,

Menakar Kebijakan Jokowi soal Air Bersih Jakarta

Mayoritas masyarakat miskin Jakarta, sulit mendapatkan air bersih terlebih setelah PAM Jaya diprivatisasi. Tak itu saja, harga air di Jakarta pun, lebih tinggi dari beberapa negara di Asean, seperti Singapura, Malaysia maupun Filipina! 

BUDI KARYA Samadi sudah makan asam garam dunia real estate. Mulanya, dia karyawan PT Pembangunan Jaya (PJ), saat membuat perumahan Bintaro. Samadi lantas pindah ke PP Ancol –terkenal dengan tempat bermain anak-anak Dunia Fantasi—bahkan selama tiga periode jadi presiden direktur.

Dia hendak pensiun ketika Wakil Gubernur Jakarta Basuki Purnama mengajak masuk PT Jakarta Properindo (Jakpro), perusahaan daerah real estate. “Saya diajak Ahok,” katanya. Samadi pun jadi presiden direktur Jakpro. Kini Samadi jadi orang yang diharapkan Gubernur Joko “Jokowi” Widodo membantu persoalan air bersih di Jakarta.

“Jakpro 100 persen dimiliki DKI.  Jadi tidak hanya berbicara profit. Jakpro ingin masuk ke Palyja bukan karena uang. Kami ingin memberi manfaat ke masyarakat,” katanya dalam sebuah diskusi panel di Jakarta.

Palyja singkatan PT PAM Lyonaisse Jaya, perusahaan Prancis, yang mengelola separuh air bersih Jakarta, tepatnya sebelah barat Sungai Ciliwung. Sebelah timur Ciliwung dikuasai PT Aetra Air Jakarta, perusahaan yang membeli saham pendahulu, PT Thames PAM Jaya dari London.

Diskusi panel ini menarik karena ada tiga pihak, bahkan empat, yang ingin mencari jalan keluar soal kotor air bersih di Jakarta. Menariknya, ketiga kubu punya kedekatan dengan Gubernur Jokowi, kandidat Presiden PDI Perjuangan, yang kini jadi pusat perhatian media bersama lawannya: Prabowo Subianto dari Gerindra dan Aburizal Bakrie dari Golkar. Penyelenggara diskusi pertengahan April ini adalah Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air.

Kubu pertama adalah birokrasi, termasuk Budi Samawi, maupun presiden direktur PAM Jaya, Sriwidayanto  Kaderi, ingin Jakpro dan Pembangunan Jaya membeli saham Palyja, masing-masing 49 dan 51 persen. Mereka berpendapat tiga perusahaan, dengan tiga manajemen dan tiga direksi, bikin rumit air bersih Jakarta: PAM Jaya, Palyja dan Aetra. Samawi mengatakan, nanti Jakpro dan PAM Jaya jadi “saudara sekandung.”

Kaderi mengatakan, privatisasi dimulai 1998. Kala itu, krisis Indonesia, masih alami krisis ekonomi dan kepemimpinan. “Tahun 2001 renegoisasi tapi tak memadai.”

Isi perjanjian semua meleset. “Tahun 2008 kita lakukan renegosisasi lagi, ada perubahan signifikan.  Terutama dalam penentuan harga. Dalam perjalanan tidak maksimal. Target layanan tidak terpenuhi,” kata Kaderi. Dia setuju bila Jokowi membeli saham Palyja.

Aetra? Perusahaan ini sedang tak dijual.

Kantor pusat Aetra di Jakarta. Sumber: Aetra
Kantor pusat Aetra di Jakarta. Sumber: Aetra

Samadi menjelaskan, Jakpro kini menunggu due dilligence Palyja oleh Price Waterhouse. Harga, dia taksir Rp1 triliun. Lebih murah dari PAM Jaya beli kembali saham Palyja. Jatuhnya, bisa Rp3,6-Rp3,7 triliun karena ada keterikatan kontrak 1997. Pendekatan, business-to-business hingga lebih murah.

Kubu kedua, adalah pensiunan hakim Mahkamah Konstitusi Maruarar Siahaan, juga politikus PDI Perjuangan … “Saya cuma anggota partai,” katanya.

Uniknya, Siahaan didukung Jasper Goss, warga negara Australia, seorang doktor dari Public Service International, serikat buruh para pegawai negeri di Paris, yang kritis terhadap privatisasi air di seluruh dunia. Goss termasuk kritikus Suez, konglomerat Prancis pemilik saham PAM Lyonaiise Jaya. Siahaan dan Goss berpendapat Palyja dan Aetra bukan saja belum berhasil memenuhi kontrak. Bahkan, kontrak layak dicabut.

Siahaan mengatakan, privatisasi air minum merupakan pelanggaran konstitusi Indonesia. Pasal 33 UUD 1945 secara tersurat mengatakan, air ranah warga Indonesia. Kontrak PAM Jaya dengan kedua perusahaan swasta ini, diteken 1997, dilaksanakan 1998. Ini pelanggaran UUD 1945. PAM Jaya tak mempunyai kapasitas membuat kontrak pengelolaan  sumber daya alam. Dia menganggap kontrak tidak sah.

“Kontrak itu salah kaprah. Ini sama dengan melepas kedaulatan negara. Orang Orde Baru mengatakan pasal 33 itu kuno, harus ditinggalkan. Karena sekarang liberalisasi ekonomi dimana-mana. Padahal, penguasaan negara, dalam pasal 33, memiliki kedaulatan rakyat dalam bidang politik, ekonomi dan lain-lain,” ujar Siahaan.

“Soal kontrak bisa dibuat dalam keadaan terpaksa. Kita harus mempertanyakan kembali keabsahan kontrak. Hak atas air kalau diserahkan kepada swasta tidak betul. Saya heran. Swasta itu profit oriented. Padahal air adalah social goods.”

Kubu ketiga diwakili direktur LBH Jakarta Febio Yonesta, pengacara publik, mewakili 12 warga Jakarta menggugat pemerintah Indonesia, maupun Jakarta, soal privatisasi PAM Jaya pada 1997-1998. Gugatannya disebut citizen lawsuit. Mereka minta pengadilan Jakarta Pusat batalkan kontrak dan mengembalikan pengelolaan Palyja dan Aetra kepada PAM Jaya.

Febio Yonesta, biasa dipanggil Mayong, mengatakan Jokowi  agar tak membeli saham Palyja selama gugatan berlangsung. Jokowi harus tunggu ada putusan hukum tetap. “Jokowi harus membentuk tim independen, terdiri dari masyarakat, Pemda, akademisi, untuk evaluasi dan audit komprehensif transparan dan akuntabel terhadap implementasi serta dampak swastanisasi pengelolaan air di Jakarta.”

Menanggapi rencana Samadi, yang hendak beli Palyja, pembelian saham Palyja oleh Jokowi, LBH dan Koalisi sudah melayangkan surat somasi tertanggal 3 Oktober 2013.  Surat somasi itu dilayangkan karena saat ini DKI dan Palyja masih menghadapi gugatan warga negara mengenai Perjanjian Kerjasama Swastanisasi Air di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

“Kami mengingatkan agar tidak ada pengalihan aset atau kepemilikan oleh para tergugat maupun tergugat dalam hal ini termasuk Pemprov Jakarta, PAM Jaya dan Palyja, karena akan merugikan melalui tuntutan provisi,” kata Febi.

Bagaimana Jokowi mengambil keputusan?

Disinilah diskusi menarik. Moderator Andreas Harsono, seorang wartawan yang sering menulis PAM Jaya, mendudukkan Goss dan Siahaan di sebelah kiri. Samadi dan Kaderi di sebelah kanan. “Dunia nyata,” kata Harsono. “Tidak hitam putih, tidak mudah menaruh duduk begini. Tapi penting untuk tahu bagaimana semua pihak melihat persoalan air dan jalan keluarnya.”

Ada pihak keempat yang tak datang: Palyja dan Aetra.

Sumber: Palyja
Sumber: Palyja

PERSOALAN privatisasi PAM Jaya dimulai Juni 1995 ketika Presiden Soeharto, yang kesal dengan mutu buruk air Jakarta, memutuskan privatisasi. Soeharto menunjuk Salim Group dan putranya, Sigit Hardjojudanto, untuk jadi partner Suez (Paris) dan Thames Water (London). PAM Jaya, dengan pengarahan Menteri Pekerjaan Radinal Moochtar dan Gubernur Jakarta Surjadi Soedirdja, terpaksa negosiasi dengan kedua perusahaan internasional itu.

Seorang penggugat citizen law suit memakai istilah “injak kaki” ala Soeharto. Dua tahun berjaln dan pada Juni 1997, Suez dan Thames Water resmi teken kontrak 25 tahun dengan PAM Jaya untuk mengelola air di Jakarta. Serah terima dilakukan pada Februari 1998.

Cara kerjanya, PAM Jaya “membeli air” dari Palyja dan Thames Water dengan harga “imbalan air” (water charge). Konsumen membayar, dalam tujuh kategori, apa yang disebut “tarif air” (water tariff). Warga yang tergolong miskin membayar paling murah. Warga yang kaya tentu membayar lebih mahal. Bayaran konsumen dimasukkan dalam account bank yang dikuasai oleh ketiga perusahaan (escrow account).

Persoalannya, timbalan air naik sesuai inflasi dan lain-lain. Tarif air naik dengan persetujuan DPRD Jakarta. Terjadi perkembangan tak seimbang. Bila ada selisih harga, kontrak mewajibkan pemerintah Jakarta dan Indonesia, menutup kerugian Palyja dan Aetra. Bila PAM Jaya hendak memutus kontrak, ada pasal dimana PAM Jaya, tentu saja, juga pemerintah, membayar ganti rugi.

Artinya, PAM Jaya makin hari makin berutang kepada Palyja dan Aetra.

Imbasnya, harga air minum makin hari makin mahal. Banyak warga miskin tak mampu membeli air bersih. Menurut Samadi, sekarang baru 45 persen warga Jakarta dilayani air bersih. Sisanya, 55 persen, mengandalkan sumur atau air pikulan.

Pada November 2012, sekelompok warga dan organisasi masyarakat sipil menggugat Presiden, Wakil Presiden, Menteri Keuangan, Menteri Pekerjaan Umum, Gubernur Jakarta, DPRD Jakarta, PAM Jaya maupun Palyja dan Aetra. Mereka minta kontrak dibatalkan. Febio Nesta mengatakan sampai sekarang sidang citizen law suit masih berjalan di PN Jakarta Pusat tiap minggu. Jasper Goss termasuk saksi ahli didatangkan dari Paris untuk bersaksi.

Peta pembagian wilayah kerja melayani air 'bersih' antara Palyja dan Aetra di Jakarta.
Peta pembagian wilayah kerja melayani air ‘bersih’ antara Palyja dan Aetra di Jakarta.

Tarif Air Jakarta Lebih Tinggi dari Singapura

Nesta memaparkan data bahwa tarif rata-rata air di Jakarta Rp7.800/m3 . Ini tarif air tertinggi dibandingkan kota-kota lain di Indonesia. Ia bahkan termasuk tertinggi dibandingkan Singapura, Hongkong, Manila, Beijing dan Macau. Data Kementerian Pekerjaan Umum pada Februari 2006 menunjukkan, tarif air Jakarta setara dengan US$ 0.7. Sedang Singapura  US$0.35. Filipina US$ 0.35, Malaysia US$ 0.22, dan dan Thailand US$ 0.29. Artinya, secara perbandingan, tarif air di Jakarta lebih mahal.

Siahaan, ingin pengadilan memenangkan citizen lawsuit. “Namun pengadilan negeri membuat keputusan sangat sulit. Ini bukan kompetensi biasa dari hakim-hakim umum. Bayang-bayang masa lalu masih berat.”

Dia bilang, keputusan pengadilan Indonesia, entah dari pengadilan negeri sampai Mahkamah Agung, tentu punya dampak politik. Ia bisa menciptakan kesan Indonesia tak bersahabat dengan investasi asing.

Tak tertutup kemungkinan, sesuai kontrak, Palyja dan Aetra bisa melancarkan gugatan di Singapura.

Siahaan bilang, pemerintah tak perlu khawatir. “Di Singapura, hakim-hakim juga hakim normal. Mereka bisa melihat kontrak dibuat tidak dalam keadaan normal.”

Jokowi baru sebulan duduk di kursi gubernur ketika gugatan dilayangkan.

Pada awal 2013, muncul proposal dari Manila Waters, perusahaan air di Filipina, guna membeli saham 51 persen Palyja. PAM Jaya menolak rencana ini. Jokowi menganggap ini terobosan guna membereskan kerugian finansial PAM Jaya.

Samadi mengatakan, sebenarnya tujuan penggugat dengan Jakpro dan PAM Jaya sama yaitu hak atas air. “Jakpro dan PAM Jaya harus evaluasi untuk memberikan kesempatan masyarakat miskin dapat akses air bersih. Kita tinggal menyamakan persepsi.”

Diskusi berjalan hampir lima jam. Ada sekitar 60 orang hadir dalam ruang pertemuan. Beberapa anggota serikat buruh PAM Jaya kerap menyerang Samadi maupun Kaderi.

Samadi menekankan, Jokowi “tak punya interest pribadi” dalam persoalan PAM Jaya. Dia bilang, Jokowi tak mau mengambil alih Palyja maupun Aetra karena “komplikasi politik” terlalu besar.

Nesta tak berharap Jokowi setuju pembelian saham Palyja. “Seharusnya Jokowi dapat mengambil alih Palyja dan Aetra demi kepentingan umum tanpa harus mengeluarkan uang rakyat dalam jumlah besar.”

“Kami menduga Jokowi diberikan informasi dan masukan yang keliru oleh pihak-pihak yang mencari keuntungan pribadi dalam upaya pembelian saham Palyja.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,