Potensi Kotoran Sapi Sebagai Sumber Energi Alternatif

Jawa Timur merupakan salah satu Provinsi penghasil daging nasional, dimana produksi sapi potong pada tahun 2014 diperkirakan mencapai 4.071.391 ekor. Sementara stok sapi secara nasional berjumlah sekitar 13 juta hingga 14 juta ekor.

Data Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur menyebutkan, angka kelahiran sapi per Januari 2014 mencapai 73.347 ekor, yang ini belum termasuk sapi bunting dan belum melahirkan. Angka itu menurut Kepala Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur Maskut, diyakini dapat meningkat menjadi 1,15 juta ekor pada akhir 2014 melalui metode inseminasi buatan.

Potensi ini seharusnya dapat dimanfaatkan oleh pemerintah dan masyarakat, dimana sapi tidak hanya diambil daging atau susunya, melainkan juga biogas yang dihasilkan dari kotoran sapi.

Peluang ini yang ditangkap oleh Iswandi, warga Wringinanom, Kabupaten Gresik, yang mampu memasok biogas untuk sekitar 40 keluarga di kampungnya. Berawal dari melihat kotoran sapi di peternakannya yang begitu saja terbuang, Iswandi bersama aktivis lingkungan Prigi Arisandi menggagas dan membuat digester yang berfungsi menampung kotoran sapi di peternakannya. Digester itulah sebagai penampung gas yang dihasilkan dari kotoran sapi, untuk selanjutnya gas yang dihasilkan disalurkan ke rumah-rumah warga menggunakan pipa sebagai bahan bakar pengganti LPG.

Iswandi dan peternakannya yang diolah menjadi sumber energi alternatif. Foto: Petrus Riski
Iswandi dan peternakannya yang diolah menjadi sumber energi alternatif. Foto: Petrus Riski

Iswandi yang masuk wilayah Wringinanom sejak 1991, mencoba usaha peternakan sapi perah dengan 200 ekor sapi pada 2005. Dari peternakan itu Iswandi memperoleh sekitar 2.000 liter susu per hari, yang dijual kepada koperasi dan pabrik pengolahan susu. Baru pada 2013 dirinya membangun 2 unit digester berkapasitas masing-masing 50 meter kubik, yang mampu menampung kotoran dari sekitar 80 ekor sapi.

“Disini yang mencoba biogas selain saya belum ada. Kami dapat bantuan dari ESDM untuk bangun digester ini, juga di awal kami memperoleh 20 kompor. Kami ingin kotoran sapi ini dapat bermanfaat bagi banyak orang, tidak hanya dibuang begitu saja yang dapat mencemari sungai atau lahan,” terang Iswandi, ditemui di rumahnya di Wringinanom, Gresik.

2 unit digester yang memakan biaya 110 juta rupiah, dapat memenuhi kebutuhan bahan bakar warga terutama untuk memasak, selama kotoran sapi terus disalurkan ke digester. Dengan adanya biogas dari kotoran sapi mampu mengurangi pengeluaran warga untuk membeli LPG untuk memasak.

“Kalau dilihat perbandingannya ya sangat membantu. Kalau kemarin sebelum adanya biogas, tiap rumah tangga bisa sampai 2 kali beli LPG 3 Kilogram dalam seminggu, itu menghemat 30 ribu untuk setiap keluarga,” kata Iswandi.

Kusnan menunjukkan jalur pembuangan kotoran sapi menuju digister. Foto: Petrus Riski
Kusnan menunjukkan jalur pembuangan kotoran sapi menuju digister. Foto: Petrus Riski

Sama seperti kompor biasa. Gak bisa habis kalau itu, kalau LPG bisa habis, ini gak bisa habis. LPG itu 1 bulan 2 kali / 2 tabung. Kalau ini gak ada habisnya. Sama gak ada baunya apa2, kalau dipencet, ada bau uap biogas, kalau sudah nyala ya gak bau.

Sukemi yang merupakan warga setempat mengaku sangat merasakan memanfaatkan biogas dari kotoran sapi, sehingga terbantu secara ekonomi. Selain tidak berbeda dengan LPG untuk kegunaan sebagai bahan bakar memasak, biogas juga diakui lebih aman dari bahaya meledak.

“Ini sama dengan LPG, malah gak habis-habis selama kotorannya masih ada. Biogas ini juga tidak berbahaya karena kalau bocor sangat jelas baunya, tapi kalau sudah untuk masak tidak bau lagi,” cerita Sukemi yang tidak dipungut biaya se-rupiah pun dari penggunaan biogas ini.

Kusnan, seorang pekerja peternakan mengungkapkan, bahwa proses menghasilkan biogas dari kotoran sapi ini sangat mudah. Cukup mendorong kotoran ke parit yang telah disiapkan di sekitar kandang, kotoran langsung mengalir menuju digester dengan bantuan semprotan air.

“Tiap hari sapi mandi jam 4 sore dan jam 14 siang. Kotorannya didorong ke parit dan dialirkan ke penampungan biogas. Uap kotoran ditampung ke dalam tempat penampungan lalu dialirkan dengan pipa, menuju ke pipa-pipa pada rumah-rumah warga yang memanfaatkan,” jabar Kusnan yang mamastikan hasil akhir dari limbah ini tetap dapat dimanfaatkan untuk pupuk organik.

Selain untuk biogas, Iswandi berencana dalam waktu dekat untuk membuat digester baru, yang difungsikan untuk energi pembangkit listrik. Iswandi merencanakan membuat sebuah digester ukuran 100 meter kubik, sehingga dapat membangkitkan 10 kva.

“Ini minimal untuk lampu. Kalau 1 rumah dijatah 200 watt itu sudah 50-60 rumah. Kedepan kita tambah sapi di andang baru, jadi biogas yang dihasilakn dapat menghidupkan genset atau power, jadi tidak perlu pusing lagi dengan listrik PLN,” ujar Iswandi.

Namun demikian karena usaha ini merupakan jenis yang padat modal, Iswandi berharap pemerintah memberi kepercayaan kepada petani atau peternak untuk mengembangkan potensi biogas ini. Salah satunya dengan pemberian bantuan kredit bunga ringan untuk pengadaan sapi.

“Selama ini pemerintah kurang berpihak. Bunga untuk kami disamakan dengan bunga komersial 12 persen, kalau 4 sampai 6 persen masih bisa kita. Kalau jaman Soeharto dulu ada program sapi Bantuan Presiden 4 sampai 6 sapi untuk setiap keluarga. Setelah Soeharto lengser disini cuma  ada 4 peternak,” tuturnya.

Digester berkapasitas 50 meter kubik melayani biogas untuk 20 keluarga. Foto: Petrus Riski
Digester berkapasitas 50 meter kubik melayani biogas untuk 20 keluarga. Foto: Petrus Riski

Iswandi mengatakan bahwa potensi-potensi yang ada di Indonesia masih banyak yang belum tergarap dengan baik, terutama memanfaatkan sumberdaya alam untuk menghasilkan energi alternatif. Kotoran sapi di Jawa Timur diperkirakan dapat menghasilkan energi yang sangat besar bila dimanfaatkan sebagai biogas, mengingat jumlah sapi dan ternak di Jawa Timur yang mendominasi jumlah ternak secara nasional. Selain itu, pemanfaatan kotoran sapi sebagai biogas akan sangat membantu menekan jumlah polutan atau limbah yang dibuang ke sungai, yang selama ini limbah rumah tangga termasuk peternakan juga menyumbang tingkat pencemaran di sungai.

“Kami berharap kedepan pemerintah menangkap potensi ini. Selain mampu menghasilkan energi, menghemat biaya dan mengurangi pencemaran, upaya ini juga dapat menjadi alternatif pengganti sumber energi fosil yang semakin menipis,” tandas Iswandi yang berharap masyarakat dapat menikmati energi secara cuma-cuma.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,