,

Yohanes Terang, Penjaga Hutan Desa Di Antara Sawit dan Bauksit

Yohanes Terang baru saja mengikuti rapat di Balai Desa Laman Satong, Kecamatan Matan Hilir Utara, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat pada hari Minggu di akhir Juni 2014. Bersama Tito Indrawan dari Yayasan Palung, pria 58 tahun itu segera memacu sepeda motornya menuju kawasan Goa Maria di Dusun Manjau. Di sana, sejumlah jurnalis dari Riau, Aceh, dan perwakilan The Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ), serta Change For Justice (C4J) telah menanti.

“Maaf, ada hal urgen yang tak bisa saya tinggalkan di balai desa. Ini masih berkaitan dengan urusan warga dengan perusahaan yang beroperasi di Laman Satong,” katanya Yohanes.

Yohanes Terang adalah tokoh setempat yang paling ditunggu. Dia merupakan Kepala Desa Laman Satong pertama. Sejak 1979, Yohanes sudah menetap di Kampung Manjau, jauh sebelum Desa Laman Satong berdiri.

Pada 1987, terjadi penyatuan sejumlah kampung, yakni Nekdoyan, Kepayan, dan Manjau. Ketiga kampung tersebut lebur menjadi satu dan membentuk pemerintahan baru bernama Desa Laman Satong.

Yohanes bukan penduduk asli Laman Satong. Ayah tiga anak ini berasal dari Desa Banjur, Kecamatan Simpang Hulu, Ketapang. Sempat mengabdikan dirinya di Yayasan Esti Mulya Jakarta pada 1980 dan menikah dengan seorang gadis Ambarawa bernama Cicilia Sri Regiati. Melalui yayasan yang diketuai Franz Seda kala itu, Yohanes akhirnya diperbantukan di Keuskupan Agung Ketapang. Dari situlah dia memulai menapaki hidup di Desa Laman Satong.

“Kali pertama saya datang ke sini memang sangat berat. Mayoritas warga adalah illegal logger. Bisa dibayangkan bagaimana warna hidup saya kala itu. Apalagi dengan pendidikan yang sangat terbatas, hanya dapat bekal ilmu lewat pelatihan-pelatihan. Itu yang mengantar saya berbuat sesuatu di desa ini,” katanya menceritakan ikhwal hidup di kampung berjarak 35 kilometer dari Kota Ketapang itu.

Ketika didaulat menjadi kepala desa, Yohanes sudah menekankan pentingnya menghadirkan jalan dan jembatan, baik fisik maupun nonfisik. Secara fisik membangun desa ini butuh infrastruktur. Tapi dari sisi non fisik, pemimpin harus bisa menjembatani semua kepentingan stakeholders.

Yohanes Terang, Kepala Desa Laman Satong pertama. Foto : Andi Fachrizal
Yohanes Terang, Kepala Desa Laman Satong pertama. Foto : Andi Fachrizal

Kala itu, aktivitas illegal logging masif terjadi. Warga membabat hutan di sekitar desa hingga ke Taman Nasional Gunung Palung. “Bahkan saya sering berhadapan dengan segala persoalan yang tak enak-enak. Namun, sebagai pemimpin saya harus tetap berdiri di tengah,” cetusnya.

Zaman terus berkembang, masa kejayaan kayu pun berakhir. Ia berubah wajah menjadi perkebunan kelapa sawit. Manajemen perusahaan pemegang konsesi datang silih berganti membangun komunikasi dengan warga. Namun, segala keputusan sepenuhnya ada di tangan warga.

“Kalau masyarakat sudah punya sikap menerima perkebunan atau pertambangan, saya mau ngomong apa lagi. Saya hanya minta satu hal kepada pihak perusahaan. Apa pun yang terjadi di sini, penuhi segala kepatutan, termasuk kearifan lokal. Kalau tidak, saya khawatir perusahaan dengan warga bisa baku hantam,” jelasnya.

Atas persetujuan warga, PT Kayong Agro Lestari (KAL) pun hadir di Laman Satong. Perusahaan ini mengantongi Izin Usaha Perkebunan (IUP) kelapa sawit dengan Nomor 551.31/0562/Disbun.C pada 12 Maret 2004. Salah seorang pemilik perusahaan perkebunan kelapa sawit ini adalah George Tahija. “Kehadiran perkebunan sawit tak bisa kita hindari. Masyarakat desa setuju. Saya bilang oke, silakan saja. Tapi persyaratan tadi mesti dipenuhi, yakni kepatutan,” pinta Yohanes.

Pasca masuknya perkebunan sawit, perusahaan pertambangan pun menyusul. Lantaran lahan yang terbatas, tumpang-tindih tak terelakkan. Lahan tambang bauksit milik PT Laman Mining masuk dalam kawasan konservasi perkebunan sawit milik KAL. “Sebenarnya saya tahu kondisi itu, dan saya biarkan, supaya mereka kelahi. Toh, sejauh ini perusahaan juga menerapkan politik pecah-belah dengan masyarakat,” ucapnya.

Inisiatif Lokal

Sadar ancaman lingkungan kian besar, maka warga bersepakat menggagas hutan desa. Hutan desa dinilai sangat dibutuhkan lantaran ia menjadi bagian dari hidup manusia. Di dalamnya ada sumber air. Jika hutan hilang, hilanglah sumber air masyarakat.

“Sebagai contoh, jika musim kemarau tiba, warga masih bisa mengambil air di kaki Goa Maria ini. Airnya juga masih bersih. Seperti di belakang rumah saya juga, ada sekitar 30 hektare. Dan saya ambil air dari pegunungan itu,” kata Yohanes.

Sumber air di Goa Maria, di kawasan Hutan Desa Laman Satong, Hutan Desa di Laman Satong Kecamatan Matan Hilir Utara, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Foto : Andi Fachrizal
Sumber air di Goa Maria, di kawasan Hutan Desa Laman Satong, Hutan Desa di Laman Satong Kecamatan Matan Hilir Utara, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Foto : Andi Fachrizal

Ekosistem di kawasan hutan desa relatif terjaga. Di dalamnya terdapat keanekaragaman hayati yang begitu tinggi. Sejumlah satwa seperti orangutan, owa, klampiau, cucak rowo, dan enggang gading masih sering dijumpai. Selain fauna, hutan desa ini juga kaya dengan flora. Ada banyak pohon durian, juga gaharu. Termasuk rotan, kopi, dan karet. Buah -buahan di hutan desa cukup membantu perekonomian warga.

Sayangnya, kata Yohanes, durian yang seharusnya bisa dipanen ribuan butir, tahun ini mengalami kegagalan. “Di luar sana ada perkebunan sawit sehingga satwa-satwa penghuni hutan terdesak masuk ke perkampungan. “Ya, saudara kita setanah dan seair, tapi tak sebangsa itu yang panen duluan. Sekarang tinggal yang bagian bawah saja yang tak dikacau sama mereka,” kelakarnya.

Berdasarkan catatan, luas hutan desa di Laman Satong mencapai 1.070 hektare. Hutan desa ini diinisiasi warga dan sejumlah LSM yang bekerja di Laman Satong. Warga didampingi Yayasan Palung, Yayasan Asri, Flora and Flora International (FFI), Indonesia Forest and Climate Support (IFACS), C4J, dan Japan International Cooperation Agency  (JICA). Melalui perjuangan yang panjang dan berliku, akhirnya Kementerian Kehutanan RI mengakui keberadaan Hutan Desa Manjau di Laman Satong pada 2011.

“Lokasi Hutan Desa Manjau ada di sekitar sini, di Goa Maria ini sekitar 20 hektare ke atas. Lalu ada lima hektare diperuntukkan sebagai lokasi bibit tanaman hutan seperti Meranti. Dulu, status kawasan ini adalah APL (areal penggunaan lainnya). Statusnya sangat rawan diambil-alih perkebunan atau pertambangan,” jelasnya.

Awalnya, hutan desa ini dikelola oleh masyarakat. Jika warga punya tanah yang masuk dalam kawasan hutan desa, si pemilik berhak mengelolanya. “Termasuk saya ada lima hektare tanah kelola yang masuk di hutan desa. Tanah itu saya kelola sendiri. Kalau warga lain tanahnya diladangkan, saya tidak. Tetap saja dia jadi hutan. Karena saya melihat pada saat musim kemarau, warga ambil air di sini. Kalau di hulunya sudah kita babat semua, ya mau ambil air ke mana,” terang Yohanes.

Hutan Desa Manjau berada di bawah pemerintahan desa. Ada lembaga yang mengelolanya dan ditetapkan melalui peraturan desa. Namanya Lembaga Desa Pengelola Hutan Desa (LDPHD). Itu juga diputuskan melalui kesepakatan warga pada Februari 2014. “Intinya, kalau ada pelanggaran, ya kita musyawarahkan. Kalau aturan adat bisa dipakai, ya kita pakai adat,” ucap Yohanes.

Masyarakat juga diberi keleluasaan menggarap hutan desa. Termasuk boleh mengambil bibit dan buah. Jika warga memiliki kebun durian yang masuk di areal hutan desa, mereka boleh bersihkan kawasan itu dan memanen buahnya. Artinya, boleh mengambil sebatas kebutuhan asalkan tidak merusak. Ambil buah bolehlah, apalagi durian. Kecuali menebang, itu ada ketentuan-ketentuan.

Hingga kini, warga Laman Satong tak berani menebang pohon durian. Dalam aturan lokal, menebang pohon durian, sama saja dengan menebas leher Demong atau ketua adat. Aturan ini berlaku bagi seluruh masyarakat di desa.

“Jadi jangan coba-coba menebang durian kendati itu milik sendiri. Adatnya sangat berat. Menebang pohon durian itu sama saja dengan membunuh pemangku adat. Kecuali jika Demong meninggal, pohon durian baru bisa ditebang karena kayunya dibuat sebagai keranda,” pungkas Kepala Desa pertama Laman Satong itu.

Dengan kearifan lokal, hutan desa Manjau di Laman Satong pun terjaga.  Hutan desa menjaga keseimbangan hidup manusia, tumbuhan, satwa dan alamnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,