Bupati menyebutkan bahwa warga Muara Ponak adalah pemilik sah dari wilayah tersebut.  Tidak puas dengan keputusan Bupati tersebut, warga Muara Tae membawa persoalan tersebut ke pengadilan.  Kalah di tingkat pengadilan pertama, saat ini warga Muara Tae membawa persoalan ini ke tingkat kasasi.

Dalam wilayah yang masih bersengketa ini, salah satu perusahaan sawit yaitu PT BSMJ, pada tanggal 17 April 2013 mendapatkan surat dari Panel Pengaduan RSPO  (Roundtable on Sustainble Palm Oil) untuk menghentikan segala aktivitas di wilayah adat yang bersengketa, selama konflik lahan belum selesai.

Sejak surat tersebut, PT BSMJ telah menghentikan pembukaan lahan, meskipun masih beraktivitas dengan menanami areal yang  telah dibuka dengan sawit.  Forum RSPO sendiri merupakan forum internasional para pemangku kepentingan kelapa sawit dimana induk perusahaan PT BSMJ, yaitu First Resources, Ltd bergabung.  Di sisi lain, PT MWJP masih melakukan aktivitas pembersihan lahan menggunakan bulldozer di area yang disengketakan.

Hingga saat ini, masyarakat Muara Tae masih terus berupaya untuk mempertahankan sisa hutan di wilyah sengketa.  Mereka membangun pondok-pondok jaga di dalam hutan, melakukan pemetaan kawasan adat, menginventasir keanekaragaman hayati dan menyiapkan pembibitan jenis-jenis pohon lokal untuk merestorasi areal yang dulunya hutan.

Artikel yang diterbitkan oleh
,