Alasan Gubernur Sumsel Alex Noerdin Kembangkan Kerbau Rawa di OKI

Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), yang berada di pesisir timur Sumatera Selatan, hampir 75 persen wilayahnya atau sekitar 769.000 hektar merupakan lahan basah. Kondisi ini membuat kerbau jinak (Bubalus bubalis) atau biasa disebut kerbau rawa, pesat berkembang biak.

Salah satu sentra peternakannya berada di Desa Riding, Kecamatan Tulungselapan, yang populasinya mencapai seribu ekor. Jumlah ini, sebenarnya lebih sedikit dibandingkan sepuluh tahun lalu yang diperkirakan sekitar lima ribu ekor.

Penurunan ini dikarenakan banyak rawa dimanfaatkan untuk perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI). Daging kerbau juga kalah pamor dibanding sapi dan ayam potong. Akibatnya, masyarakat OKI saat ini lebih “sreg” memanfaatkan rawa yang tersisa untuk lahan pertanian seperti sawah ketimbang beternak kerbau.

Alex Noerdin, Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel), memberikan harapan bagi masyarakat di Kabupaten OKI maupun kabupaten lainnya yang memiliki lahan rawa yang luas. Dia menginginkan rawa di Sumsel yang mencapai 600 ribu hektar, bukan hanya dimanfaatkan sebagai lahan pertanian tapi juga untuk peternakan kerbau.

“Dalam waktu dekat akan dikembangkan peternakan kerbau di Kabupaten Banyuasin dan Kabupaten OKI. Kita akan dibantu tenaga ahli dari Italia,” katanya, pertengahan Mei 2014.

Alex menyebutkan, ada rawa pasang surut dengan luas 584 ribu hektar di pantai timur yang berpotensi sebagai peternakan kerbau. “Baru 34 persen yang dimanfaat,” terangnya.

Terhadap program ini, Alex Noerdin, mengharapkan adanya dukungan dari semua pihak. Meski tidak menyebut pihak yang dimaksud, kemungkinan adalah perusahaan perkebunan besar yang telah memanfaatkan rawa, seperti perkebunan sawit dan HTI.

Pada 1997-1998, sekitar 50 persen rawa gambut di OKI ini terbakar. Kala itu, di Indonesia sekitar 17-27 juta hektar rawa gambut dan rawa air tawarnya terbakar. Sumatera paling luas, mencapai 40 persen.

Sebelum terbakar, rawa gambut di OKI selama puluhan tahun telah mengalami degradasi akibat penebangan kayu, baik legal maupun ilegal, serta aktivitas pertanian dan perkebunan rakyat.

Pada 2004, rawa gambut terbakar itu dijadikan hutan tanaman industri seluas 586.975 hektar. Ada empat perusahaan yang beroperasi, PT. Sebangun Bumi Andalas (SBA) Wood Industri, PT. Bumi Andalas Permai (BAP), PT. Bumi Mekar Hijau (BMH), dan PT. Ciptamas Bumi Subur (CBS). Tanamannya akasia, sebagai bahan baku kertas, dan bakau (Bruguiera conyugata). Perusahaan tersebut jadi pemasok pabrik kertas terbesar di Asia, PT OKI Pulp & Paper Mills.

Kerbau digunakan sebagai tenaga angkutan di Desa Riding OKI. Foto Benyamin Lakitan
Kerbau digunakan sebagai tenaga angkutan di Desa Riding, OKI. Foto Benyamin Lakitan

Kerbau Rawa di OKI

Sebagian besar wilayah Desa Riding, merupakan lahan basah dan lebak pematang. Jarak desa ini dengan Kayuagung, ibukota Kabupaten OKI, sekitar 120 kilometer.

Saat kemarau, lahan lebak pematangnya menjadi padang rumput subur yang baik untuk pakan ternak. Bahkan, saat penghujan, kerbau-kerbau yang sudah ratusan tahun beradaptasi dengan rawa itu, mampu makan rumput dalam air.

“Kurangnya rumput sebagai pakan ternak kerbau akibat lebak pematang terlalu lama kering kala kemarau panjang,” kata Dr. Benyamin Lakitan, pakar lahan rawa lebak dari Universitas Sriwijaya, seperti dikutip dari situs pribadinya, Rabu (30/07/2014).

Ironinya, sekitar seribu kerbau yang diternakan di Desa Riding dengan sepuluh kandang, sebagian besar bukan milik warga. “Ternak kerbau ini bukan milik masyarakat desa setempat. Peran mereka sebagai pengembala atau pemelihara kerbau dengan imbalan bagi hasil dari pemilik,” tulisnya.

Menurut Benyamin, kerbau di Desa Riding dimanfaatkan masyarakat sebagai transportasi pedesaan, terutama mengangkut barang, selain untuk membajak sawah. Khusus di Dusun III, lokasi yang paling banyak peternakan kerbau, pendapatan ekonomi masyarakat selain beternak kerbau, ditopang juga dari hasil mengambil kayu gelam di hutan rawa, dan menangkap ikan. “Sangat jarang yang melakukan kegiatan budidaya pertanian,” katanya.

Masa lalu, kerbau merupakan hewan yang sangat akrab dengan masyarakat Sumatera Selatan, khususnya yang menetap di tepi sungai atau rawa-rawa. Baik kerbau liar, maupun kerbau jinak. Kerbau yang jinak, bukan hanya dikonsumsi daging dan susunya, tapi juga untuk membajak sawah dan tenaga pengangkut, seperti gerobak. Tahun 1970-an akhir, gerobak dengan tenaga kerbau masih ditemukan di jalan umum Palembang.

Luasan hutan dan rawa-rawa yang berkurang di Sumatera Selatan membuat kerbau liar sulit ditemukan. Kerbau jinak atau yang diternakan masyarakat jumlahnya pun berkurang. Padahal, daging maupun susu hewan yang populasinya berkembang di Indonesia, India, Pakistan, Bangladesh, Nepal, Vietnam, Bhutan, Cina, Thailand, Taiwan dan Filipina, memiliki kandungan protein yang tinggi. Sebagai sumber pangan, kerbau memiliki potensi yang besar, beratnya mencapai 300-600 kilogram per ekor.

Modal, irigasi dan pasar

Rencana Pemerintah Sumatera Selatan mengembangkan peternakan kerbau, mendapat respon positif dari Spora Institute. Prinsipnya seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 tahun 2013 bahwa rawa berfungsi sebagai lahan ketahanan pangan dan pengendalian emisi.

“Pemerintah juga harus memikirkan persoalan modal petani, pemasaran daging, maupun susu kerbau,” kata JJ Polong, Direktur Spora Institute, di Palembang, Selasa (29/7/2014).

Dijelaskan Polong, saat ini peternakan kerbau banyak dimiliki perorangan, bukan masyarakat luas. Ini karena keterbatasan modal. Masyarakat hanya mendapatkan upah dari peternakan tersebut. “Jadi, harus dimiliki masyarakat yang dikembangkan melalui kelompok tani. Sehingga, hasilnya dinikmati bersama,” katanya.

Irigasi juga harus baik. Sebab, jika rawa terendam lama atau mengalami kekeringan, sumber pangan bagi kerbau akan habis. “Harus ditata manajemen airnya,” kata Polong.

Terakhir, pemerintah harus mengembangkan pasarnya. “Percuma kalau banyak dihasilkan susu dan daging kerbau, tapi pasarnya tidak ada. Sebab, daging dan susu kerbau kalah bersaing dengan daging dan susu sapi,” ujarnya.

Kandang kerbau di Desa Riding, OKI, yang jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah kerbau. Foto Benyamin Lakitan
Kandang kerbau di Desa Riding, OKI, yang jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah kerbau. Foto Benyamin Lakitan

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,