,

Angka Deforestasi Belinda, Kajian Ilmiah Bermuatan Politis

*Agus Purnomo.  Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim & Kepala Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim.

Artikel ini adalah opini dari penulis. Artikel ini telah mendapat tanggapan dari para penulis penelitian ini.

Hutan Indonesia kembali menjadi perbincangan, setelah hasil penelitian Belinda Margono dan Matthew Hansen dkk dipublikasikan dalam jurnal online ilmiah Nature Climate Change edisi 29 Juni 2014 berjudul “Primary forest cover loss in Indonesia over 2000-2012”. Penelitian itu menyebutkan hilangnya hutan alam primer tropika di Indonesia masih terus berlangsung dan merupakan kehilangan hutan primer tercepat di dunia. Luasan hutan primer yang hilang selama periode penelitian ini setara dengan setengah dari luas pulau Jawa.

Mencermati studi yang dilakukan oleh Belinda dkk, terdapat beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian ekstra, yaitu penyederhanaan definisi hutan yang menggunakan global algorithm dan pengkajian keberhasilan moratorium di area yang jauh lebih besar dari daerah yang dimoratoriumkan. Penyertaan hutan sekunder dan area penggunaan lain (APL) dalam pengkajian moratorium tersebut terkesan lebih bermuatan politis untuk sebuah penelitian yang seharusnya ilmiah dan teknis pemetaan.

Sumber: presentasi GIZ

Sumber: presentasi GIZ

Penelitian deforestasi yang dilakukan Belinda dan Hansen memasukkan  hutan sekunder (hutan yang sudah pernah dibalak/logging) dan APL (area penggunaan lain) pada tahun 2000 sebagai hutan primer. Hal ini dinyatakan secara eksplisit oleh Belinda dkk dalam publikasi mereka.

Sebagaimana dapat di lihat dalam gambar di atas, penelitian Belinda dan Hansen menggunakan perhitungan global gross forest loss (perubahan tutupan hutan global secara bruto) sebagai dasar untuk mendefinisikan berkurangnya hutan primer di Indonesia sejak tahun 2000 sampai 2012. Definisi ini menyatakan bahwa semua lahan dengan ketinggian pohon 5 meter dan belum dibuka secara menyeluruh atau ditanami kembali sebagai kelompok hutan alam. Definisi ini membatasi penelitian pada besaran perubahan tutupan lahan saja dan tidak mengidentifikasi peruntukan lahan yang mengalami perubahan sejak tahun 2000 tersebut.

Definisi hutan alam yang digunakan untuk mengolah data citra satelit diatur dengan coverage threshold (tutupan lahan minimum) sebesar 30 % dan tinggi pohon lebih dari 5 meter sebagai dasar penentuan lahan hutan primer. Definisi tersebut memberikan keterbatasan dalam mengidentifikasi aneka ragam kondisi hutan dan lahan, sehingga semua lahan yang sudah diberikan izin dan/atau telah menjadi hutan yang terdegradasi atau kritis tetap dihitung dan dikategorikan sebagai hutan alam primer yang secara teoritis harus dilindungi sebagai hutan konservasi dan hutan lindung. Dengan definisi hutan primer yang memasukkan hutan sekunder, Belinda dkk secara implisit menyalahkan pemanfaatan hutan sekunder, baik itu untuk pengembangan hutan tanaman industri maupun untuk kepentingan penggunaan oleh masyarakat sekitar, termasuk oleh masyarakat adat.

Penelitian ini sebenarnya menggelikan karena pada dasarnya jenis hutan di dunia ini beragam, mulai dari hutan tropis, hutan subtropis, sampai dengan sabana. Sedangkan Belinda dkk menggunakan definisi hutan global (global algorithm) yang terbukti tidak cocok untuk menganalisa keanekaragaman kondisi hutan tropis Indonesia.

Tentunya dengan definisi yang seperti ini, angka deforestasi yang didapatkan menjadi berbeda dengan angka dan kecenderungan dari tahun ke tahun yang selama ini dijadikan acuan dalam berbagai publikasi mengenai deforestasi di Indonesia, baik oleh pemerintah (Kementerian Kehutanan) maupun oleh LSM, lembaga penelitian internasional dan lembaga ilmiah lainnya.

Pihak GIZ misalnya, menggunakan metode / rumus yang digunakan oleh Belinda dan Hansen pada peta kehutanan yang mereka gunakan di proyek FORCLIME di Kabupaten Berau dan Kapuas Hulu. Dengan rumus atau algorithm pengolahan data yang berbeda, terbukti penelitian Belinda memasukkan seluruh kawasan Berau dan Kapuas Hulu sebagai hutan primer, sementara dengan menaikkan threshold dari 30% menjadi 80% diperoleh peta citra satelit yang lebih akurat dan halus, yang dapat membedakan antara hutan alami yang primer dengan hutan yang pernah diolah manusia (sekunder) atau yang relatif sudah rusak di lokasi yang sama. Dengan threshold yang lebih tinggi, keberadaan perizinan / konsesi hutan di kawasan tersebut dapat mudah terlihat dari penurunan kualitas hutan yang semula primer menjadi sekunder. Dari kajian GIZ tersebut ditemukan perbedaan yang signifikan dalam luasan hutan primer yaitu 80,677 ha (Belinda dkk) dengan 24,713 ha (GIZ) di Kapuas Hulu dan 81, 630 ha (Belinda dkk) dengan 46,880 ha (GIZ) di Berau.

Sumber: presentasi GIZ

Sumber: presentasi GIZ

Penelitian Belinda dan Hansen menjadi terlihat sangat  menyederhanakan kondisi hutan dan perhitungan deforestasi, dengan hanya memperhitungkan selisih luasan hutan tiap tahun dalam rentang waktu sejak tahun 2000 sampai 2012. Mereka secara sengaja tidak memperhitungkan perubahan pemanfaatan yang berlangsung dalam kurun waktu 12 tahun tersebut, seperti perubahan tata ruang, tata guna lahan, alih fungsi lahan dan peruntukannya. Karena sesungguhnya begitu pada sebuah kawasan hutan diberikan izin untuk dikonversi menjadi kebun atau lahan pertanian, atau diubah statusnya menjadi Hutan Rakyat atau Hutan Tanaman Rakyat, maka dengan diterbitkannya izin-izin itu seharusnya dilakukan pencatatan terhadap hilangnya atau potensi hilangnya hutan primer di dalam perizinan kebun tersebut.  Ketika sisa hutan di kawasan kebun yang dikuasai oleh perusahaan maupun masyarakat diperhitungkan sebagai hutan primer, maka penelitian yang seharusnya mencerahkan ini justru menimbulkan kebingungan.

Pilihan rentang waktu penelitian dari 2000 sampai 2012 juga memperkuat kesan politis dari penelitian ini, karena apabila Belinda dkk ingin mendapatkan angka deforestasi yang lebih akurat, seharusnya penelitian tersebut dilakukan pada rentang waktu yang lebih panjang ke masa silam, yaitu sejak tahun 1990 misalnya.  Sehingga dinamika naik turunnya deforestasi terekam dengan baik, termasuk melonjaknya kerusakan hutan sehingga mencapai lebih dari 3 juta hektar dalam satu tahun di masa transisi dari Orde Baru ke Era Reformasi. Hal yang juga perlu dijelaskan adalah grafik kecenderungan deforestasi hasil penelitian Belinda dkk menunjukkan garis linear yang meningkat dari 200.000 hektar di tahun 2001 menjadi sekitar 800.000 hektar di tahun 2012, sangat berbeda berbagai kajian lain yang menunjukkan fluktuasi angka deforestasi (terjadi kenaikan dan penurunan) pada rentang waktu yang sama.

Hal ketiga yang mengesankan muatan politis dalam penelitian Belinda dan Hansen adalah kesimpulan mengenai kebijakan moratorium hutan primer dan lahan gambut yang dianggap tidak berhasil mencapai sasarannya (quote: Although Indonesia recently implemented an implicit deforestation moratorium, beginning in May 2011, it seems that the moratorium has not had its intended effect1). Kesimpulan ini adalah kesimpulan gegabah yang tidak didasarkan pada analisa yang baik.

Konsentrasi penelitian yang hanya difokuskan pada besaran perubahan tutupan hutan se-Indonesia menyebabkan Belinda dan Hansen tidak melakukan analisa kawasan yang dimoratorium secara khusus.Semua lahan yang terlihat seperti kawasan hutan pada threshold sebesar 30% dijadikan dasar untuk mengevaluasi kebijakan moratorium. Semua hutan di Indonesia, baik itu hutan yang sudah terdegradasi maupun yang termasuk dalam konsesi perkebunan dan hutan rakyat, dimasukan dalam algoritma perhitungan perubahan peruntukkan lahan tersebut. Seharusnya, untuk menilai keefektifan kebijakan moratorium, dilakukan analisa perubahan tutupan hutan di kawasan yang dimoratorium, yang bisa dengan mudah dilakukan bila Peta Indikatif Penundaan Izin baru (PIPIB) digunakan sebagai salah satu dasar perhitungan.

Dengan tidak digunakannya PIPIB dalam lingkup penelitian tersebut maka kesimpulan mengenai moratorium menjadi kesimpulan yang sarat muatan politis. Hal ini terbukti dengan terbitnya editorial dan artikel yang menuduh kegagalan moratorium dan meminta pencabutan kebijakan moratorium perizinan baru diatas hutan primer dan lahan gambut seluas 63 juta hektar. Bila penelitian dijadikan acuan untuk membatalkan kebijakan moratorium oleh pemerintahan baru Indonesia yang akan mulai bekerja akhir bulan Oktober 2014 nanti, tidaklah mengherankan bila laju deforestasi di kawasan hutan primer di masa depan akan lebih tinggi dari sekedar 800 ribu hektar per tahun.

Alih-alih mengusulkan pelestarian hutan, artikel Belinda dkk memberikan argumen untuk membatalkan kebijakan moratorium yang membuka peluang diterbitkannya izin-izin pemanfaatan hutan di 63 juta hektar hutan primer dan lahan gambut yang masih baik. Dengan berbagai keterbatasannya, kebijakan moratorium kehutanan yang diberlakukan Presiden SBY telah menekan laju deforestasi dan nafsu mengobral izin pemanfaatan hutan di lingkup pemerintah daerah. Semua perizinan di dalam kawasan moratorium yang diterbitkan Pemerintah Daerah dalam tiga tahun terakhir menjadi izin-izin yang secara yuridis bermasalah dan harus dibatalkan. Sehingga keinginan para pemangku kepentingan untuk memanfaatkan kawasan hutan diarahkan pada kawasan hutan sekunder atau hutan yang sudah rusak, baik untuk ditingkatkan produktifitasnya maupun untuk direstorasi.

Bagaikan pemburu yang ingin menangkap harimau tetapi kemudian mengejar kawanan gajah, penelitian yang ingin menyimpulkan kegagalan kebijakan moratorium ini, menyamarkan data kerusakan hutan yang primer dengan hutan yang rusak (sekunder), dan mencampur-adukan aneka hutan yang berada jauh di luar kawasan moratorium dengan hutan primer di dalam kawasan moratorium.

Disamping nuansa politis dan ketidakakuratan data yang digunakan, hal yang juga mengganggu dalam penelitian ini adalah kerangka pikir para peneliti yang pada dasarnya ingin menyatakan bahwa ‘semua lahan hutan yang tersisa harus diselamatkan dan dikonservasi atau dilindungi’. Pola pikir ini secara konfrontatif menegasikan berbagai kepentingan pemanfaatan hutan, termasuk hak  masyarakat sekitar hutan (masyarakat adat maupun penduduk) untuk dapat beraktifitas di hutan penyangga kehidupan mereka. Pemikiran ala kolonialisme jadul (jaman dulu) inilah yang sesungguhnya menghambat upaya melestarikan hutan yang tersisa.

Tantangan ke depan adalah melakukan optimalisasi hutan sekunder dan APL untuk kesejahteraan masyarakat sehingga terhindar konversi atau pembalakan di hutan alam primer. Seperti halnya sumber daya energi, hutan sebagai sumber daya alam, perlu dikelola dengan menyeimbangkan tujuan Konservasi dengan tujuan Pemanfaatan sebagai dua hal yang berjalan seiring dan saling memperkuat.

======================================

Dari redaksi (20 Juli 2014)

Tulisan ini telah mendapat respon dari para peneliti yang terlibat dalam riset ilmiah ini.  Berikut adalah tanggapannya terhadap artikel ini.

Penelitian mengukur hilangnya hutan primer di Indonesia kami lakukan dalam rentang waktu tahunan, dan dalam pelaksanaanya didasarkan pada proses metodologi yang selalu berkembang dan terus ditingkatkan lewat peer-review dan publikasi akademik. Karya ini dimaksudkan untuk memberikan informasi yang akurat dan transparan atas hilangnya hutan primer yang akhirnya dapat memperkuat kapasitas pemantauan hutan di Indonesia.

Saya dan semua rekan-rekan peneliti dapat memastikan bahwa penelitian ini didasarkan pada metode ilmiah tanpa dipengaruhi oleh agenda politik apapun. Tanggal publikasi tidak dipilih bertepatan dengan proses Pemilu yang saat ini dilakukan di Indonesia, tetapi lebih kepada proses peer-review dari Jurnal Nature Climate Change; dalam kertas kerja kami dapat dilihat tanggal asli pengajuan pekerjaan kami kepada Nature Climate Change yaitu Desember 2013 (tahun lalu).

Kami menggunakan metode pemetaan penginderaan jarak jauh untuk mempelajari tutupan hutan (forest cover), bukan penggunaan lahan hutan (forest land use), satu konsep yang oleh penulis artikel ini, Agus Purnomo dirancukan dalam kritiknya. Kami telah sangat hati-hati mendefinisikan kategori tutupan lahan hutan primer, memetakan kehilangannya pada tahun 2000-2012, serta telah membuat data tersebut tersedia bagi siapa pun yang tertarik meneliti hasil penelitian kami.

Kami tidak mengajukan argumen pro atau kontra terkait kesesuaian penggunaan hutan primer yang ada di Indonesia. Kami hanya menyajikan kuantifikasi kerugian yang terjadi dari waktu ke waktu, dan menyarankan antara lain studi lebih lanjut tentang efektivitas moratorium dalam mengurangi deforestasi. Kami sekarang bekerja pada topik ini dan akan menyerahkannya lewat sebuah proses peninjauan-ketat ketika ini diselesaikan.

Sayangnya substantif kerancuan dapat timbul dari ketidaktersediaan kumpulan data ilmiah yang dapat diperiksa dan tersedia untuk umum. Contoh terbaik dari kerancuan ini menyangkut hutan sekunder, yang dalam penelitian kami terdiri dari “hutan alam yang menunjukkan hadirnya tanda-tanda aktivitas manusia, secara khusus pembalakan (logging); hutan sekunder tidak memasukkan pertumbuhan sekunder dari hutan yang sebelumnya pernah dibersihkan (cleared forest).”

Penulis artikel ini, Purnomo mengabaikan definisi ini, yang diambil dari Kementerian Kehutanan, yang mana dirancukan dengan perkebunan dan penggunaan lahan kehutanan lainnya. Dalam kerancuan ini, tidak ada cara lain untuk memahami penelitian kami. Ini adalah titik penting. Sesuai dengan definisi yang dikeluarkan Kementerian Kehutanan, sekali hutan primer dibalak, selanjutnya ia disebut sebagai hutan sekunder. Jika hutan sekunder selanjutnya dibersihkan dan dikonversi menjadi penggunaan lahan lain, maka tidak akan pernah ada pembukaan hutan primer. Dalam penelitian yang dilakukan, kami menutup celah ini. Penelitian kami memberi gambaran perubahan dari hutan primer utuh (primary intact), kepada bentuk terdegradasi (degradated) hingga pembersihan (cleared) hutan yang terjadi di Indonesia. Cara terbaik untuk mengatasi ketidaksepakatan pandangan ini adalah melalui pengiriman dan perbandingan set data spasial dan data waktu spesifik (temporally explicit data), dan tidak melalui argumen ad hoc secara personal.

Mengingat pengalaman kami yang luas dalam bekerja dengan basis data satelit observasi bumi, untuk melakukan pemetaan hutan dan perubahannya dari waktu ke waktu, kami sangat percaya diri dengan hasil yang kami peroleh. Kritik dalam konteks yang kurang tepat dan tidak dalam obyektivitas ilmiah tidak menciptakan wawasan baru atau pemahaman lebih lanjut dari masalah yang penting ini. (Belinda A Margono, Matthew Hansen dan co-authors)

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,