Kelapa Sawit masih Jadi Ancaman Utama Habitat Orangutan

Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia,Robert Blake, datang mengunjungi Pusat Reintroduksi Orangutan Kalimantan Timur di Samboja Lestari milik Yayasan Penyelamatan Orangutan Borneo (Yayasan BOS/ the BOS Foundation), pada Selasa 22 April 2014 silam.  Kunjungan sehari ini merupakan bagian dari perjalanan beliau ke Kalimantan Timur dan merupakan bentuk ketertarikan beliau atas isu lingkungan dan konservasi orangutan dalam kaitannya dengan pelestarian hutan di Indonesia.

Robert Blake, Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia mengatakan pada peringatan hari bumi ini, konsumen di Amerika dan dunia harus dapat memilih produk yang ramah lingkungan. “Kami konsumen di Amerika telah sadar saat memilih produk, terutama yang berhubungan dengan pelestraian lingkungan,” kata Blake.

Masyarakat dunia saat ini telah menekan produsen yang menggunakan palm oil atau minyak kelapa sawit dalam produksinya. Bila proses produksinya telah merusak lingkungan maka konsumen di Negara-negara maju tidak akan menggunakan produk yang di hasilkan oleh perusahan-perusahaan tersebut.

“Kami ada Wilmar dan Cargill yang merupakan perusahaan kelapa sawit. Kerena tekanan dari konsumen di Amerika dan Eropa, akhirnya kedua perusahaan tersebut, berkomitmen untuk pelestarian lingkungan, karena ada keterkaitan antara kelangsungan spesies dengan perusahaan sawit, terutama dengan orangutan.” Lanjutnya.

Ditambahkan Blake, pada hari bumi ini merupakan kesempatan untuk menyoroti masalah-masalah penting terkait dengan lingkungan terkait dengan pelestarian spesies yang terancam punah seperti orangutan. “Earth Day atau Hari Bumi merupakan kesempatan istimewa untuk menyoroti masalah-masalah penting yang terkait dengan lingkungan, termasuk pelestarian spesies yang terancam punah seperti orangutan. Sejak tahun 2012, Amerika Serikat telah berkomitmen menyediakan lebih dari 13 juta dollar AS untuk melindungi orangutan serta 500.000 hektar habitatnya dan hari ini, saya gembira mendapat kesempatan untuk melihat kegiatan kerja yang sangat penting dari Yayasan BOS.” Kata Blake

Dr. Jamartin Sihite, CEO Yayasan BOS menyatakan, “Kami mengucapkan selamat datang kepada Dubes Blake dan terima kasih atas ketertarikan beliau terhadap Yayasan BOS dan konservasi orangutan yang kami jalankan.  Kepedulian beliau yang besar terhadap berbagai permasalahan lingkungan dan keinginan beliau untuk mempelajari langsung berbagai aspek di bidang konservasi orangutan di Yayasan BOS menunjukkan itikad baik dalam memberikan dukungannya sebagai wakil dari Pemerintah Amerika Serikat di Indonesia terhadap kegiatan konservasi orangutan.”

Sementara itu drh.Agus Irwanto, Program Manager Pusat Reintroduksi Orangutan di Samboja Lestari, juga mengatakan, “Kunjungan ini merupakan kesempatan yang baik untuk kami dapat menunjukkan kegiatan konservasi yang kami jalankan, termasuk proses rehabilitasi orangutan di Yayasan BOS. Pada akhirnya, kami harap kunjungan ini dapat memperkuat dukungan dan kerjasama yang konsisten serta berkesinambungan dari Pemerintah Amerika Serikat untuk kelestarian orangutan.”

Dalam kunjungan pertamanya ke Samboja Lestari ini, Duta Besar Robert Blake menerima presentasi mengenai Yayasan BOS yang diberikan oleh Dr. Jamartin Sihite dan dilanjutkan dengan tur mengelilingi Samboja Lestari ditemani oleh Dr. Jamartin Sihite dan drh.Agus Irwanto. Beliau mengunjungi Suaka Beruang Madu dan pulau pra-pelepasliaran orangutan dimana para orangutan menjalani tahap akhir rehabilitasi di hutan singgah sebelum dilepasliarkan di habitat asli mereka.Beliau juga berkesempatan mengunjungi Baby House dimana bayi orangutan yang kehilangan induk mereka dirawat oleh para babysitter Samboja Lestari yang juga mempersiapkan bayi-bayi ini untuk memasuki tahap Sekolah Hutan.

Duta Besar AS, Robert Blake menanam pohon di Bos Samboja. Foto: Hendar
Duta Besar AS, Robert Blake menanam pohon di Bos Samboja. Foto: Hendar

Tur ini berakhir di Samboja Lodge, penginapan bagi pengunjung Samboja Lestari yang terbuka untuk umum, dimana Dubes Blake secara simbolis menanam sebuah pohon sebelum mengakhiri kunjungannya.

Sementara itu Blake menjelaskan, bahwa kepunahan dan hilangnya species orangutan diakibatkan karena kerusakan fungsi hutan akibat banyaknya perusahaan baik pertambangan maupun perkebunan yang memanfaatkan hutan asli sebagai lokasi perusahaan untuk produksi.  “Bila fungsi hutan telah rusak maka itu yang menyebabkan punahnya orangutan sebagai hewan endemik di Kalimantan dan Sumatra,” ujar Blake

Sementara itu Dr. Jamartin Sihite, CEO Yayasan BOS menjelaskan untuk melakukan pelepasliaran orangutan tidak semudah yang di bayangkan. “Setelah melakukan evaluasi umur dan tingkah laku, orangutan masuk ke sekolah hutan sekitar 3-7 tahun, untuk mengetahui kemampuan apakah bisa dilepasliarkan atau tidak, setelah itu mereka masuk ke pulau pra pelepasliaran, release island. Lalu selanjutnya dilepas liarkan dengan melakukan monitoring selama 2 tahun,” kata Jamartin

Individu orangutan memerlukan sekolah, seperti manusia, butuhkan belajar dan berlatih serta melatih isnting, karena untuk belajar dari induk orangutan membutuhkan waktu sekitar 6-8 tahun minimum. Saat individu orang utan kehilangan induknya, maka individu orangutan tidak memiliki kemampuan dan bertahan di hutan, sehingga mereka harus diajari agar mampu bertahan hidup di hutan, seperti belajar mengenal makanan hutan, belajar membuat sarang, belajar mengenal predatornya, dan belajar bertahan hidup saat sakit.

Antara 1992 hingga 2002, yayasan BOS meretroduksi lebih dari 400 orangutan di Kaltim.

“Kami selalu melakukan monitoring terhadap orangutan yang telah dilepasliarkan dengan tujuan untuk melihat pembentukan populasi baru yang layak orangutan liar agar dapat meningkatkan konservasi spesies,” ujar Jamartin

Satu orangutan memerlukan sekitar Rp 35 juta pertahun, dengan perhitungan makanan perhari sekitar 1-2 kg per orangutan perhari , Babysitter dan teknisi, perawatan enklosur , pengobatan, dan pelepasliran. saat ini ada sekitar 750 orangutan. jadi biaya pemeliharaan dalam setahun menghabiskan sekitar Rp 26,2 miliar. hingga 22 April 2013 lalu, sekitar Rp 5 miliar untuk pelepasliaran orangutan, dari biaya transportasi hingga pengamatan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,