,

Danau-danau Keramat di Bunut Hilir

Suara itu terdengar akrab di telinga. Hampir setiap malam menyapa warga dengan sebutan khas orang hulu: Apa kabar pengaban, boh meh gaok Sungai Kapuas (Apa kabar pendengar, ayo kita mencintai Sungai Kapuas). Demikian tagline Radio Komunitas (Radiokom) Sura Suta ketika menyapa pendengar di Kecamatan Bunut Hilir, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.

Radiokom Sura Suta (Suara Radio Suara Kita) hadir di Bunut Hilir atas inisiatif Lembaga Pengkajian Studi Arus Informasi Regional (LPS-AIR) Kalimantan dan WWF-Indonesia Program Kalbar. Ia diluncurkan Bupati Kapuas Hulu, AM Nasir pada 6 Februari 2014. Radiokom sekaligus menjadi spirit baru bagi warga untuk lebih mencintai Kapuas berikut danau-danau di sekitar.

Bunut Hilir memiliki kekayaan alam berlimpah. Desa-desa, mayoritas di bantaran Kapuas. Perkampungan itu menciptakan peradaban khas, bak negeri di atas air.

“Perlu intervensi program untuk menyelamatkan Kapuas dari ancaman kerusakan ekosistem. Radio komunitas ini salah satunya. Semoga masih ada program-program lain yang lebih berorientasi pada pembangunan berkelanjutan,” kata HM Durus, Camat Bunut Hilir, Kamis (8/5/14).

Berdasarkan data kantor kecamatan setempat, ada lima anakan sungai bermuara di Bunut Hilir. Ada delapan danau lindung tersebar di tujuh desa. Atas keinginan warga, danau-danau itu kemudian ditetapkan sebagai kawasan lindung.

Inisiatif Lokal

Awalnya, danau lindung itu diinisiasi sejumlah tetua kampung karena hasil tangkapan nelayan saban hari kekurangan. Ancaman tertinggi tangkap berlebihan hingga tidak hanya kawasan dan keragaman species danau yang terancam, juga sumber penghidupan masyarakat menipis.

Aktivitas ilegal ini bermacam-macam. Dari pertambangan, perkebunan, dan lain-lain. Sedangkan penumpukan wilayah tangkap adalah wilayah tangkap nelayan terbatas di kawasan tertentu hingga tidak memberi peluang bagi ikan-ikan berkembang biak. Di situlah intervensi program guna memproteksi Sungai Kapuas.

Nelayan Teluk Aur sedang menjala ikan di Zona Ekonomi Danau Lindung Pengelang. Foto: Andi Fachrizal
Nelayan Teluk Aur sedang menjala ikan di Zona Ekonomi Danau Lindung Pengelang. Foto: Andi Fachrizal

Durus menyebutkan, sejak diangkat menjadi camat, sudah ada empat perusahaan tercatat masuk ke Bunut Hilir. “Saya tentu tidak bisa menolak perusahaan itu. Tapi saya punya keyakinan jika alam ini ditata dan dikelola baik, kesejahteraan warga meningkat.”

Di Danau Pengelang dan Danau Aur di Desa Teluk Aur, warga dalam sehari bisa panen ikan hingga enam ton. Begitupula di Danau Empangau, Desa Nanga Empangau, mereka bisa menghasilkan ratusan ekor anak silok (arwana) per tahun. Tiga danau di dua desa dilindungi warga melalui kearifan lokal.

Lima danau lindung lain yang masuk wilayah Kecamatan Bunut Hilir adalah Danau Sabu di Desa Bunut Hilir, Danau Keliling di Desa Tembang, Danau Pekayu di Desa Nanga Tuan, Danau Bagut di Desa Entibab, dan Danau Termabas di Desa Bunut Hulu.

Danau-danau itu masuk tiga zona, yakni zona ekonomi, pemanfaatan terbatas, dan lindung. Zona ekonomi adalah wilayah untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari. Sedangkan zona pemanfaatan terbatas adalah wilayah keperluan masyarakat umum. Dan zona lindung adalah wilayah untuk panen setahun sekali.

Ibrahim, ketua Danau Lindung Pengelang Desa Teluk Aur, mengatakan, kehadiran danau lindung memberikan keuntungan berlipat ganda bagi warga. Danau itu memanjang empat kilometer. Zona lindung 800 x 200 meter.

Atas keinginan warga, danau menjadi kawasan lindung pada 22 November 2007. Di sini ada jenis ikan konsumsi yang mulai langka. Bahkan, tak pernah lagi ditemukan nelayan. Salah satu baung pipih. “Dengan danau lindung, kita berharap penghasilan nelayan meningkat. Sebab, danau lindung itulah tempat ikan-ikan berlindung dan berkembang biak,” ujar Ibrahim.

Setelah penerapan kebijakan lokal itu, masyarakat merasakan keuntungan. Pada 2011, warga sepakat menjermal di zona pemanfaatan terbatas, dan berhasil meraup 11 ton ikan dalam sehari. Hasil dibagi adil ketiga dusun di Teluk Aur, yakni Dusun Puring, Jaung I, dan Jaung II.

“Kami di Dusun Puring biasa menggunakan dana hasil jermal untuk membeli BBM genset. Maklum, listrik di desa masih swadaya. PLN belum masuk.”

Sanksi Adat

Menurut Ibrahim, tidak seorang pun boleh mengambil ikan di zona lindung tanpa kesepakatan warga. Sanksi sangat berat. Pelaku bisa dikucilkan di kampung. “Kalau ketahuan menangkap ikan di zona lindung, sampan dan alat tangkap disita, didenda Rp500 ribu. Paling berat sanksi sosial.”

Sanksi adat ini ternyata lebih ringan dibandingkan desa tetangga, Empangau. Di desa itu, siapapun sengaja mengambil atau membunuh induk silok kena denda uang seharga induk ikan. Jika denda tidak dibayar, pelaku tidak diperbolehkan bekerja dan harus meninggalkan Desa Empangau.

Warga Bunut Hilir sedang memperbaiki bubbu sebelum dipasang di Sungai Kapuas. Foto: Andi Fachrizal
Warga Bunut Hilir sedang memperbaiki bubbu sebelum dipasang di Sungai Kapuas. Foto: Andi Fachrizal
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,