,

Aneh! Bertahan di Tanah Adat Vonis 3 Tahun, Pejabat Aceh Rambah TN Leuser Dihukum Percobaan

Miris dengan keadilan hukum di negeri ini. Di Bengkulu, empat warga Adat Semende Agung, yang sudah tinggal turun menurun di lahan adat yang kebetulan masuk taman nasional, divonis tiga tahun penjara dan denda Rp1,5 miliar. Sedang di Aceh, para pejabat daerah itu terbukti menjarah Taman Nasional Gunung Leuser, hanya diberi hukuman percobaan. Aneh!

Pada Kamis (24/4/14),  Hakim Pengadilan Negeri Bintuhan memutus empat warga adat Semende Dusun Lamo Banding Agung Kabupaten Kaur, Bengkulu, bersalah dan vonis tiga tahun penjara serta denda Rp1,5 miliar atau kurungan satu bulan.

Merekapun mengajukan banding atas vonis majelis hakim di PN Klas II Bintuhan yang dibacakan Ketua Majelis Hakim, Syamsudin ini. Keempat warga adat ini, Midi, Rahmad, Suraji dan, Heri Tindieyan menjalani persidangan  setelah ditangkap dalam operasi gabungan Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan Polres Kaur pada 23 Desember 2013.

Putusan hakim sama dengan tuntutan JPU yang dicakan Senin, 22 April 2014. Ahmad Affandi, JPU membeberkan hal-hal yang memberatkan empat warga adat Semende Banding Agung ini. Pertama, warga didakwa melakukan perbuatan meresahkan masyarakat nasional dan internasional karena menimbulkan efek domino luar biasa terhadap pemanasan global akibat luasan hutan yang menghasilkan oksigen berkurang.

Kedua,  warga telah merusak ekosistem satwa dan tumbuhan endemik langka di kawasan hutan konservasi hingga menyebabkan populasi satwa dan tumbuhan langka punah. Ketiga, warga didakwa tidak mendukung program pemerintah melestarikan alam.

Keempat, terdakwa merasa tanah yang didiami sah karena lokasi tanah wilayah adat Semende Lembak yang tidak dapat dibuktikan secara tertulis serta belum diakui pemerintah.

Kelima, terdakwa tak mau meninggalkan lahan kebun yang didiami walaupun diberikan kompensasi pemerintah.

Berdasarkan hal-hal yang memberatkan itu , JPU mendakwa keempat warga adat melakukan pidana perusakan hutan berupa kegiatan perkebunan tanpa izin menteri di dalam kawasan hutan. Ini seperti tertuang dalam UU No 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) dengan tuntutan penjara tiga tahun dan denda Rp1,5 miliar.

Dalam nota pembelaan tim kuasa hukum warga, disampaikan Tommy Indyan pada Rabu (23/4/14) menanggapi beberapa hal. Pertama, JPU terlalu mengada-ngada mengatakan perbuatan terdakwa berakibat bagi pemanasan global. Padahal, JPU berdasarkan fakta persidangan tidak bisa membuktikan ada perusakan hutan yang mengakibatkan luasan berkurang.

Kedua, JPU mengabaikan fakta-fakta persidangan. Ketiga, terdakwa bagian masyarakat adat Dusun Banding Agung. Mereka sepantasnya memepertahankan hak atas tanah. “Perkara ini jangan hanya dilihat persoalan kebun kopi, tetapi lebih dari itu. Mempertahankan warisan turun temurun tanah leluhur masyarakat adat dari kesewenang-wenangan pemerintah merampas hak masyarakat.”

Fitriansyah, kordinator tim penasehat hukum AMAN Bengkulu dalam rilis kepada media menyatakan, akan terus memperjuangkan hak-hak hukum masyarakat adat Banding Agung. “Terhadap putusan ini, kami tim penasehat hukum akan banding,” katanya.

Angga Septia, staf advokasi pengurus wilayah AMAN Bengkulu mengatakan, fakta persidangan, keempat warga  itu memiliki sejarah asal-usul dan pewaris tata kelola lahan turun temurun.

“Kasus ini menjadi persoalan serius atas kepentingan negara pada warga negara yang sah diakui UU Pokok Agraria tentang eksistensi masyarakat adat. Kasus ini membuktikan ada kesemrawutan penetapan kawasan TNBBS karena mengenyampingkan masyarakat.”

Kesemrawutan tata kelola hutan ini, katanya, menyebabkan masyarakat adat menjadi korban. Masyarakat adat Semende Agung kini trauma mendalam akibat operasi gabungan itu. “Pembakaran dan pengusiran dari wilayah adat sangat merendahkan martabat mereka! Putusan ini berdampak pada hilangnya hak konstitusional warga adat Semende banding Agung.”

Sumber: AMAN Bengkulu
HutanTNGL yang mulai dirambah untuk kebun masyarakat di Aceh Tenggara. Foto: Chik Rini
HutanTNGL yang mulai dirambah untuk kebun masyarakat di Aceh Tenggara. Foto: Chik Rini

Pejabat Rambah Hutan Vonis Percobaan

Di Aceh,  putusan hakim kondisi sebaliknya. Pejabat Aceh yang jelas-jelas merambah TN Leuser, hanya mendapat hukuman percobaan enam bulan.

Majelis Hakim PN Kutacane menjatuhkan vonis enam bulan penjara dan denda Rp3 juta  dengan masa percobaan satu tahun kepada tiga orang pejabat Pemerintah  Kabupaten Aceh Tenggara yang  terbukti merambah hutan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) untuk jadi kebun pribadi. Ketiganya, Khairil Anwar, Kepala Dinas Binamarga; Rajadun  Desky, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah serta Rahmad Hidayat anggota DPRK dari Fraksi PKS.

Gunawan Alza, Kepala Bidang Pengelolaan Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) wilayah II Kutacane, Jumat (24/4/2014) mengatakan,  vonis hakim sungguh mengecewakan.

Selama persidangan, bukti perambahan hutan TNGL jelas dengan menghadirkan saksi-saksi para pekerja dan saksi ahli dari Badan Penunjuk Kawasan Hutan  (BPKH) yang menunjukkan bukti kebun dibuka dalam kawasan TNGL.

Khairil Anwar, Rajadun Desky dan Rahmad Hidayat tersangkut kasus perambahan karena membuka hutan TNGL untuk kebun pribadi sejak lima tahun lalu. Mereka menanam sawit dan coklat.

Para pejabat Kabupaten Aceh Tenggara ini rata-rata menguasai tujuh hektar lahan masing-masing di daerah Lawe Maruntu dan Lawe Malun.  Kasus perambahan hutan konservasi  ini ditindaklanjuti BBTNGL dengan melaporkan ke Polres Aceh Tenggara.

Menurut Gunawan, ketiga pejabat Aceh Tenggara itu disidang sejak Januari 2014 dan divonis 16 April 2014. Persidangan itu dipimpin Hakim Ketua Khairuman Pandu Kesuma Harahap dan anggota Yudi Razodinata dan Rizki Ramadhan dengan JPU Eddy Samrah Limbong.

Dalam amar putusan majelis hakim mengatakan, para terdakwa terbukti merambah hutan TNGL hingga melanggar Pasal 50 UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.  Ketiganya divonis masing-masing enam bulan penjara dan denda Rp3 juta dengan masa percobaan satu tahun.

“Vonis yang djatuhkan hakim sesuai tuntutan yang dibuat oleh JPU hingga tidak banding.”

Selama proses persidangan para terdakwa  tidak ditahan bahkan tetap aman menduduki posisi sebagai pejabat nomor satu di lembaganya. “Kami kecewa dengan putusan itu. Ini harusnya memberikan efek jera. Mereka pejabat daerah harus mendapat hukuman berat karena mereka paham hukum dan aturan. Jangan hanya masyarakat kecil yang kena hukuman berat,” kata Gunawan.

Di Kabupaten Aceh Tenggara,  setidaknya 10 ribu hektar hutan TNGL rusak karena dirambah dan dicuri kayu oleh oknum pejabat dan masyarakat sejak tahun 1990-an. BBTNGL berharap proses hukum yang menyeret pejabat penting Aceh Tenggara ini dapat membuat pelaku lain mulai sadar dan menghentikan perambahan TNGL.

Sayangnya, jaksa dan hakim tidak melihat kasus kejahatan kehutanan ini sebagai sesuatu hal serius. Padahal,  ini kasus pertama sejak tiga tahun terakhir yang bisa menyeret pejabat setempat hingga ke pengadilan.

BBTNGL  telah menyita kebun ilegal yang dibuka para terpidana  untuk direhabilitasi. “Setidaknya ketika kasus ini bergulir dan operasi dijalankan untuk menertibkan lahan-lahan yang dirambah, masyarakat mulai sadar dan tidak terlalu berani merambah.”

Kekecewaan juga datang dari Forum Konservasi Orangutan Sumatera (Fokus). Panut Hadisiswoyo, Ketua Fokus menyesalkan vonis hukuman percobaan bagi para terdakwa ini.  Padahal mereka jelas-jelas terbukti bersalah merambah hutan di TN Lauser.

Dengan vonis percobaan ini, katanya,  berarti ketiga terdakwa tak perlu ditahan alias bebas kecuali ada peritah lain dalam putusan hakim. “Sungguh ironis proses hukum tindak pidana kehutanan di Indonesia terkesan basa-basi. Vonis ini membuktikan penegak hukum tak berkomitmen menerapkan UU yang mengatur perlindungan hutan dan kawasan konservasi.”

Menurut Panut, luas TNGL di Kabupaten Aceh Tenggara sekitar 380 ribu hektar dengan areal terbuka seluas 11.000 hektar. “Ini menunjukkan terjadi degradasi TNGL di Kabupaten Aceh Tenggara akibat aktivitas ilegal. Kawasan ini zona inti Kawasan Ekosistem Leuser dan habitat berbagai keragaman hayati penting seperti orangutan Sumatera, badak, gajah, harimau dan lain-lain,” ujar dia. “BBTNGL, selayaknya banding atas vonis percobaan ini.”

 

Salah satu kawasan TNGL yang dirambah untuk kebun di Aceh Tenggara. Foto: Chik Rini
Salah satu kawasan TNGL yang dirambah untuk kebun di Aceh Tenggara. Foto: Chik Rini
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,