Mengawal Pelaksanaan UU Untuk Mencegah Kerusakan Ekosistem Laut

Pemerintah menegaskan adanya aturan yang tegas dan melindungi keberlangsungan lingkungan, melalui Undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 27 tahun 2007 mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Peraturan ini memastikan adanya kewajiban pembuatan zonasi pada suatu wilayah atau daerah, yang menata perairan dan pesisir sebelum dimanfaatkan.

Penataan wilayah pesisir dan perairan Indonesia menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan, Sjarief Widjaja, sangat diperlukan agar tidak ada lagi pemanfaatan dan kepemilikan pulau maupun kawasan perairan dan pesisir yang mengabaikan prinsip dasar seperti hak masyarakat lokal, investasi, perijinan yang mengendalikan, serta upaya konservasi yang memastikan keberlangsungan.

“Wilayah pesisir kita harus mulai dilakukan penataan karena sebelumnya common property yang memungkinkan semua orang bisa memiliki dan menggunakan tanpa ada hak dan kewajiban. Tapi sekarang dengan undang-undang baru itu menjadi sesuatu yang harus diatur agar prisnip bumi, air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dukuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sesuai pasal 33 UUD 1945 dapat terwujud,” ungkap Sjarief Widjaja, Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Banyaknya konflik yang terjadi yang disebabkan pemberlakuan pesisir dan perairan sebagai common property open access, menurut Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Sudirman Saad, mengharuskan adanya pengaturan yang memungkinkan adanya perhatian terhadap hak-hak tradisional masyarakat lokal setempat, pengembangan investasi atas potensi kekayaan yang ada untuk pembangunan ekonomi masyarakat, serta konservasi yang memastikan keberlanjutan ekologi untuk generasi mendatang.

“Undang-undang ini mewajibkan penataan perairan pesisir sebelum dimanfaatkan, yang itu harus dibuat zonasi lautnya. Rencana zonasi itu seperti RTRW di darat. Ini perubahan paradigma berpikir tentang perairan pesisir, dimana dulunya mulai 0-12 mil perairan pesisir kita terbuka dan itu menimbulkan konflik, sekarang harus ada penataan,” kata Sudirman Saad kepada Mongabay-Indonesia saat berada di Surabaya pekan ini.

Reklamasi pantai di pesisir Paciran, Lamongan. Foto: Petrus Riski
Reklamasi pantai di pesisir Paciran, Lamongan. Foto: Petrus Riski

Sudirman Saad mengatakan, dalam pengaturan kawasan pesisir perairan Indonesia dibagi dalam 3 lokasi ruang, yakni kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, serta kawasan alur. Kawasan pemanfaatan umum merupakan kawasan yang memungkinkan dilakukan penangkapan ikan serta aktivitas ekonomi yang bermanfaat. Kawasan konservasi merupakan kawasan yang melindungi keberlanjutan kehidupan ekosistem beserta segala makhluk hidup di dalamnya, sehingga tidak diperbolehkan aktivitas lain yang dapat mengganggu keseimbangan serta keberlangsungan lingkungan. Sementara lokasi ruang ketiga adalah Kawasan alur yang berfungsi sebagai alur pelayaran, alur penempatan pipa serta alur migrasi spesias ikan tertentu.

“Harus ada alokasi ruang baik itu untuk aktifitas mencari ikan, keluar masuknya kapal, pemempatan pipa kabel bawah laut, migrasi ikan, hingga konservasi lingkungan. Khusus untuk konservasi laut, Indonesia telah mendeklarasikan konservasi laut 20 juta hektar pada 2020 saat Presiden berada di Brasil tahun 2012 lalu,” ujar Sudirman Saad.

Kasus padamnya listrik di Madura beberapa tahun yang lalu akibat tersangkut jangkar kapal, serta terperangkapnya paus oleh jaring nelayan di Kenjeran, Surabaya, menurut Sudirman merupakan bukti belum adanya pengaturan ruang pada perairan laut Indonesia.

“Kalau ada pengaturan alur, dan seharusnya disitu adalah alur alami migrasi paus, maka tidak ada yang boleh pasang jaring disitu, jaringnya harus dipasang di kawasan pemanfaatan umum. Itu konflik yang terjadi akibat tidak ada tata ruang laut,” tutur Sudirman.

Penempatan pipa kabel bawah laut lanjut Sudirman, juga menjadi pekerjaan penting dari pelaksanaan Undang-undang ini, terkait dengan pertumbuhan ekonomi, investasi dan pembangunan suatu daerah atau negara. Penempatan pipa kabel bawah laut yang tidak tertata akan mengakibatkan enggannya kapal tonase besar untuk merapat di suatu pelabuhan, sehingga pertumbuhan ekonomi menjadi lambat.

“Pipa kabel bawah laut kita kayak sarang laba-laba. Masa lalu ada regulasi, tapi di pimpinan sektor tidak memiliki alokasi ruang yang sangat komprehensip. Kita punya pengalaman buruk di Batam, yang dulu pada jaman Habibi mau dikembangkan seperti Singapura, tapi tidak bisa karena di dasar lautnya di sisi Indonesia kabel bawah semrawut. Lain halnya dengan Singapura yang ada 3 koridor pembagi wilayah perairan,” terangnya.

Pemanfaatan dan pengelolaan kawasan perairan pesisir diutarakan oleh Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, terlebih dahulu harus disertai ijin zonasi serta ijin pengelolaan air yang dimiliki oleh pengembang kawasan. Sudirman mengatakan bahwa kedepan pemanfaatan perairan pesisir menjadi keniscayaan, terutama untuk pemenuhan kebutuhan pangan, mengingat kawasan lahan pertanian yang semakin berkurang di daratan. Selain itu pengembangan industri, permukiman hingga wisata bahari, mengharuskan pemanfaatan kawasan pesisir perairan, namun dengan tetap mengedepankan penggunaan teknologi serta konstruksi yang ramah lingkungan.

“Memanfaatkan ruang laut secara permanen untuk wisata bahari, membangun resort, wisata, serta jalan, dengan teknologi ramah lingkungan, tidak menutup kemungkinan akan terjadi. Supaya tertata harus dibuat dulu rencana zonasinya, ada perangkat aturan dan sanksi. Kalau itu dilakukan, Indonesia bisa berkembang dengan cepat, karena Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dunia dan negara pantai terbesar kedua di dunia,” papar Sudirman Saad.

Pelabuhan Sontoh Laut Surabaya dengan aktivitas perahu nelayan yang terparkir. Foto: Petrus Riski
Pelabuhan Sontoh Laut Surabaya dengan aktivitas perahu nelayan yang terparkir. Foto: Petrus Riski

Sudirman Saad mengatakan, pengembangan wilayah pesisir perairan harus disertai pula dengan moratorium konversi lahan pertanian yang ada di darat sesuai Undang-undang nomor 31 tahun 2009 tentang Lahan Pertanian Berkelanjutan dan Larangan Alih Fungsi Lahan. Peraturan yang dituangkan dalam Undang-undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil lanjut Sudirman harus didukung Peraturan Daerah mengenai zonasi yang belum banyak dimiliki oleh daerah. Peraturan itu digunakan sebagai dasar pengambilan kebijakan dalam menentukan zona pada suatu daerah, yang prinsip penyusunannya berdasarkan kajian ilmiah dan mengacu pada prinsip ekonomi, sosial dan ekologi.

“Rencana zonasi sudah merencanakan aktivitas itu, sehingga resiko lingkungan sudah diperhitungkan. Aspek lingkungan tidak boleh hilang, aspek manusia tidak boleh digusur atau didegradasi, serta pemanfaatan yang memberi kontribusi secara ekonomi. Sudah ada teknologi dan konstruksi yang meminimalisir resiko lingkungan, meski tidak bisa 100 persen dampak lingkungan dihilangkan. Tapi dampak itu bisa terkontrol dan terkelola, sehingga tidak destruktif secara signifikan kepada lingkungan,” ujarnya.

Jawa Timur merupakan salah satu Provinsi yang sudah memiliki Peraturan Daerah mengenai zonasi kawasan pesisir perairan. Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur, Heru Tjahjono mengatakan, pengaturan dan pemanfaatan kawasan dengan zonasi dapat mengintegrasikan kegiatan di laut dengan memanfaatkan potensi yang ada di wilayah Jawa Timur.

“Prinsipnya daratan habis, maka antisipasi dilakukan di laut dengan zonasi, agar semua bisa terintegrasi. Di Jawa Timur zonasi sudah sejak 2012, yang ini masih terus perlu disosialisasikan,” kata Heru Tjahjono.

Sementara itu Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur menyambut positif Undang-undang nomor 1 tahun 2014 yang merevisi Undang-undang nomor 27 tahun 2007, yang memungkinkan penghormatan terhadap hak dan keberadaan masyarakat tradisional terutama nelayan atas kawasan pesisir perairan.

“Sisi positifnya jika pengelolaan dilakukan dengan baik dan ramah lingkungan, itu akan membantu masyarakat setempat terutama nelayan dan ekosistem didalamnya. Masyarakat dapat mengajukan prasyarat sendiri, seperti Amdal kepada investor yang akan mengelola kawasan pesisir perairan. Tapi negatifnya dengan masuknya investor masih memungkinkan masyarakat tergusur dengan alasan zonasi yang telah dibuat,” kata Onny Mahardika, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur kepada Mongabay-Indonesia.

Onny Mahardika mengatakan, semangat Undang-undang ini sangat pro terhadap investasi, sehingga dapat mengabaikan aspek-aspek lainnya seperti masyarakat dan lingkungan bila peraturan itu tidak dilaksanakan dengan baik dan benar,” ujar Onny.

“Undang-undang ini pro pada invenstasi, tapi ada prasarat dan aturan agar masyarakat tidak dirugikan. Maka negara harus menjamin, dengan sistem pengelolaan pesisir dan perairan tidak akan merugikan nelayan dan merusak ekosistem,” lanjut Onny yang sedang mendampingi masyarakat pesisir Surabaya dari ancaman relokasi.

Pemanfaatan kawasana pesisir perairan dnegan pembangunan beberapa fasilitas seperti jalan, permukiman hingga obyek wisata, menurut Onny tidak dapat dipungkiri akan menimbulkan gangguan serta kerusakan ekosistem bawah laut.

“Pasti akan mengalami perubahan pada ekosistem hayati bawah laut jika itu dimanfaatkan. Nelayan tidak bisa lagi menangkap ikan di tempat semula karena sudah ada zonasi, sehingga tangkapan ikan berkurang atau terbatas. Mungkin saja ada konflik terjadi dengan nelayan lain,” ucapnya.

Kerusakan ekosistem ujar Onny dapat membuat ikan pergi dari ekosistem semula, seperti terumbu karang yang setelah pembangunan itu tidak bisa ada lagi.

“Pencemaran juga pasti ada. Saya tidak yakin adanya industri justru dapat menyelamatkan lingkungan, atau dampak kerusakannya mampu dikurangi, karena tidak ada teknologi yang betul-betul ramah lingkungan” tandas Onny yang akan terus mengawal pelaksanaan Undang-undang ini.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,